|| Genre: Drama, School.|| Tema: Kekeluargaan.
|| Blurb: Evi adalah siswi yang terkenal akan prestasi belajarnya. Dia dijauhkan oleh murid lain karena pandangan hidupnya yang tidak diterima oleh kebanyakan orang.
Suatu hari ada siswi yang baru saja kembali bersekolah selepas perawatan di rumah sakit. Prestasinya hampir setara dengan Evi. Namun, hal yang dilakukan oleh siswi itu berbanding terbalik dengan Evi. Akankah siswi itu dapat membimbing Evi dari jalanan yang sunyi ke jalanan yang padat?
•••
Evi, itulah namaku. Orang-orang memanggilku si pelit. Menurutku, sebutan itu muncul dikarenakan diriku yang berbeda dari mayoritas siswa di sekolah. Jelas aku berbeda dengan mereka yang sering mengemis jawaban ketika latihan soal maupun ujian dan yang memiliki seribu alasan atas tidak tuntasnya suatu tugas.
Namaku selalu tertulis dengan awalan angka satu di papan pengumuman setiap ujian selesai berlangsung. Tidak peduli sebanyak apa orang yang membenciku. Mereka yang tidak mau berusaha hanya sekelompok rendahan. Aku akan tetap fokus dalam perjalanan yang penuh kabut.
Di tengah padatnya para rendahan, ada seorang siswi yang menarik perhatianku. Siswi itu bernama Adel. Prestasi di bidang akademiknya lumayan tinggi untuk seorang yang sempat dirawat di rumah sakit selama lima bulan. Itulah yang aku suka darinya. Ilmu pengetahuan tidak hanya didapat melalui pendidikan formal. Dia memiliki tekad yang kuat untuk terus belajar.
Sangat disayangkan. Kembalinya Adel ke sekolah menciptakan batas baru antara aku dan dirinya. Kebaikan hatinya ditangkap oleh para rendahan. Adel membuat kelompok belajar bersama banyak siswa-siswi. Dia mengajarkan mereka dengan penuh kesabaran.
Apa yang bisa dia dapat setelah melakukan semua itu? Dia hanya akan mengalami kerugian besar-besaran. Waktunya terbuang untuk mengajar materi yang sudah bisa didapat dari ponsel setiap siswa.
Adel menggantikan ketua kelas yang pindah sekolah karena pekerjaan orang tua. Dia berperan sebagai pemimpin yang baik dengan tubuhnya yang lemah.
Adel membantu setiap warga sekolah yang mengalami kesulitan. Dia membantu staf kebersihan untuk menyapu lapangan yang penuh dedaunan. Dia berhasil membubarkan sekumpulan siswa-siswi yang sering menindas orang lain. Tidak hanya mereka, aku juga.
Semakin banyak orang yang mengagumi Adel, demikian pula orang-orang yang berani menyakitiku. Aku menguasai beberapa teknik bela diri. Namun, itu tidak akan berfungsi untuk melawan orang sebanyak ini.
Perwakilan dari mereka berucap dengan nada angkuh, "Biar aku tebak, pasti kau merasa iri dengan Adel, 'kan? Bagaimana tidak, Adel itu bagaikan malaikat yang turun dari langit dengan tujuan membantu makhluk bumi yang dilanda kesulitan."
Aku tidak dapat melakukan perlawanan sama sekali. Kedua tangan dan kaki ditahan erat oleh lima siswi gemuk. Siswi kurus di depanku siap mendaratkan tinju di wajahku. "Sedangkan kau adalah seorang iblis yang harus dibasmi."
Teriakan seseorang menahan tindakan si kurus ini. Tidak lain adalah Adel. "Apa yang kalian lakukan!? Kita adalah keluarga. Tidak seharusnya saling menyakiti …." Saling menyakiti, katamu? Apakah dia juga turut menyindir pendirian milikku?
Ketika gerombolan ini hendak menjelaskan sesuatu, Adel langsung berlari. Wajah mereka yang penuh amarah menoleh padaku sebelum akhirnya mengejar Adel.
Sejak kecil, aku melakukan segala sesuatu dengan usaha sendiri. Tidak ada orang tua yang mendampingi. Yang aku tahu dengan memanfaatkan waktu sebaik mungkin, cepat atau lambat aku akan mencapai keinginanku. Itu saja. Tidak ada waktu untuk merasa peduli pada orang lain.
Seperjalanan pulang aku melihat Adel yang berdiri di hadapan seorang pengemis. Kepada pengemis itu, Adel memberi selembar uang. Bukannya kembali berjalan lurus, dia malah berbelok ke arah kiri.
Jangan berkata uang yang dia berikan pada pengemis tadi adalah uang untuk naik angkutan umum. Maka dia berniat melewati jalan pintas kedua karena uangnya sudah habis.
Apa yang dia pikirkan? Padahal sedikit lagi ada jalan besar yang dilintasi angkutan umum. Dengan begitu waktu yang digunakan akan semakin sedikit. Bahkan di angkutan umum dia bisa sambil membaca setidaknya satu halaman buku.
Jalan pintas kedua yang aku maksud adalah jembatan kayu yang cukup panjang. Jembatan kayu itu menghubungi Daerah Putu dan Ayu. Jembatan besar yang sudah dibuat, membuat para pejalan kaki tidak lagi melewati jembatan ini.
Gawat, aku tertinggal jauh darinya. Apa maksudnya? Tubuhku bergerak sendiri. Jangan-jangan aku berusaha mengejarnya? Khawatir sesuatu yang buruk terjadi ketika Adel melintasi jembatan. Apa-apaan aku ini?
Sambil memikirkan hal aneh ini, aku berlari kencang membuntuti Adel. Setibanya di jembatan, tiba-tiba saja Adel berusaha menyelamatkan anak kecil yang sudah tenggelam jika tangannya tidak ditahan Adel. Adel berada jauh di ujung jembatan.
Tubuhnya yang ringan itu perlahan ikut tertarik gravitasi. Kaki kirinya sudah tidak lagi menapak. Kedua tangannya mengayun genggamannya pada tangan anak kecil itu. Itu tindakan bodoh. Pasti dia berniat untuk bertukar posisi.
Saat aku menerjunkan diri, sempat terlihat anak itu selamat mendarat di jembatan walau kepalanya terbentur keras.
Tenangkan diri. Sungai ini lumayan dalam. Yang perlu aku lakukan adalah berenang ke permukaan dengan membawa Adel yang tidak bisa berenang.
Byuur ...!
Dengan waktu yang cukup singkat, aku berhasil menemukan Adel ditengah banyaknya limbah dan warna air yang keruh. Sesampainya di permukaan sungai, aku berpegangan pada batu yang dipenuhi lumut dengan tangan kiri. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Kami berdua tiba di permukaan tanah. Adel terbatuk-batuk mengeluarkan air sungai yang tidak sengaja terminum.
Aku menarik kerah bajunya. "Apa yang kau pikirkan hingga melakukan hal senekad itu?!"
Nafas Adel tersengal-sengal. "Kalau ... aku membiarkannya begitu saja ... pasti orang tuanya ... akan bersedih."
"Jangan bercanda. Apa tujuanmu selama ini? Membantu orang lain hingga rela mengorbankan nyawa. Sebegitu hausnya akan pengakuan orang lain? Memang seberapa banyak lagi bantuan yang kau berikan agar disegani banyak orang!?" Aku marah, marah sekali.
"Aku ...." Adel meninggikan suaranya. "Aku hanya tidak ingin melihat orang lain menderita! Aku sudah sangat muak …. Ayah dipergoki tengah selingkuh, ibu yang temperamental semakin menjadi-jadi. Kami berdua menjadi pelampiasan amarah ibu. Bahkan sampai saat ini Azri masih sulit untuk berbicara."
Tindakan nekadnya itu membangkitkan sebuah kesadaran. Selama ini aku selalu mementingkan diri sendiri dan melupakan kewajiban sebagai manusia, merasa diri paling unggul. Manusia adalah makhluk sosial, mereka membutuhkan satu sama lain.
"Maaf … maafkan aku …." Tangis ku pecah. Aku juga telah memandang rendah seseorang tanpa mengetahui latar belakang mereka. Sungguh perbuatan yang tercela.
Sebagai upaya penebusan dosa, aku bergabung pada kelompok belajar Adel yang anggotanya hampir semuanya membenciku. Adel sama sekali tidak menyinggung alasan pribadiku. Kegiatan pada kelompok belajar ini berjalan seperti biasa. Setiap empat bulan sekali, diadakan iuran untuk disumbangkan kepada panti sosial.
Seharusnya seperti ini. Umat manusia saling membantu. Peduli satu sama lain demi terciptanya suatu kedamaian. Itulah arti dari kekeluargaan
End.