BLARR!
“Merayap! Baris! Cepat!”
Semua manusia berbalut seragam kamuflase merayapi bukit landai yang berlapiskan rumput-rumput pendek dan ranting patah. Semua orang merayap serendah mungkin, sebisa mungkin tertelan oleh bumi. Kepala ditundukkan dalam-dalam mencium tanah yang beraroma embun bercampur keringat.
Dari atas bukit peluru-peluru terus di tembakkan hanya selisih senti diatas badan para tentara yang masih merayap. Setiap tembakan diberi interval tidak tentu, memastikan betul pada tentara tidak mendongakkan kepalanya atas dorongan rasa ingin tahu.
“Hei!” salah seorang tentara berseru pada teman di belakangnya. “Sepertinya aku baru mencium kotoran entah apa di tanah.” Lanjutnya berteriak, melawan suara-suara ledakan yang mengiringi tiap tembakan peluru.
“Teruslah! Kau tidak akan mati karena mencium kotoran.” Jawab temannya, tak berani menaikkan kepalanya barang satu millimeter pun
Semua terus merayap, tak seorang pun melambat. Satu demi satu mereka sampai di puncak bukit. Udara pagi masih dipenuhi kicauan senapan, namun semua orang yakin latihan akan segera berakhir dan hari normal menunggu mereka setelah kembali ke asrama.
Sedikit lagi si naas yang mencium kotoran akan mencapai pertengah bukit, beberapa meter lagi dia dapat mengambil botol air dari ranselnya dan minum seperti itulah kali terakhir dia minum. Namun kemudian ia mendengar suara besi beradu dengan besi, dan tanpa aba-aba tubuh orang di hadapannya yang selama perjalanan diam-diam saja jatuh merosot menimpa dirinya.
Ia merasakan sol karet keras berkontur menekan mukanya seolah ingin mencetak ulang wajahnya. Dan setelah itu, semuanya mengabur. Arena latihan berubah menjadi kekacauan. Orang-orang berteriak panik, suara senapan segera saja berhenti, digantikan oleh seruan dan teriakan yang sarat akan urgensi.
Tim medis berlari mengejar manusia yang berguling terhempas-hempas menuruni bukit. Sekitar 5 orang tentara malang yang mengerang dan meringkuk dan mengerang menahan sakit dari luka-luka dan 1 orang yang sama sekali tak bergerak.
“Ada yang meninggal?” Tanya seorang tentara yang sedari tadi memantau semu kejadian.
“Yah ada, baru dipindah tugaskan. Asalnya dari Palembang setahuku.” Raut nya tidak menunjukkan kesedihan, fitur mukanya keras dan dan beku, tanpa ekspresi.
“Apa yang terjadi?” seorang pendatang baru berlari menghampiri mereka, memanggul senapan-senapan di punggungnya.
“Ada yang tidak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya dan mendongak di saat yang keliru tepat saat sebuah peluru meluncur menembus kepalanya yang berlapis topi besi seperti melewati mentega.” Nada suaranya tetap tenang, seolah itu hal yang biasa terjadi ketika sarapan.
“Sersan! Hormat!” seorang kopral berlari menghampiri pria tegap itu. Setelah hormat singkat ia menyerahkan sebuah topi besi berlumur cairan merah sedikit lengket yang berbau anyir
“Tepat. Seperti membelah mentega.” Komentarnya tenang sambil mengusapkan jarinya mengambang di atas lubang bulat sempurna tepat di tengah topi baja tersebut.
“Siapkan tim penghormatan terakhir, pemakaman digelar sore ini juga. Kembali ke asrama setelah semua perlengkapan siap. Hentikan latihan SEKARANG!” perintah sang sersan, lugas jelas.
Semua orang bergerak.
***
“Sadis yo tadhii…” gumam, Prapto, seorang taruna asal Yogyakarta kepada nasi putih keabu-abuan di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Mereka Merah Putih
Short StoryKisah tentang mereka di balik layar, kisah yang belum pernah tertulis dalam buku sejarah manapun. Saya dedikasikan untuk Tentara Nasional Indonesia dari sabang hingga Merauke. Karena jasa mereka perlu diabadikan.