Bab 1

13 0 0
                                    

Gadis berambut panjang, kulit putih, tubuh tinggi nan seragam sekolah yang sangat cocok ia kenakan. Cintya Keliska Pramodya, nama lengkap gadis berwatak pendiam, tak suka bersosialisasi itu mulai menyusuri koridor sekolah tempat ia bersekolah selama 2 tahun terrakhir ini. Rambut panjang yang sengaja ia geraikan kini berada dengan wajah dingin yang lansung menggambarkan bahwa Cintya yang kerap sekali dipanggil Tya itu memang tak pintar dalam berteman ataupun hal berbaur demikian.

"Cantik cantik kok kaya bisu yah,"
"Hush! Mulut Lo! Tya gak bisu, dia memang gitu orangnya,"
"Tya, gue rasa cocok jadi pemecah rekor gak ngomong seharian!"
"Emang ada?"
"Ada! Ntar gue ciptain!"
"Hadiahnya apa?"
"Duit 500 perak mau?"
"Gue kira hadiahnya cinta kamu. Kalau cinta kamu, kan gue bisa ikut!"
"Dasar lintah darat!"
"Dasar cewek!"

Omongan omongan seperti itulah yang selalu menghiasi Indra pendengaran Cintya tiap paginya. Bahkan siswa siswi itu tak lagi berbisik bisik. Sudah sebebasnya mereka mengatai Cintya dengan suara black blakan. Cintya juga tak pernah memikirkannya. Menurut gadis itu, kalau orang gila dilawan maka dia yang lebih gila, karena udah ngelawan orang gila.

Kini, Cintya mulai duduk di kursi bagian belakang kelasnya. Bagian pojok kiri belakang, posisinya yang memang di pinggir membuat matanya leluasa memerhatikan lapangan basket yang ada di samping kelasnya. Bagi Cintya, juga tak ada yang istimewa disana, hanya ada siswa lelaki yang kerap sekali latihan basket, sesakali memarkan dada bidang mereka yang sama sekali tak pernah menyita pikiran Cintya. Baginya yang teristimewa dari bangkunya adalah angin yang selalu masuk dengan leluasa.

"Hai Tya," sapa seorang siswi cantik berambut pendek nan pony tipisnya sembari meletakkan tas nya di kursi di samping Cintya.

Dia Amanda! Gadis yang sudah menjadi sahabat satu satunya Cintya. Bukan hanya sahabat tapi Cintya dan Amanda adalah saudara sepupu. Ayah Amanda adalah saudara kandung dari ibu Cintya. Itulah sebabnya Amanda dekat dengan Cintya, yang sama sekali tak mempunyai teman selain dirinya.

Cintya hanya melirik sekilas Amanda, tak lama mungkin hanya 1 detik. Lalu gadis itu kembali menatap lapangan basket di sampingnya yang kini ramai dengan siswa siswi yang tak segan duduk di atasnya sambil menunggu bel masuk berbunyi. Lapangan itu memang selalu bersih jadi bukan hal yang tiba tiba lagi pada siswa SMA Impian itu duduk di atasnya tanpa mengkhawatirkan bokong mereka.

"Dingin aja terus kaya es batu!" celetuk Amanda emosi. Kadang gadis itu lelah dengan sikap Cintya namun keduanya memang sudah saling akrab . Amanda dulu sering ragu untuk berteman dengan Cintya. Tapi, ketika melihat watak Cintya yang paling ia sukai adalah Cintya akan mengatakan hal yang paling penting saja, tak suka bertele tele tapi dalam hati berbeda. Cintya lebih suka lansung mengatakannya dalam singkat dan jelas.

"Tya, Lo udah selesai tugas bahasa Inggris?" tanya Amanda, mengerutkan dahinya dalam.

"Udah!" singkat Cintya.

"Tumbenan Lo!" heran Amanda. Cintya bukan gadis pintar dengan segudang prestasi. Gadis diam belum tentu pintar bukan? Bahkan gadis itu lebih memilih diam dan menulis puisi tentang rasa yang ia simpan dalam hatinya.

"Bagi dung!" pinta Amanda cengengesan. Padahal Amanda lah yang lebih pintar dari Cintya perihal akademik. Namun sayang, Amanda lebih memprioritaskan belajar karena mau dan ingin saja.

"Nih!" ucap Cintya sembari mengeluarkan sebuah buku dari tasnya berlanjut menyodorkannya pada Amanda.

Amanda mengambil buku itu secepat kilat, "Mantep!" ujar Manda sembari menyodorkan kedua jari jempolnya pada Cintya.

Amanda mulai menyalinnya secara telaten dan lihai. Walau Amanda tak tau pasti ini jawabannya benar atau salah. Tapi menurutnya, kesetiakawanan adalah hal nomor satu.

Cintya terkekeh kecil, sangat kecil bahkan sampai tak berbentuk, tak bersuara dan tak kasat mata. Cintya juga merasa lucu dengan tingkah Amanda yang childish dan seru!

********"

"Loh! Kenapa salah semua Amanda! Kamu gak ngerti? Gak biasanya kamu ngerjain tugas kaya gini
Ingat Amanda! Kamu ini juara kelas, jangan pernah ngerjain tugas sebobrok ini kamu!" bentak seorang wanita paruh baya berseragam batik putih PGRI itu.

Bu Wirma cukup heran dengan Amanda. Amanda biasanya selalu dapat nilai yang sangat bagus, apalagi jika tentang pekerjaan rumah. Namun kali ini siswinya itu berbeda. Bu Wirma mendengus kasar, sambil menggelengkan kepalanya heran. Sedangkan yang dibentak, hanya menunduk. Memainkan kedua kakinya dengan ubin.

"Kamu duduk, jangan pernah seperti ini lagi!" peringat Bu Wirma was-was.

Amanda berjalan menuju arah bangkunya. Seisi kelas memandangnya sebagai pusat perhatian. Berbeda dengan Cintya, yang menatap sebuah puisi 3 bait yang gadis itu ciptakan selama Amanda di depan tadi.

"Emang Lo gak ada akhlak yah Tya." bisik Amanda kesal.

"Gue gak pernah minta Lo buat nyontek punya gue," balas Cintya misuh-misuh.

"Tapi kalau Lo mau ngasih jawaban yang bener dikit kenapa?" ujar Amanda, wajahnya seraya semakin memerah. Gadis itu dengan segala cara mencoba untuk berbicara dengan nada rendah.

Cintya hanya mengedikkan kedua bahunya enteng. Dia tak mau ambil pusing. Nilainya saja ambruk, bagaimana bisa gadis itu merasa bersalah untuk nilai Amanda?

"Dasar es kuntiiiiiiiiii!" Amanda tak dapat menahannya lagi. Gadis itu kelepasan saat dirinya semakin geram akan sikap Cintya yang sedikit saja memberikan respect. Amanda refleks menutup rapat-rapat bibir dan mulutnya. Amanda merasa dia gadis paling bodoh sekarang!

"Astaga Amanda! itu pita suara apa toa kelurahan?" murka Bu Wirma, matanya menatap galak Amanda dari depan papan tulis.

"Kalian berdua keluar!" perintah Bu Wirma semakin geram.

"Taunya hanya bisa bikin mata saya melotot! 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐢𝐚𝐦, 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐛𝐚𝐜𝐨𝐭𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤!

CintyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang