Oleh: Stephanie Ginandjar
(Trigger warnings: suicide, depression, slight paranoia)
(Originally submitted for Kontes AU Offgun Antologi Cinta: Eternal Love)
—
SATU.
Kukira menjaga idealisme dan memilih mimpi sekalipun keluarga besarmu tak setuju adalah apa yang aku inginkan. Kulakukan semua hal tersebut, dan aku perjuangkan seluruh pilihan-pilihan hidupku hingga molekul terkecilnya, dan kupikir, ketika aku selangkah lagi menuju kepala tiga, tidak ada yang bisa menghentikanku.
Namun kenyataannya, disinilah aku. Hari Minggu pertama bulan November, ditemani hujan pagi dan teh bunga yang mahal, masih diketeki Ibu sendiri.
"Jumpol," suara Ibu yang getir mencapai indera pendengaranku, denting sendok tehnya tersamarkan oleh bunyi gemerintik hujan, "bagaimana kelanjutan cerbungmu?" ia berbalik dan tersenyum, namun sinar matanya getir.
Aku berani bersumpah atas garis-garis setrika jasku yang rapih, semiran mulus pantofelku, dan dasi merah warisan Kakek bahwa Ibu sama sekali tidak peduli dengan kelanjutan cerbungku. Atau puisiku, atau sonetaku, atau syair-syair gagalku, atau apapun yang aku berani sebut sebagai karya.
"Ibu tidak lihat ada namamu di surat kabar hari ini," Ibu melanjutkan, masih mempertahankan senyumannya. Dekik manis hasil tanam benang, bibir yang setengahnya berasal dari isian, dan wajah mulus tanpa kerut berkat botoks dokter keluarga kami menjadi pusat pertama penglihatanku.
Aku mencemooh di balik nafasku. Ironis, kalau mengingat pekerjaan Ibu sebagai terapis klinis yang membawa unsur afirmasi diri ke sekujur tubuh tanah Thailand, ketika Ibu sendiri butuh segala jenis injeksi dan jahitan dan pahatan dan semua hal palsu lainnya, untuk mengafirmasi dirinya sendiri.
"Yah, begitulah, Bu." Aku memutuskan untuk menjawab ala-ala penulis roman picisan, menggantung dan tidak pasti.
Ibu menggeleng-gelengkan wajahnya, rambutnya yang disemir warna jagung—agar lebih mirip dengan wanita istimewa Kaukasia, katanya—ikut bergoyang seiring dengan pergerakan rahangnya. Ia menghela napas pelan sebelum meletakkan cangkir tehnya di hadapanku. Ibu duduk, menyilangkan tangannya. Gestur tubuhnya seakan ia ingin mengucapkan sesuatu yang penting, walaupun aku tahu apapun yang keluar dari mulut Ibu tak lain adalah tai kerbau.
"Oh, Jumpol," Ibu mendekut, seakan-akan aku adalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa, "kautahu apa itu cerbung, Sayang?"
Tentu saja aku tahu. Menulis cerpen bersambung di koran hari Minggu adalah pekerjaanku. Namun, aku tahu Ibu tidak benar-benar ingin tahu pendapatku tentang cerpen atau tulisan apapun, jadi ia pasti punya maksud tertentu untuk menanyakan ini.
Kuputuskan untuk menjawab. "Tidak, Bu, memangnya apa?"
Ibu menghela napas lagi. Jemarinya memainkan gagang cangkir porselen kami yang bergurat emas itu. Alisnya mengkerut ke bawah, menunjukkan ekspresi mengasihani kepada anak satu-satunya yang gagal ini.
Ia tidak benar-benar kasihan denganku, tentu saja.
"Tidak lebih daripada setitik debu, Jumpol," suaranya parau. "Bukan hanya cerpen bersambungmu, tentu saja. Cerpen-cerpen lainnya. Puisi, soneta, syair pendek. Apapun itu. Ibu sudah menahan diri untuk tidak menyampaikan hal ini sejak dulu," lanjutnya, berani-beraninya meneteskan air mata, seakan-akan ialah yang tersakiti dengan perkataannya yang maha menyakitkan ini, dan bukannya aku.
Oh, bukan aku. Bukan Jumpol Adulkittiporn yang membuat satu keluarga besar malu bukan kepalang ketika ia memutuskan untuk menjadi penulis dan bukannya dokter seperti sepupunya atau bibinya atau keponakannya atau nenek-kakeknya atau buyut-buyutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Menamakannya Atthapan
Short Story(CERITA PENDEK YANG SUDAH SELESAI, SEBELUMNYA DIDEDIKASIKAN UNTUK E-BOOK ANTOLOGI CINTA: ETERNAL LOVE) TW // graphic depictions of suicide and suicidal thoughts Jumpol Adulkittiporn seharusnya bersyukur. Terlahir sebagai anak semata wayang keluarga...