Prolog by justtatan
***
Berulang kali Ocha menggigit bibir bawahnya. Kakinya terus bergerak tak bisa diam, matanya terus menatap ke depan sana—menanti bus yang mogok di tengah jalan.
"Aduh, bisa telat nih," gumamnya amat pelan.
Tangan Ocha saling bertautan, bulir-bulir keringat sudah menetes dari dahinya. Tidak, alasannya bukan karena kepanasan. Tak mau menanti lebih lama lagi, ia segera beranjak dari trotoar pinggir jalan yang tadi di duduki olehnya. Gadis itu melangkahkan kaki mendekati sopir angkutan umum yang ssedang berusaha untuk mengh.
"Mang, masih lama ya?" tanya Ocha pelan.
Si sopir menoleh sembari menggaruk rambut ikalnya, "kayanya masih lama, Neng. Ini bus saya memang sudah tua," jawabnya.
Bahu Ocha merosot turun tanda kecewa sebab penantiannya terasa sia-sia. Tangannya terangkat, mengacak rambutnya dengan gusar.
Sebelum beranjak dari sana, Ocha mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi muncul di dalam otaknya, "maaf, Mang. Ini udah jam berapa, ya?" tanyanya.
Si sopir bus tampak sedikit terkejut—menyadari jika di zaman sekarang, masih ada orang yang tak punya benda yang disebut jam tangan. Tak mau membuat penumpangnya menunggu terlalu lama, si sopir segera melirik jam yang melingkar di tangan.
"Udah jam setengah delapan, Neng."
Dan saat itu juga Ocha memekik kaget hingga lupa memberi uang ongkos atau sekedar mengucapkan terima kasih pada si supir bus. Ia langsung berlari begitu saja, melangkahkan kaki dengan tergesa.
"Aish, mampus!" gumam Ocha.
Terus berlari dan pantang berhenti adalah hal yang harus Ocha lakukan sekarang. Sampai-sampai tak menyadari kalau ada sebuah kaleng bekas. Akibatnya, gadis itu kehilangan keseimbangan—terjatuh di atas aspal jalan.
Helaan napas keluar, "aduh, kayanya hari ini gue sial banget deh!"
Dengan rasa kesal sepenuh hati, Ocha memilih untuk segera berdiri. Saat merasa sesuatu menimpa kakinya, matanya spontan melihat ke bawah. Dan saat itu juga—
"Sial, kenapa tali name tag-nya harus putus, sih? dan kenapa kertas name tag-nya juga harus ikutan sobek?!" teriakannya mampu membuat beberapa pejalan trotoar menoleh.
Dan Ocha sama sekali tak peduli. Saat ini ia hanya ingin meratapi nasib sialnya hari ini.
Sial, sial, sial, dan sial!
Kata sial terus ia ucapkan. Namun saat menyadari sesuatu, ia berhenti dan menepuk dahi.
"Aduh, gue harus cari tumpangan!"
Ocha memungut name tag-nya yang sudah hancur. Saat mendengar suara klakson mobil, gadis itu segera berlari menghadang. Nekat, tetapi itulah Ocha.
Bipppppp!
Ia sontak menutup telinga, kala klakson terdengat nyaring masuk kedalam pendengarannya. Memejamkan mata, berharap nyawanya tak melayang saat itu juga.
"Woi! dasar bocah jaman sekarang. Kalau mau bunuh diri jangan pake jasa mobil saya, dong!"
Ocha mengerjapkan mata, mendapati sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik jelita.
"Minggir-minggir, saya mau lewat. Anak saya udah terlambat!" seru wanita itu lantang.
"Hei!" teriakan lantang wanita itu mampu membuat Ocha kembali tersadar ke dunia nyata.
"Saya bilang minggir, ya minggir!" teriaknya lagi.
Bukannya minggir, Ocha malah menangkupkan tangan di depan dada sembari memasang wajah melas.
"Bu, tolong saya. Tolong beri saya tumpangan ke kampus, saya beneran udah telat. Tolong banget, Bu," ujar Ocha,
Wanita paruh baya itu tampak mengernyit tak suka, "heh, saya nggak sudi kalau mobil saya kena kemiski—"
"Udah sih, Ma. Tumpangin aja."
Kedua perempuan di sana sontak menoleh ke arah sumber suara. Mata keduanya mendapati sosok pemuda jangkung yang ada di belakang sana.
***
Sudah berada di depan pintu kampus, beban Ocha rasanya berkurang satu.
"Liam, kamu masuk aja, mama udah ngomong sama temen mama biar kamu bisa masuk tanpa halangan atau hukuman apapun."
Ocha sontak menoleh saat mendengar kalimat tersebut. Matanya mendelik kala melihat sosok pemuda tadi kini sedang dikecup sana sini oleh sang ibu, tak lupa di genggaman lelaki itu terdapat sebuah kotak bekal dan botol minum.
"Hah? memangnya anak kuliahan, masih jaman bawa bekal?" tanpa sadar, Ocha berucap terlalu keras hingga sepasang ibu dan anak itu menoleh.
Ocha tambah ngeri ketika mata si ibu berkilat tajam, "nggak sopan kamu ngata-ngatain anak saya. Masih untung tadi saya tebengin!"
Senyum kikuk terulas, "maaf, Bu," ujar Ocha.
Gadis itu berpamitan sebentar, sebelum akhirnya beranjak masuk ke dalam wilayah kampus. Saking senangnya bisa sampai ke kampus dengan naik mobil ber-AC, Ocha melupakan fakta jika sebuah name tag sudah tak lagi ada di genggamannya.
Gadis itu baru menyadari ketika melihat para mahasiswa baru yang baris dengan name tag yang menggantung di leher masing-masing.
"Gawat ini mah, udah telat, nggak bawa name tag lagi. Gue harus ngapain, nih?" guman Ocha.
Kata 'kabur' terlintas di otaknya. Gadis itu langsung berbalik, dan hendak melangkahkan kaki. Namun—
"Itu yang terlambat dan nggak bawa name tag, silahkan maju ke depan!"
Tubuhnya menegang, kepalanya menoleh dengan kaku. Dan saat itu juga rasanya ia ingin menangis—sebab sekarang ia jadi pusat perhatian semua orang yang sedang berbaris di sana.
"Kamu gak denger? Saya bilang maju!"
Tak mau membuat sosok pemuda yang terlihat seperti ketua pelaksana kegiatan Maba itu, Ocha memilih untuk segera melaksanakan sesuai yang diperintahkan.
"Kenapa terlambat?!"
Ocha menunduk, tak berani menatap si lawan bicara, "ta-tadi bus-nya mo-gok, Kak."
"Kalau diajak ngomong itu yang sopan. Liat mata orang yang lagi bicara sama kamu!" Ocha tetap tak mau mengangkat pandangannya.
Pemuda itu tampak menghela napas, "kamu, cepat baris di sana," ujarnya sembari menunjuk ke sebuah barisan.
"Angkat satu kaki sama jewer telinga kiri," ujar si ketua lagi.
Ocha mengangguk kaku, lantas menempatkan diri di barisan paling belakang. Memposisikan tubuhnya sesuai intruksi si ketua tadi.
"Ssst,"
Ocha menoleh ke kiri, mendapati sosok pemuda tinggi yang mengulas senyum ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Ocha pelan.
"Nama lo siapa?" tanya si lelaki di samping kirinya.
Ocha menyebutkan namanya, namun tak berniat untuk bertanya balik. Tidak, bukan karena sudah tahu nama sang pria. Anehnya di name tag lelaki itu sama sekali tak ada sebuah tulisan. Mungkin hal tersebut yang jadi akibat pemuda itu dapat hukuman.
"Lo nggak berniat untuk nanya identitas gue?" mungkin takut kena semprot lagi, pemuda itu berucap begitu pelan.
Ocha menggeleng sebagai jawaban, sebelum akhirnya kembali menatap ke depan—mendengarkan ceramah panjang lebar dari si ketua sembari menahan rasa pegal dan lapar yang perlahan datang.
"Hem, mungkin lo malu-malu buat nanya kali, ya? kalau gitu gue perkenalan diri aja, nama gue Leon. Leonard Wardana."
Ocha spontan kembali menoleh, menatap lelaki di sampingnya dengan tatapan aneh. Tentu saja.
"Gue kan nggak tan—"
"COWOK CEWEK YANG BARIS PALING BELAKANG, TOLONG DIAM DAN DENGARKAN!"
————🌼————
5 November
22.37
KAMU SEDANG MEMBACA
LOL (LIFE OR LOVE)
Teen FictionHanya ada kata berjuang untuk hidup nya, tidak ada lagi yang dia pikirkan. Cinta? Benci? Dendam? Untuk apa? Hidupnya sudah lebih dari susah, dia tidak ada waktu mengurusi kata-kata itu. Orischa Tiana, kesehariannya hanyalah mencari uang dan ua...