Aku adalah Bulan, benda langit yang selalu mengawasi planet Bumi dan orang-orang. Orang-orang di planet bumi memanggilku Rembulan, mereka mengira wujudku seperti perempuan tesebab memilki cahaya yang indah nan rupawan. Padahal, aku tak lain hanyalah benda angkasa seperti bintang dan juga yang lainnya.
Di sini, di bentangan langit yang menghitam aku biasa menampakkan wujud ku: lingkaran penuh atau hanya sebagian, kata mereka aku akan nampak indah dengan cahaya yang penuh di tubuhku--tapi aku lebih suka dengan ucapan seorang wanita yang duduk di atas balkon kamarnya itu, wanita itu menatap ku dengan mata yang tak berkedip barang sekali rona pipinya memerah se-warna dengan benda yang dia pegang dan sesekali menatapnya lekat-lekat, dia memanggilnya diary.
Wanita itu berbisik di keheningan malam, "Aku harap, aku akan terus bisa menatapmu." Mata yang indah itu menjurus menatap ke arahku dengan bentuk diriku yang menyerupai arit. Penduduk bumi menyebutnya sabit. Apakah dia lebih suka aku yang seperti ini? Lirihku dengan sumringah mengindahkan cahaya sabit ku.
Saban malam wanita itu tak pernah absen duduk bertengger di balkon kamarnya benda bernama diary-pun ikut menyertainya, apakah dia tidak bisa melupakannya walau sekali saja rasanya aku begitu tidak rela. Setelah benda runcing itu mulai bermain di atasnya barulah aku tahu benda itu tak lain hanyalah tempat tercurahnya abjad-abjad rindu, membentuk deretan diksi bertemu menjadi satu paragraf utuh. Kulihat lembaran-lembaran buku itu dari balik matanya yang bening barulah aku tahu dia menyematkan rupaku pada salah satu lembaran itu.
Langit semakin menghitam menandakan dia benar-benar harus istirahat. Lelaki paruh baya itu menghampirinya dan duduk tepat di sampingnya. Malam ini aku menyaksikan dua orang berbeda kodrat itu saling bersua.
"Nak, ini sudah larut malam. Kamu perlu istirahat." ucap lelaki tua itu.
"Tidak Ayah, Ara masih ingin tetap duduk di sini Ara takut tuhan menjadikan ini malam terkahir bagi Ara." lirih wanita itu sambil menutup buku diarynya.
Lelaki itu memeluknya dan mengelus kepalanya, "Nak, kamu akan abadi. Tapi kamu juga perlu istirahat untuk tetap bertahan."
Setelah sekian lama aku bertengger di angkasa, yakinlah aku manusia mepunyai seseorang yang disayangi dan menyayangi tanpa alasan.
Samar-samar wanita dan lelaki paruh baya itu meninggalkanku diantara bebintangan bersembunyi dibalik pintu kaca berselimut gorden abu-abu. Yakinlah aku yang dimaksud 'kamu akan abadi' adalah diary itu, benda itu yang akan membuatnya tetap ada di sisi orang terkasihnya. Meninggalkan abjad-abjad yang sudah disusunnya. Tahulah aku rindu yang paling menyakitkan adalah ketika mata saling menatap tapi takdir tak menjadikannya menetap.
***
Walaupun aku biasa terlihat ketika langit merangkak malam aku juga tidak pernah absen ketika siang menunjukkan taringnya. Aku ada diantara benda-benda langit lainnya. rupaku memang tidak sebercahaya ketika malam menunjukkan sisi gelapnya tapi untuk wanita itu aku aku mencoba menjukkan rupa terbaikku.
Sosok wanita dibalik pintu kaca itu masih ku nantikan melangkah membuka pintu menuju kursi dan meja yang tersusun rapih menghadap tepat ke-arah ku.
Click ...
suara itu mengingatkan ku pada sosok wanita yang kemarin malam duduk di kursi itu. Bunyinya serupa dengan bunyi sesaat sebelum wanita menampakkan tubuhnya dibalik pintu balkon setiap malam. Kini yang terlihat hanya lelaki paruh baya yang biasa disebut ayah olehnya. Di mana dia?
Bagaimana pun aku harus tetap mengikuti rotasi ku sebagai bulan. Malam itu aku tak lagi berada di atas langit balkon kamarnya, seperti malam-malam biasanya. Temanku gemintang selalu tetap pada posisi nya ia selalu menemani malam-malam ku ketika aku masih tetap pada posisi yang aku sukai. Di atas balkon kamar wanita itu. Aku meminta gemintang untuk menemaninya di malam-malam ketika aku mulai berotasi mengelilingi bumi dan tak lagi menatapnya di malam-malam berikutnya.
***
Wanita itu kembali dengan wajah yang riang, rona pipinya lebih merah dari sebelum-sebelumnya, binar matanya terlihat lebih sempurna dengan senyum yang mengembang dari kedua bibirnya itu.
"Lihat." Wanita itu menunjukkan sesuatu yang melingkar di jari manis tangan kirinya, "Aku sudah tunangan," katanya lagi, sesekali memandangi benda itu penuh harap.
Binar mata itu seketika berubah menjadi haru, "Bulan, aku takut jika dia tidak bisa menerima kondisiku seperti ini." Matanya mulai berkaca-kaca sesekali air matanya membasahi benda di jari manisnya itu.
Next ...
Jangan lupa Krisarnya :)