02. Perjalanan

150 30 5
                                    

"Siapa yang tadi bilang kalau mandinya nggak bakal lama?" gerutu Johanna sambil berlari memasuki stasiun. Dewan yang berada tidak jauh di belakang mahasiswi itu memutar kedua bola matanya dengan malas, sebab omelan kakak perempuannya itu tidak akan berhenti sampai mereka tiba di Yogyakarta. Membayangkannya saja sudah membuat Dewantoro muak.

"Iya, maaf," cicit Dewan dengan terpaksa supaya amarah Hanna sedikit mereda.

Hanna berdecak pelan, masih merasa kesal dengan sikap menyepelekan Dewan yang mengakibatkan keduanya nyaris terlambat ke stasiun. Mereka bukan orang berada yang bisa membeli tiket secara cuma-cuma. "Tadi peron berapa?"

"Empat kayanya."

Kepala sang puan menoleh secepat kilat, netranya memandang tajam adik laki-laki yang terkejut sekaligus salah tingkah melihat reaksi kakaknya. "Kayanya?!"

"Maksudku—beneran peron empat."

Kakak-beradik itu lantas berlarian menuju peron yang dimaksud oleh Dewan, menemukan sebuah kereta yang belum berangkat. Tanpa memperhatikan nama kereta yang mereka naiki, merasa yakin dan kepalang terburu-buru, keduanya bergegas memasuki gerbong yang juga bernomor empat. Johanna lantas mencari tempat duduk mereka, agaknya melupakan sang adik yang tertinggal jauh di belakang.

"Wan! Sini!" Hanna melambaikan tangan pada Dewan yang berjalan ke arahnya dengan tergopoh-gopoh, agak kesulitan karena membawa dua ransel besar yang berisi pakaian mereka.

"Mbok nungguin aku dulu gitu, lho. Mbak Hanna lari-lari cuma bawa tas kecil, lha aku bawa tas gede-gede, dua pula!"

Johanna melengos. Kedua bola matanya ia putar, terlihat tak peduli dengan kondisi sang adik. "Ngomel mulu, yang penting 'kan sekarang udah di gerbong, udah tenang."

Setelah meletakkan dua tas ranselnya di rak bagasi gerbong, Dewantoro lantas duduk di samping Johanna yang sudah mulai membaca novel.

Tak lama kemudian, kereta mulai melaju, meninggalkan Bandung dengan berbagai macam kenangan bagi Dewantoro selama satu minggu. Ia masih ingat, kali pertama ia tiba di Bandung bersama sang kakak, keduanya langsung memesan angkutan umum yang mangkal di sekitar stasiun menuju rumah kakek Mandanita. Pemuda itu tidak akan pernah lupa bagaimana siswi kelas 12 SMA tersebut menyalami setiap orang yang melayat dengan tabah, masih sempat mengulas senyum saat ia melihat kedua kakak sepupunya jauh-jauh datang dari Kota Pelajar.

Meskipun pertahanan yang dibangun oleh Manda pada akhirnya runtuh ketika malam tiba, saat hanya ada Dewan dan Hanna yang menemani Mandanita kala itu. Tangisnya pecah di tengah-tengah ceritanya tentang sang kakek yang sudah terbaring lemah di tempat tidur tetapi bersikeras menolak untuk dibawa ke rumah sakit atau klinik kesehatan terdekat. Dewan tidak akan pernah melupakan betapa pilunya Manda ketika gadis SMA itu memperagakan genggaman tangan terakhirnya dengan sang kakek sebelum ajal menjemput pria berusia senja itu.

Mengingat kembali bagaimana ibu mereka menangis dan panik kala berusaha mengabari berita duka itu kepada dua anaknya yang sedang sibuk dengan urusan perkuliahan saja sudah membuat dada Dewan terasa nyeri.

"Le? Le? Mbah Padmo meninggal, Le. Iya, mbahnya Manda yang di Bandung itu. Mbakmu dikabari, Wan. Ibu coba telepon dari tadi nggak bisa-bisa. Ya Allah, Le. Manda bagaimana, ya? Sendirian di Bandung apa bisa, ya, dia nanti? Apa Ibu temenin saja, ya? Kita bertiga berangkat terus Ibu ditinggal dulu sampai dia selesai ujian?"

Kurang lebih begitulah kegundahan yang Yuliana tuang melalui sambungan telepon dengan putranya. Dewan, yang terkejut dan sama bingungnya, buru-buru memberi tahu Johanna yang rupanya sedang tertidur pulas di rumah temannya—menumpang tidur setelah begadang entah mengerjakan apa. Ponselnya mati karena kehabisan baterai, dan Dewan beruntung bisa menemukan keberadaan Johanna karena ia menghubungi teman-teman kakaknya itu. Setelah mendengar kabar duka tersebut, Hanna langsung mengeluarkan titah di mana biar ia dan adiknya saja yang berangkat ke Bandung untuk mewakili sang ibu, bersikeras melawan puan yang melahirkannya untuk turut serta sebab kaki Yuliana masih belum pulih benar.

The Last DutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang