Part 4

27 9 4
                                    

Dingin yang perlahan merayap di lengan telanjangnya, serta rasa ngilu di kaki tanpa alasnya, Livia mengira jika ia akan menemukan pepohonan yang tertutup salju. Namun, ketika telapak kakinya menyentuh tanah, dan kabut itu hilang sepenuhnya dari mata, bukan salju yang dirinya lihat. Melainkan ... es.

Es tipis menutupi tanah beserta rumput, pepohonan dan semak yang menjadi balok es, hawa dingin yang tidak main-main menyentak tulangnya, bagian hutan ini benar-benar dibekukan! Apakah si pemuda es itu ada di sini? Entah kenapa, pikiran itu membuat Livia bersemangat.

Tubuhnya langsung bergetar dari ujung kaki sampai ujung kepala ketika Livia mengambil langkah pertamanya menginjak es itu. Ia tersenyum kikuk, dan berucap pada hewan-hewan bercahaya itu, "Tidak apa, tidak apa ...."

Sesekali meringis karena kedinginan, Livia tetap melanjutkan langkahnya ditemani para kunang-kunang. Pekatnya malam tidak menjadi musuh Livia. Selain dibantu penerangan dari mereka, kali ini bulan juga ikut menerangi. Bak memberi persetujuan agar Livia terus bergerak.

Suara binatang malam yang tak pernah Livia dengar saat masih di tempat sang ratu, di sini terdengar sangat jelas. Seperti ... tengah mendekati Livia. Ia menggigit bibir bawahnya.

Saat netranya menangkap segerombolan serigala putih dengan ukuran lebih besar dari biasanya, tubuhnya langsung merosot bersembunyi di balik pohon dengan batang raksasa. Napasnya tercekat, mulutnya ia tutup dengan sebelah tangan, mata membola dengan kilat ngeri, pikiran Livia mulai berkeliling. Membayangkan apabila hewan bermata merah itu menyadari kehadirannya.

Kunang-kunang tersebut pun langsung berkumpul di dekat kaki Livia, seolah dapat merasakan ketakutan yang mereka ikuti.

Untunglah gerombolan serigala itu akhirnya pergi setelah beberapa saat saling berkumpul. Mungkin tadi mereka sedang berdiskusi. Yang mana pun, yang jelas Livia jadi mengetahui bahwa ada binatang buas, dan ia harus lebih berhati-hati lagi.

Kali ini, perempuan bermata biru itu berjalan dengan mengendap-endap, berusaha tidak menciptakan suara sedikit pun. Hewan mungil bercahaya terbang rendah, dan tidak terlalu jauh dari Livia.

Mereka terus berjalan, lebih dalam ke tengah hutan, lebih dingin sampai rasanya darah Livia membeku. Saat udara semakin menusuk, Livia mengulurkan tangan agar para kunang-kunang itu berhenti terbang. Khawatir sayap mereka ikut membeku, cemas jika mereka kelelahan terus-menerus terbang tanpa istirahat.

"Apakah masih jauh?" Kepala Livia menoleh ke samping, tepat pada sebuah pohon dengan beberapa bongkahan kecil es di rantingnya.

Tak lama, gadis itu mengangguk-angguk. "Baiklah. Terima kasih."

Pepohonan semakin jarang, semak-semak juga mulai sedikit, sebuah gerbang menjulang tinggi di hadapan Livia. Kunang-kunang maju, memberi cahaya pada tangan Livia yang perlahan terjulur, merasakan dinginnya besi---tidak, itu bukan besi yang tertutup es. Melainkan memang es yang menyerupai besi. Transparan, dingin, berkilau, dan ... indah.

Awalnya agak ragu. Namun kali ini, tangan perempuan itu benar-benar mendorong gerbang es yang tidak terkun---oh benar, dunia ini tidak mengenal hal seperti itu. Hanya satu jalan seluas mobil menyambut Livia. Lentera yang sama yang ia lihat diletakkan di pinggir jalan tersebut. Jalan yang memandunya menuju sebuah bangunan yang sangat besar, seperti kastil-kastil yang pernah ia lihat di televisi!

Livia tidak bisa menahan rasa kagumnya kala netranya menangkap sepasang pintu es yang tepat menjadi ujung dari jalan tersebut. Berbeda dengan gerbang es tadi yang transparan, pintu dan dingin kastil ini sepertinya dibangun dengan es yang cukup tebal. Sehingga isi di dalamnya tidak dapat dilihat dari luar.

Eh, tunggu sebentar. Atau mungkin ini adalah sihir yang dilakukan si pemilik? Makanya Livia tidak bisa melihat apa yang ada di balik kastil es ini? Apa perabotan di dalamnya juga terbuat dari es?! Apa di dalam lebih dingin dari hawa di luar? Apa seseorang ada di dalam? Atau jangan-jangan pemuda berkekuatan es itu memang pemilik dari kastil ini?

Manik perempuan itu tampak bersinar, napasnya tertahan dengan degup jantung yang menghentak. Bukannya takut, Livia malah semakin bersemangat. Menanti dengan tidak sabar apa yang ada di balik pintu itu.

Kegelapan adalah hal pertama yang menyambutnya. Tidak ada lentera yang menyala, tidak ada kunang-kunang---Livia tidak sadar kawan seperjalanannya lebih memilih bertengger di tutup lentera di luar. Namun, panca indra yang sudah cukup beradaptasi dengan kondisi ini membuat Livia tidak kesulitan melihat.

Meski tidak cukup jelas, tetapi ia tahu, bahwa ruangan luas ini kosong. Tidak ada kursi, perapian, lukisan, atau apa pun yang biasa ada di sebuah kastil. Hanya ada beberapa lentera padam, banyak sekali, tergantung di pilar-pilar es, dan ada pula yang diletakkan sembarang. Sebuah tangga yang di tengahnya bercabang sehingga memiliki dua tangga lagi di kanan kiri, seolah memanggil Livia untuk mendatanginya.

Namun, belum sempat Livia melangkahkan kaki, suara seperti langkah kaki menggema di ruangan kosong itu. Sekelebat sosok pria jangkung menuruni lewat tangga kanan, berdiri menatap tajam Livia dengan mata perak yang tampak bersinar.

Pria itu berdiri di tengah, kegelapan menambah kesan misterius padanya. Tangan lebarnya terangkat ke depan. "Siapa kau?"

Tidak ada jawaban. Mulut Livia hanya terbuka sedikit, tetapi tak kunjung mengeluarkan suara. Matanya nyaris tak berkedip.

Alis si pria menukik tajam, meneliti perempuan aneh yang entah bagaimana bisa terdampar di sini dari puncak kepala sampai ujung kaki. Mengernyit sebentar saat melihat kaki perempuan itu, lalu mengukur kekuatannya. Sayang sekali energi sebesar itu, tidak diimbangi dengan pengendalian serta pelatihan.

"Bagaimana bisa kau sampai ke sini?" sekali lagi, si pria bermata perak bertanya.

Masih tidak ada jawaban. Baiklah, sepertinya ia telah cukup bersabar dengan mengajukan dua pertanyaan dan menunggu perempuan itu menjelaskan. Yang sayangnya tidak digunakan dengan baik.

Perlahan, butiran-butiran putih melayang di belakang pria itu. Tidak butuh waktu lama, mereka bersatu, membentuk beberapa es runcing yang siap menghunus pada Livia yang masih diam.

Si pria mengangkat sebelah tangannya yang bebas, bersiap melemparkan benda itu. Kilat di matanya sangat berbahaya. Gerakan kecil di tangan itu dapat dihentikan hanya dengan sebuah ucapan berisi dua kata.

"Tampan sekali ...."

Raut dingin itu luntur, digantikan ekspresi bingung dengan mata menyorot tak percaya. Apa ia baru saja menyalahartikan tatapan takut yang rupanya kekaguman itu?

"Apa katamu?" Meluruhkan es tersebut menjadi butiran kembali, ia berjalan mendekat.

"Kau ... tampan sekali!" kali ini, Livia berseru senang. Ia berkata jujur. Mata perak yang bersinar dalam kegelapan, tubuh tinggi berkulit pucat, rambut putih panjang yang diikat, rahang kokoh, hidung bak perosotan, serta tatapan tajam seperti tengah melihat mangsa, memangnya definisi apa lagi yang bisa Livia utarakan? Oh, tidak, ada lagi.

"Kau sungguh rupawan!"

Perempuan ini benar-benar gila!

***

22 November 2020

-zmr

Melt Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang