Sudah satu jam Rania duduk menyendiri. Menyendiri? Tidak! Aku rasa dia tidak menyendiri, dia dikelilingi oleh kegelisahan-kegelisahan, oleh kecaman-kecaman kerasnya hidup di antara dua orang yang tak pernah melempar senyum satu sama lain, oleh kerasnya watak ayahnya yang tak mau kalah dari ibunya, oleh ego-nya sendiri yang tak mau menengahi. Rania memilih untuk pergi. Bukan untuk menghilang dan tak pernah kembali, tapi untuk menenangkan hati yang selalu ingin memberontak tatkala dia berada di rumahnya sendiri yang sudah seperti neraka yang dikutuk ilahi. Diam, dia hanya bisa diam dan menangis tanpa suara. Dia ingin teriak sekeras-kerasnya di rumah agar kedua orang tuanya tahu bahwa dia tersiksa tanpa disiksa bahwa dia ingin bahagia di dalam keluarga kecil yang saling menyayangi dengan rasa.
Kopi arabika sepertinya tak mampu membuatnya tenang, entah sudah berapa gelas kopi yang sudah berhasil dia teguk tanpa ampun, tanpa tersisa. Ini yang terakhir atau akan menjadi sebuah permulaan lagi setelah dia mencoba untuk menutup mata sejenak. Membayangkan pertempuran dahsyat yang akan terjadi ketika dia memilih untuk pulang sekarang. Pulang? Pulang kemana? Ke rumah yang terkutuk itu? Kini hatinya mulai memberontak. Tak sanggup. Jika harus terus-terusan jadi penonton pertempuran bak reporter yang sedang menayangkan langsung perseteruan sengit israel dengan palestina.
Rania memilih menikmatinya lagi. Kopi. Entah akan berganti menjadi secangkir bir atau terus menjadi kopi. Dia butuh ketenangan bukan sekadar rasa pahit sesaat, tersesat dan menghilang. Dia tak pernah memikirkan pelayan yang bulak-balik mengganti gelas kopi yang kosong dengan yang sudah ter-isi penuh dan siap jadi korban yang kesekian kalinya. Dia mendongak dengan mata melayang bak habis minum se-botol bir tanpa gelas. Dia memang mabuk. Mabuk kopi arabika yang dia minum tanpa ampun.
Dengan mata abu-abu dia melirik jam tangan yang dia pakai. Jam 01:25. dia menggerutu. Dia memilih pulang dengan harapan kedua orang tuanya sudah tertidur dengan pulas di bawah selimut kasih sayang, berharap pertengkaran bisa berakhir sejenak, kalau bisa selamanya.
Malam semakin pekat, bulan tak nampak walau hanya berkas cahayanya. Bintang juga enggan menunjukkan lentik pijar nya. Malam ini terasa sangat asing untuk dilewati dengan corak kebahagiaan. Terlalu pekat. Nampak kesedihan. Rania tak suka itu.
Rania terus melajukan mobilnya, tak peduli rasa kantuk sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Yang dia inginkan hanya satu 'ketenangan' walau harus diraih dengan cara yang menegangkan. Dia tetap pada kemudinya. Kurang dari tiga puluh menit mobil nya sudah terparkir tepat di depan rumahnya, dia membuka kaca mobil nya mencoba memastikan apakah kedua orang tuanya benar-benar sudah tidur atau mungkin keduanya tidak berada di rumah. Rania tidak peduli yang terpenting dia tidak mendengar suara keributan di rumahnya. Dia turun dari mobil dan masuk ke rumah. Sepi. Dia langsung masuk ke kamar, merebahkan tubuhnya yang sudah mulai lemah dan lelah. Kali ini, dia bisa tertidur dengan tenang tanpa terusik dengan suara-suara mengerikan yang keluar dari mulut kedua orang tuanya. Tidur.
***
Tidak terasa rania tertidur dengan sangat pulas, dia tidak tahu apa yang telah terjadi semalam. Apakah tenang seperti yang dia rasakan sebelum tidur atau keributan itu mulai lagi. Tidak. Rania tidak mengetahui apa yang terjadi semalam, dia mencoba untuk tidak memperdulikannya.
Dia langsung bergegas mandi dan mempersiapkan diri untuk ke kampus. Dia terlambat bangun, mungkin karena semalam tidur terlalu malam, dengan mata yang masih ngantuk dia mencoba untuk tetap berangkat kuliah. Berlari menuruni anak tangga yang berjumlah puluhan itu dengan lihai.
"PRANKK!!" Suara itu. Rania tiba-tiba berhenti di pertengahan anak tangga. Rania hanya memiliki dua pilihan tetap bertahan di kamar dan terus mendengarkan orang tuanya bertengkar atau tetap berangkat ke kampus dengan risiko dia melewati dua kubu yang sengit dan menyaksikan nya secara dekat.