23. Bahaya yang Samar

74 13 15
                                    


Olivier menggigit bibir, tangannya meremas seprai tempat tidur. Ia menahan rasa perih di kakinya. Ada luka memanjang dari bawah lutut sampai betis. Ibu Jacques, Celine, masih mengganti perban, sedangkan lelaki itu berusaha keras agar tidak meringis kesakitan.

"Syukurlah lukanya tidak terlalu dalam, jadi tidak perlu dijahit. Namun, lukamu belum sembuh, Oli. Jadi istirahatlah di sini beberapa hari." Wanita berusia 40 tahun itu mengusap kepala Olivier dengan lembut. Matanya tampak teduh. Meskipun lelaki itu saudara jauh, ia menganggapnya sebagai putra sendiri. Apalagi Olivier sudah yatim piatu sejak usia 13 tahun.

Wanita berambut keriting itu pun berbalik dengan membawa perban bekas luka, meninggalkan Jacques yang tetap berdiri di samping Olivier sambil bersedekap.

"Aku tak menyangka kau bisa seceroboh ini, Oli. Terkena benda tajam yang tertutup salju di tepi jalan, kau tak pernah begitu." Mata hazel Jacques mengamati ekspresi Olivier, berusaha menemukan kebohongan di sana.

Olivier sebenarnya ingin menyembunyikan lukanya, tetapi sayangnya pagi tadi Celine mengunjungi rumahnya dan memperhatikan gaya jalan Olivier yang sedikit pincang. Tak lama setelah itu, ia langsung ditangani ayah Jacques dan dibawa ke rumah Guillaume.

Meski bukan berasal dari keluarga dokter, Monsieur Guillaume menguasai teknik mengobati dan menyembuhkan luka. Jika ada anggota keluarga yang sakit atau terluka, mereka tak perlu repot-repot mencari dokter.

"Kaupikir aku bohong? Aku hanya lengah. Jadi kakiku terkena ujung tajam dari besi yang tertutup salju."

"Aku hanya merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku, dari kita semua. Ibu bilang aku harus menghargai privasimu, jadi ..." Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka, lalu Jacques melanjutkan, "aku cuma berharap itu bukan hal yang berbahaya."

Mata biru Olivier mengerling tajam. Nada Jacques menyiratkan seolah-olah kedekatan Elise dan Olivier adalah kejahatan besar.

Aku hanya ingin hal ini tidak diketahui orang lain, itu saja. Jacques, kau terlalu berlebihan, batin Olivier.

"Ya sudahlah. Kau istirahat saja di sini. Jangan lupa makan supnya."

Olivier mengangguk, sekadar menyenangkan Jacques. Dalam hatinya, ia berharap sahabatnya itu cepat-cepat pergi dari kamar. Ia hanya ingin sendirian.

Setelah pintu ditutup dari luar, barulah Olivier mengembuskan napas lega. Ia menoleh ke arah jendela. Kepingan salju masih turun, begitu perlahan. Seketika pemuda itu teringat dengan momen semalam bersama Elise, saat mereka bersembunyi di ruang bawah tanah.

Selama belajar bersama, Olivier bertindak seperti guru yang menulis soal-soal untuk menguji pemahaman muridnya. Sesekali ia melirik ke arah Elise. Mata gadis itu mulai terlihat berat. Beberapa kali kepalanya menunduk dengan mata tertutup, lalu ia berjengit dan menepuk wajahnya agar tetap terjaga. Olivier tertawa kecil.

Dia imut saat seperti ini.

Namun, pada akhirnya Olivier berjengit saat kepala Elise roboh di atas meja, tepat di atas buku yang terbuka. Matanya tertutup sempurna.

Ternyata dia sudah tidur.

Lelaki itu mengambil jam saku logam dari celana dan membukanya. Jam menunjukkan angka 11. Olivier tahu seharusnya ia membangunkan Elise dan menyudahi pertemuan ini. Namun, ia tak ingin melakukannya.

La Vie en Rose (Time Travel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang