Sawamura Daichi berani bersumpah, bahwa dia bisa melihat lampu dari rumah bergaya Jepang di seberang tengah menyala terang.
Cengkeraman pada gorden hijau muda menguat, sementara kedua iris cokelat tua melebar. Daichi benar-benar tidak ingin mempercayai indera penglihatannya sekarang. Tiga tahun lebih rumah tersebut dibiarkan kosong karena pemiliknya pergi ke luar negeri. Namun kini dia dapat dengan jelas melihat ada tanda-tanda kehidupan dari sana.
Rasa senang berkumpul memenuhi dada. Daichi segera menyambar handuk dan memasuki kamar mandi, tidak bisa menunda lebih lama lagi untuk segera menemui sang pemilik rumah. Pria itu bergegas turun dengan langkah tergesa-gesa. Pikirannya bercampur aduk tentang bagaimana dia akan menyapa insan yang telah ditunggu-tunggu olehnya tersebut.
Kata apa yang harus dia ucapkan setelah sekian tahun tidak bertemu?
Sambil sibuk berpikir, tanpa sadar Daichi telah berdiri di depan pagar menjulang yang jadi pembatas lahan. Tangan besar itu hendak mendorong pagar ketika tangan lain muncul dari sisi seberang. Shirogane Nora berdiri di sana. Penampilan perempuan itu masih sama seperti saat terakhir kali mereka mengucapkan salam perpisahan di bandara. Rambut sewarna bone tergerai panjang hingga menyentuh punggung dengan netra biru yang tenang.
Daichi tidak mampu mengungkapkan rasa ketika senyum secerah matahari itu kembali menyapanya.
Tangan terulur untuk merengkuh tubuh mungil yang tidak berubah. Menghirup aroma wangi yang selama ini selalu dia rindukan. Pihak lawan pun tidak hanya berdiam diri, kedua tangan balas menyambut pelukan Daichi yang hangat.
"Tadaima, Daichi!"
"Aku tahu. Okaerinasai, Nora."
Selama beberapa saat keduanya larut dalam rindu, sampai sang pria akhirnya mengalah dan lebih dahulu memberi jarak di antara mereka. Dingin memang, apalagi mengingat mereka berada di penghujung bulan November, tetapi entah mengapa udara di sekitar ikut menghangat seakan turut merayakan pertemuan mereka.
Mereka bertatapan cukup lama, sebelum akhirnya gelak tawa menguar dari Nora, melepaskan rasa canggung yang melingkupi. Banyak. Ada banyak sekali yang ingin mereka bicarakan sampai-sampai Nora tidak berani berjanji semuanya akan habis dibicarakan dalam satu hari. Oleh karena itu, dengan senyum tipis dan tarikan tangan, gadis itu beranikan dirinya mengajak Daichi kencan guna melampiaskan rindu.
"Tapi Daichi, sebelum pergi, aku ingin kau berjanji sesuatu," pinta Nora mempererat genggaman pada tangan Daichi.
Nora jarang sekali bersikap egois, maka tidak butuh waktu lama bagi Daichi mengiyakan permintaan sang gadis.
"Tentu, apa itu?"
"Jangan mengajak aku berbicara sepanjang hari ini, ya! Eh, tapi kalau sepi tidak apa sih! Aku hanya tidak ingin orang-orang mengenaliku, bisa repot kalau nanti kencan kita malah terganggu oleh orang-orang yang antri meminta tanda tangan!"
Daichi terkekeh mendengar ucapan Nora. Tangannya beralih mengacak mahkota putih itu dengan lembut, "dasar sombong," cetusnya tertawa.
"Begini-begini aku sudah jadi orang terkenal di luar negeri, tahu!" Nora sengaja membalas dengan nada sombong, membuat Daichi yang gemas menarik sebelah pipi sang hawa seperti menarik adonan kue yang melar.
Setelah Nora merengek minta dilepaskan dari pada pipinya semakin melebar, Daichi mendengus, lalu mengambil kembali tangan mungil Nora ke dalam tangkupannya. "Ya sudah, ayo pergi. Kau sudah lama tidak tinggal di Jepang, ada tempat yang ingin kau kunjungi?" tanya Daichi sembari memberi kode supaya Nora membeberkan destinasi kencan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
maplekyuu! | sawamura daichi.
Short Story[status: completed.] Di tengah musim gugur aku berdiri, melihat pohon maple itu menjatuhkan ribuan daun gugur kecokelatannya. Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus kurasakan. Semua masih terasa sangat nyata. Senyum dan tawa yang menyapaku, sulit un...