Hallo semuaa....
Sebenarnya ini bukan cerita pertamaku, cuma aku selama ini ga pede sama ceritaku...
Semoga kali ini kalian suka yaa.......☀☀☀
Terdengar gema azan berkumandang diselimuti hujan deras di pusat kota. Terlihat seorang anak bertubuh mungil dan hitam yang hanya dilapisi selembar kain basah kuyup, berusaha menjajakan korannya di bawah traffic light kota. Mata sayupnya melihat sebuah tempat untuk berteduh. Ia berlari dan berusaha menerjang hujan deras untuk menggapai tempat itu. Sesampainya di sana ia melaksanakan ibadah salat maghrib.Matahari semakin lama semakin sirna tak menampakkan sinarnya. Penanda malam telah tibah tepat pukul tujuh malam. Angin malam menerpa tubuhnya. Tak terasa dingin itu menembus tubuhnya. Hanya sehelai kain yang menyelimuti tubuh itu. Ia merasa jarum jam berjalan sangat lambat, ia ingin segera pergi dari malam itu. Berusaha menghibur diri sendiri, ia lakukan dengan memejamkan mata sembari menyandarkan tubuhnya di tempat itu. Saat akan terbuai oleh mimpi, tepukan pelan di bahunya mengangkat kesadarannya kembali. Ternyata, dalam redup cahaya malam terlihat sesosok gadis kecil yang tengah tersenyum simpul, sembari menenteng sebuah kaleng yang berisi pecahan koin dengan pakaian compang-camping yang ia kenakan. Gadis kecil itu mengulurkan tangannya sambal menyebut namanya, Rara. Ia sangat mengerti maksud itu, juga ikut mengulurkan tangan dan menyebut nama, Dika. Dika yang merasakan apa yang dirasa Rara, ia langsung memeluk tubuh gadis itu sembari menceritakan masa yang pernah ia lalui. Tak terasa Rara tertidur di pangkuan Dika, sedangkan ia tertidur sambil menyandar di tembok.
Sang surya dengan gagahnya, terbit dari arah timur. Bunyi klakson mobil mulai terdengar bising di telinga mereka. Mereka membuka kelopak mata dengan pelan sambal menetralisir cahaya yang masuk bersamaan dengan sinar sang surya menembus kulit mereka. Rara pun langsung terbangun dan bangkit untuk meregangkan tubuhnya sembari menghirup udara pagi yang masih segar. Sedangkan Dika segera merapikan koran dan bersiap diri untuk menjajakan koran seperti biasanya. Ia mengajak Rara untuk segera pergi sebelum suhu diatas rata-rata.
Saat mereka melakukan keseharian untuk memenenuhi kehidupan sehari-hari, segerombolan orang berpakaian hijau army, bersepatu booth yang menempel di kaki mereka, serta topi yang bertulis POL-PP yang berada di sisi kiri topi tersebut. Dika dan Rara segera pergi berlari untuk menghindari kejaran dan meninggalkan suatu harapan yang mudah diraih di jalanan. Saat berlari, Rara tersandung batu besar lalu ia mencium tanah dengan sangat lihai. Mengerti hal itu, Dika segera berputar bali untuk menyelamatkan Rara, meskipun ia harus ketangkap kejaran itu. Dua orang berbadan besar dan kekar pun segera menangkap dan membawa mereka pergi. Dika dan Rara pun hanya pasrah dan berdoa agar semua baik-baik saja.
Mereka telah sampai di sebuah ruangan sunyi dan gelap yang hanya dapat dilihat hanya tembok bercat putih, membuat mereka bergidik ngeri. Rara baru pertama kali memasuki ruangan seperti itu, meskipun ia sudah menjadi gelandangan yang cukup lama. Lain lagi dengan si Dika, ia menjadi gelandangan baru dua hari terakhir saat ibunda tersayangnya meninggal. Ketakutan menyelimuti mereka berdua saat seorang berbadan kekar menyambukkan tongkatnya ke atas meja yang menghasilkan suara nyaring. Rara yang hanya memeluk Dika sambal memejamkan matanya, Dika hanya mampu membelai rambut untuk menenangkan Rara.
"Mana orang tua kalian?" bentak seorang laki bertubuh kekar itu. Dika dan Rara pun hanya mampu menundukkan kepala sambil menunduk ketakutan. "Kalian tau? Apa yang kalian lakukan saat ini salah? Diumur seperti harusnya belajar yang baik. Bukan malah di jalanan menjadi gelandangan." lanjut pria kekar tersebut.
Dika ingin mengeluarkan kata-kata untuk meluruskan apa yang diucapkan pria tersebut salah, tetapi mulut ia terasa kelu untuk berucap. "Jawab anak kecil!" bentak pria kekar tersebut sembari diiringi pukulan keras dari tongkatnya. "Ayah saya telah meninggal, dan ibu saya telah pergi menelantarkan saya tuan." sahut Rara gadis belia yang menjawab spontan. Lalu pria itu menanggapinya dengan ketus, "Kenapa kamu tidak hidup saudara-saudari Anda yang masih ada? Lalu bagaimana dengan kamu?" diiringi dengan pukulan pelan ke arah Dika. Dirinya yang merasa terpanggil pun langsung menatap pria kekar tersebut, "Orang tua saya telah meninggal tuan, Saya merantau ke sini untuk memenuhi kehidupan saya. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Semenjak saya kenal Rara, ia sudah saya anggap adik saya sendiri. Sebelum saya pergi merantau, saya sempat berpikir 'kenapa saya hidup? Percuma saya hidup tanpa didampingi orang tua' tetapi setelah itu, saya memutuskan untuk merantau." Sahut Dika dengan mimik wajah sedih. "Akhirnya saya sadar, ada yang lebih susah dibanding diri saya sendiri. Saya berdoa supaya saya diberi jalan oleh Tuhan YME agar kami dapat mewujudkan cita-cita kami." lanjut Dika sembari mengusap air mata yang jatuh dipipinya. Mendengar hal itu Rara bangga kepada Dika sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Pria kekar itu luluh mendengar jawaban dari Dika, dan membawanya ke ruang tunggu.
⚡⚡⚡
TBC!
Author.
KAMU SEDANG MEMBACA
SI HITAM
Teen Fiction"Mana orang tua kalian?" bentak seorang laki bertubuh kekar itu. Dika dan Rara pun hanya mampu menundukkan kepala sambil menunduk ketakutan. "Kalian tau? Apa yang kalian lakukan saat ini salah? Diumur seperti harusnya belajar yang baik. Bukan mala...