START dan FINISH

39 5 2
                                    

Tangerang, 16 Oktober 2020

“Aku tidak mau gagal terus. Mungkin lebih tepatnya tidak sudi gagal terus.”

Gadis bersurai hitam legam berdiri di atas podium dengan penuh rasa percaya diri. Tatapan matanya tajam dan penuh ketegasan, “Jadi aku terus berjuang sampai ke titik ini! Tidak akan kubiarkan takdir menertawakanku untuk yang kedua kalinya.”

Gadis itu berbicara dengan penuh emosi, iris hitamnya bersinar penuh semangat. Dia bangga bisa sampai ke titik ini, di mana akhirnya dia berhasil mewujudkan impiannya. Dia telah berhasil membangun rumah sakit besar gratis di usianya yang baru menginjak dua puluh enam tahun serta bekerjasama dengan sahabat kecilnya, Leo, untuk membangun panti asuhan.

“Aku tidak mau kembali ke saat di mana aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak akan menyia-nyiakan satu detik pun, aku bersumpah. Aku berjanji tidak akan kabur. Ini baru permulaan dan kita masih berada di garis start.”

Tepuk tangan meriah terdengar di ruangan yang besar itu. Sementara itu, di barisan penonton, Leo tersenyum hangat memandang gadis yang berdiri di podium.

“Selamat ... ” Ia memandang sahabat kecilnya yang bernama— “... Heine.”

XXX

Tangerang, 12 April 2002

Leo berlari di kegelapan malam. Tanpa menoleh kebelakang, dia terus memacu kakinya agar bergerak lebih cepat. Dia bahkan tidak menghiraukan dinginnya angin malam yang menerpa permukaan kulitnya.

Apa yang sedang anak itu lakukan? Dia sedang melarikan diri. Benar, melarikan diri dari keadaan. Yah, mungkin ini bisa di bilang sebagai bentuk protesnya pada keadaan —dan juga pada kedua orangtuanya— yang dengan seenaknya memindahkanya ke sekolah baru dengan alasan sekolah tersebut lebih elit.

Akan tetapi, Leo terhenti karena tanpa sengaja menabrak dua orang anak. Anak itu menoleh sekilas, “Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud—,” tetapi anak-anak yang tadi dia tabrak malah berlari meninggalkannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mereka bahkan tidak membiarkan Leo menyelesaikan permintaan maafnya.

Dengan penuh rasa kebingungan, Leo memutuskan untuk lanjut melarikan diri, “Eh?” Setidaknya, sampai dia sadar bahwa ada sesuatu yang hilang darinya, “AH, JAM SAKU MILIKKU!” Anak itu menoleh ke belakang dan mendapati kedua anak yang tadi menabraknya tersentak kaget kemudian berlari lebih kencang. Leo yang malang itu pun mengejar mereka, menunda kegiatan melarikan dirinya.

Dia mencegat kedua anak itu, “Hei, kembalikan jam itu! Itu milikku!” Tetapi kedua anak itu menggeleng, “Tidak mau!” dan berhasil membuat Leo naik pitam. Dengan penuh rasa emosi, dia berniat kembali membuka suara, namun—

“Kembalikan benda itu padanya,” —suara seorang gadis terdengar. Leo tersentak dan menoleh ke belakangnya. Kedua anak itu berusaha membantah, “Tapi, Heine, barang ini pasti bernilai mahal! Kita harus—“

“—Sudah kubilang, jangan mengambil barang yang tidak kita perlukan. Kembalikan!” Tatapan gadis yang dipanggil Heine itu menajam, membuat kedua anak itu bergidik ngeri, “Ambil, nih!” Salah seorang anak di hadapan Leo akhirnya melempar balik jam saku itu. Mereka kemudian berlari menghampiri Heine, mengangguk, lalu pergi.

“Kau bukan anak dari sini ‘kan? Pulanglah,” Heine menatap Leo tajam lalu menyusul kedua anak itu pergi.

“Eh, tunggu!” Leo berlari mengikuti Heine pergi ke tempat yang sama sekali tidak dia kenali, yang jauh berbeda dari rumahnya. Gadis itu tidak menghentikan langkahnya, “Jangan ikuti aku!” Tetapi sebaliknya, Leo bergeming dan malah mempercepat derap langkahnhya mengikuti Heine.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

START dan FINISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang