3

47 4 0
                                    

"La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin... La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin... La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz zhalimin..." gumam Mufida berkali-kali sembari memperhatikan tasbih kecil yang berada dalam genggamannnya.

Sesekali, dalam dzikirnya Mufida melihat ke segala penjuru ruangan kamarnya meski pada akhirnya sepasang bola matanya itu tertuju pada sebuah benda yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dengan lisan yang senantiasa terus menerus berdzikir tanpa henti. Dalam hitungan detik kemudian kepalanya menunduk lagi memperhatikan tasbih, menggulir butiran tasbih satu per satu.

Kepalanya selalu menggeleng pelan tiap kali pikirannya melayang, padahal ia sadar betul sedang berdzikir kepada Sang Khaliq, namun mirisnya pikirannya tidak sepenuhnya kepada-Nya.

Genap hitungan ke seratus, Mufida menutup dzikirnya dengan kalimat syahadat dan juga hamdalah. Bangkit dari duduk, melepaskan mukena lantas mendekati kasur. Lebih tepatnya, mendekati benda yang sejak tadi mengacaukan fokusnya.

Siapa sih yang tidak senang jika diberi sesuatu oleh seseorang? Kesannya seperti kita merasa berharga. Bukan, bukan dilihat dari besar atau kecilnya, mahal atau tidaknya, tapi terkadang, seseorang yang sudah memberi saja, meskipun tidak mewah, itu sudah cukup wah bagi diri kita.

Bagi seorang Mufida, rasa senang itu ada, tapi ketakutannya lebih besar dari rasa senangnya.

Tahu kenapa?

Ia takut jika pemberian seseorang itu justru bisa melalaikan dirinya dari mengingat Allah.

Contohnya saja beberapa menit yang lalu.

Saat ia sedang berdzikir, rupa-rupanya, matanya selalu menatap diam-diam kepada benda itu sehingga fokusnya terganggu. Ia merasa berdosa saat lisannya berdzikir namun fokusnya bukan kepada Sang Ghafir.

Benda itu adalah sebuah boneka berukuran besar, seukuran dengan dirinya berwarna coklat muda, pemberian Faz sore tadi.

Mufida duduk di tepi kasur, berhadapan dengan boneka yang sedikit besar dari ukuran tubuhnya, mengajaknya berbicara. "Tuan kamu jadi sering main dikepala aku kalau kamu terus-terusan di sini."

Mufida menatap lekat boneka beruang selama beberapa detik, memperhatikan bulunya yang masih bersih dan sedikit mengkilap itu. "Maaf ya, kamu harus pindah," lanjut Mufida lantas mengambil boneka itu keluar kamar.

Ia menyimpan boneka itu bersama koleksi boneka Mufida yang lain. Jika disatukan, boneka pemberian Faz ini adalah boneka paling besar. Mereka berada di atas lemari tidak terpakai yang dijadikan tempat penyimpanan koleksi boneka Mufida. Tidak banyak, hanya ada beberapa. Itu pun boneka yang kecil-kecil.

"Nah, kamu kalau disini kan bakalan aman," Mufida tersenyum tipis. "Tolong bilangin sama tuan kamu ya, jangan sering-sering main dikepala aku, nanti..." Mufida menggantungkan kalimatnya. Bertepatan dengan itu pintu rumah utama terbuka diikuti ucapan salam dari suara berat yang sudah menjaganya selama ini.

"Wa'alaikumsalam..." jawab Mufida dengan tangan yang menyalami tangan kasar Papa.

"Ini anak Papa lagi ngapain berdiri di depan lemari?" tanya Papa setelah tangannya mengulur untuk disalami Mufida. "Anak Papa ini lagi beres-beres, hm? Udah, besok aja beres-beres rumah, sekarang udah malem, waktunya istirahat bukan beres-beres," lanjut Papa sembari menyunggingkan senyum manisnya.

Papa sudah hafal betul jika anak satu-satunya teramat rapi dalam hal apapun. Melihat barang yang tidak rapi sedikit saja atau rumah kotor di waktu malam, Mufida selalu membereskannya di waktu itu pula. Alasannya, "Mufida nggak bisa tidur kalau rumah berantakan atau kotor, Pa."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang