00

6 1 0
                                    

Zombie|554 word

“Awas, dibelakangmu!” teriak Bobi mengagetkanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Awas, dibelakangmu!” teriak Bobi mengagetkanku. Aku memutar tubuhku seperti saat menari atau berdansa, kemudian ku tebas kepala zombie itu dengan pedang.

“Hampir saja aku menjadi zombie. Jika itu terjadi, aku tak akan segan memakanmu. Waa” candaku. Di saat-saat seperti ini, kewaspadaan harus tetap tinggi. beberapa kali aku hampir menjadi makanan zombie, begitu juga teman-teman ku. Namun, jika terus waspada bisa-bisa kami gila, makanya sesekali aku bercanda dengan mereka. Walau sebenarnya tidak ada yang lucu dari candaan tersebut, kami tetap tertawa.

“sudah ke sepuluh kali kau kelihangan fokusmu, dan sudah kesepuluh kalinya pula kau selamat dari zombie-zombie itu. Sungguh beruntung!” sindir Tommy

“Mungkin Tuhan sedang berpihak padaku.” jawabku acuh. Kelompok kami berada di garis depan, itulah sebabnya aku sering kehilangan fokusku. Rasa takut mati, gugup, serta jijik pada mayat hidup membuat hidupku tak karuan.

Sudah sejak dua bulan yang lalu, zombie-zombie ini mulai mewabah. Pemerintah mengumpulkan pemuda-pemudi sekitar 16-25 tahun dan dilatih menggunakan senjata untuk membantu mengamankan negara. Para tentara serta polisi kewalahan jika melindungi negara sendiri, makanya kami di tugaskan melindungi pejabat-pejabat negara yang penuh ego itu. Memuakkan bukan? Pejabat tak tahu diri, mengorbankan orang lain demi posisi, kini meminta untuk dilindungi.

Oiya, sekarang, pedang yang terkenal pada zaman penjajahan itu bangkit lagi. setiap orang diajarkan ilmu berpedang. Hanya dengan menebas kepala zombie lah zombie itu akan mati. Sebenarnya, kau bisa membakar zombie-zombie itu, tapi lebih efektif menebasnya. Ilmuan belum menemukan alternatif lain.

Beberapa dari kami mati bunuh diri sebelum menjadi zombie, beberapa dari kami pula bergabung menjadi anggota zombie tersebut. Sungguh naas kan? Tapi ya, apa boleh buat.

Kami terbagi menjadi empat shift, dan aku mendapat jatah berjaga di malam hari. Demi negara tercinta, akan ku lakukan apa saja--eh, sebenarnya demi membalaskan dendam keluargaku--mereka mengubah ayah, ibu, bahkan adikku yang masih kecil menjadi zombie.

“Sepertinya sudah hampir pagi, ayo kita kembali.” kata Roe. Aku tidak mendengarnya, pikiran ku tak fokus karena ini pertama kalinya aku berada di garis depan, bersinggungan langsung dengan mayat hidup itu. bukan sok-sokan kuat, berada di garis depan, namun karena kalah tantangan dengan Bobi

Tak ku sadari mereka telah pergi, kembali ke markas. Suara gemerisik khas zombie dengan bau menyengat itu menyadarkanku. Ku tebas lehernya namun meleset. Zombie itu lebih tinggi dari dugaan ku, pedangku menggores cukup dalam dadanya. Darah menetes deras di dada zombie tersebut.

Ku amati sekitar sembari berlari , berharap pertolongan. Namun, teman se-tim ku sudah tak terlihat batang hidungnya. ‘Inikah akhir hidupku? menjadi makanan zombie?’

Tak berkecil hati, kucoba tebas sekali lagi. Lagi-lagi meleset. Hanya membuat darahnya semakin banyak yang keluar. Tangan dan kakiku bergetar hebat, takut-takut zombie itu semakin cepat melahapku. Tunggu, zombie itu mulai melambat--lebih lambat dari biasanya--ku pusatkan perhatianku pada zombie itu. Ehh, zombie itu kehabisan darah? Apakah Tuhan masih dipihakku?

Beberapa menit kemudian, tak ada pergerakan dari zombie tersebut. Genangan darah busuk itu dapat membuatku memuntahkan isi perutku hingga tak bersisa. Zombie itu mati karena kehabisan darah. Saat pulang nanti, aku akan menjadi terkenal karena mendapat cara baru memusnahkan zombie. Yaitu, dengan membuat luka di sekujur tubuhnya! Setelah ini aku akan mendapat gelar jenius!

Saat hendak pulang, kuamati sekitar. “Shit! kaki ini membawaku ke zona merah, dimana para zombie belum di basmi, dan lagi beberapa dari mereka sedang mengawasi makanan segarnya ini.”

X_X

Z for ZombieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang