LELA LEDHUNG

136 0 0
                                    






              "LELA LEDHUNG "
                Karya: Fahrudin

Sinopsis

Lela Ledhung menceritakan tentang suami istri yang sudah lama mengharap mempunyai momongan. Seperti sebuah keluarga pada nyatanya, yang dimana ada pergolakan pergolakan batin disetiap orangnya. Seperti itu pula yang dialami oleh sang suami dan istrinya. Pergolakan lahir dan batin yang terus menerus terjadi. Sehingga menghadirkan banyak dinamika yang harus dihadapi oleh keduanya. Sampai ternyata hal yang didambakan mereka akan tiba,  sayangnya  ada yang disembunyikan dari keduanya. Ada hutang masa lalu yang belum terbayar, dan ada kewajiban masa datang yang harus diterima keduanya. Pergolakan kehidupan. Ya begitulah manusia. Harus menghadapinya dan memenangkannya. Untuk apa ?. Sejatinya hidup adalah kehidupan kita itu sendiri, dan hidup kita bergantung pada apa yang digariskan-Nya.














“ LELA LEDHUNG”

Para pelaku:
Istri  : 25-28 tahun. 
Suami 
Karakter : : 28-30 tahun
Istri : Cengeng, baik hati, pencemburu, plin-plan, pemarah, tenang, penyayang. 
Suami 
: Sabar, penyayang, humoris, tenang, berwibawa, tegas
Kostum : 
Istri : Pakaian santai malam hari ( piyama atau sejenisnya)
Suami  : Pakaian santai malam hari ( kaos, sarung/ celana santai, surjan, jarik,
blangkon).






         Panggung menggambarkan tiga  ruangan meliputi ruang makan (disebelah kiri belakang) , ruang keluwarga ( ruang bagian tengah depan), serta kamar tidur ( disebelah kanan belakang) dari rumah sepasang suami istri yang sudah lama menikah. Di panggung sebelah kiri belakang ada meja makan kecil dengan tiga buah kursi serta beberapa hidangan makan malam yang telah disajikan diatas meja dengan background dinding serta didinding menempel jam dinding biasa pada umumnya. Agak di tengah depan  ruangan itu terdapat sofa  dengan meja yang warnanya lusuh dimakan jaman , dengan background dinding. Di atas meja terdapat dua cangkir yang berisikan the hangat. Didinding terdapat foto pernikahan yang Nampak sudah lama serta ada lukisan bergambar anak bayi yang tidur diayunan. Di bagian kanan belakang terdapat kamar tidur , dengan ranjang tidur mereka. Disamping ranjang ada meja rias kaca, serta ranjang bayi  lengkap dengan isian boneka dan perlengkapan bayi yang masih kosong dengan background dinding. Didinding terdapat foto pernikahan yang berbeda dengan ruang tengah. 







ADEGAN  1 : 
       Istri duduk di ruang tengah  bagian tengah sambil menyulam. Sebentar-bentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Ia menunggunya untuk makan malam bersama hal yang biasa dilakukan oleh keluwarga. Saat lampu menyala, Istri sudah didalam panggung dan dalam posisinya. 
( LAMPU FADE IN PERLAHAN KEARAH ISTRI  ) .

Istri    : (Bicara sendiri). Ah, kenapa kau tak lekas datang ! Seperti malam yang lalu. Kau selalu         menyendiri karena tuntutan pekerjaanmu.Dan kenyataannya aku harus menunggumu sebagai bentuk pengabdian tulusku. tidak ada yang  lain selain aku menunggu… dan terus menunggu hingga kadang jenuh dan kantuk. Hmmm… (Mengambil cangkir, lalu meminumnya). Padahal mala mini aku membawa kabar gembira perihal penerus kita. Sesuatu yang sudah lama kita dambakan kehadirannya, pelengkap bahtera rumah tangga kita. Dan kau,masih dikamar saja.Seolah tak mau makan malam bersama. Suami    :  (Masuk dengan memakai surjan dan jarik serta memakai blangkon). Bagaimana kalau aku pakai blangkon  seperti ini, Bu?
Istri    :  Astaga!  Arjunaku hendak kemana menjelang malam begini? Suami    :  Tidak kemana-mana ( tegas).  Cuma mau duduk-duduk saja, sambil memperhatikanmu menyulam dengan penuh kesabaran ( melempar senyum dantetap berdiri dengan sesekali memandang istrinya). 
Istri    :  mengapa memperhatikan mesti memakai pakaian adat segala? Suami    :  Agar komplit, Bu. Supaya kamu lebih semangat menyulam.
Istri    :  Yaaaahhhh. Waktu dulu kau menikahiku kau memakai pakaian seperti itu. Tapi                 sekarang, pakaianmu itu hanya bernilai tambah kewajiban guru belaka.
Suami    :  (Berjalan menuju ke meja, mengambil cangkir, lalu duduk di  sofa ).
Istri    : Mengapa duduk disitu ?
Suami    :  Sebentar. ( Mencopot blangkonnya). 
Istri    :  Ada berita rahasia !.
Suami    :  rahasia? ( menyopot surjan dan jarik yang dikenakannya). 
Istri    :  Habisnya kau seolah ingin berkata kata.  kenapa sayang? Ada apa ?. 
Suami    :  Malu.
Istri    :  Malu? Kau aneh. Malu pada siapa?
Suami    :  Dilihat banyak orang ( sembari menunjukkearah penonton). Sudah tua kenapa
                 pacaran terus….
Istri    :  (Menaruh sulaman dimeja kemudian berdiri menghampiri suami, lalu duduk di sebelahnya, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Suami sebelah kiri).
Suami    :  Gila. Malah demo kemesraan.
Istri    :  Sekali waktu memang perlu. Toh dirumah ini hanya kita berdua.
Suami    :  Ya, tapi kan bukan untuk saat ini?
Istri    :  Kukira justru!.
Suami    :  Duh biyung… apa-apaan ini.
Istri    :  Agar orang tetap tahu, aku milikmu.
Suami    :  Siapa mengira aku bukan milikmu ?.
Istri    :  Ahhhhh… wanita. Bagaiamanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi mengambil sulaman dan duduk ditempat semula). Dunia wanita yang hidup dalam anganangan, takutkehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.
Suami    :  Bagus!
Istri    :  Apa maksud perkataanmu ?.
Suami    :  Tindakan terpuji, itu namanya. 
Istri    :  He, apa maksudmu, Pak?
Suami   :  Mengaku dosa di depan orang banyak!
Istri    :  Hu… hu… hu… (Menangis)
Suami    :  Heee, ada apa denganmu, Bu? Ana apa ? 
Istri    :  Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh.   Hu…  hu… hu… Suami    :  Bukan maksudku memperolok-olokmu, Bu. Aku justru memuji tindakanmu
                 yang berani. 
Istri    :  (Tiba-tiba berhenti manangis). Berani? Apakah aku pemberani?
Suami    :  Ya, Kau sangat pemberani Bu !. Kau pantas dan sangat layak disejajarkan dengan ibu kita kartini
Istri    :  Ibu Tin? 
Suami    :  Tidak… Bukan …. bukan ibu Tin. Tetapi ibu kita… Kartini !.
Istri    :  Tetapi, bukankah ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin ?. Apa yang salah dari penyebutan itu?
Suami    :  Hush, kau ini. diam!( sembari menaruh telunjuk didepan mulut).  Ingat ini di depan banyak orang. Maka jangan berkata sembrono ngawur dengan sebutan-sebutan yang multi interpretasi…. !. 
Istri    :  Hah.. Kau mulai kumat lagi dengan lagak sok profesormu itu Pak?
Suami    : Yaaa, jelas… sangat jelas. Aku dulu memang punya cita-cita menjadi seorang professor. 
Istri    :  Dan nyatanya cita-cita itu  kandas !.
Suami    :  Belum!. Jelas sangat belum kandas !. Emmm…  malah bisa dibilang sudah berhasil. Hanya menunngu  pengakuan saja.
Istri    :  Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu itu, Pak?. Kau tidak mengajar di                  perguruan tinggi manapun di dunia ini. 
Suami   :  Secara formal memang tidak. Secara material ia. 
Istri    :  Hah, bagaimana mungkin?
Suami    :  Kau lihatlah baik baik Sayang. Banyak mahasiswa yang datang kemari, bukan? Tidak hanya cukup sampai disitu , para guru besar juga datang ke mari. Mereka mengajakku berdiskusi, segala macam persoalan. Dari soal-soal tata pemerintahan, pendidikan, sosial.
Bahkan  berdiskusi sampai bagaimana cara mengatasi kesepian. 
Istri    :  Bukankah itu cuma disebut omong-omong, mengapa mesti dikatakan diskusi?
Suami    :  Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak pake omong, he…? Istri    :  Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi tentara, polisi, atau malah  jadi suami yang baik saja.
Suami : Ah… Iya. Sepertinya aku memang harus menjadi suami yang baik saja. 
Istri : Seharusnya memang begitu Sayangku. Iya… Ayo kita lekas makan malam. Terlalu lama berbicara sampai aku lupa. Mari Sayangku ! ( Berdiri mengajak suami ).

( LAMPU BLACK OUT )

ADEGAN 2: 
( Di panggung sebelah kiri belakang ada meja makan kecil dengan tiga buah kursi serta beberapa hidangan makan malam yang telah disajikan diatas meja dengan background dinding serta didinding menempel jam dinding menunjukkan pukul 19.30
). 
Saat lampu menyala dipanggung sudah terdapat suami istri dimeja makan. Sang Suami telah menyelesaikan makan malam, sementara sang Istri masih menyelesaikan makan malamnya yang tinggal sedikit lagi. Sampai pada akhirnya sang Istri menghabiskan makanannya dan mengambilkan minum untuk suaminya. Saat adegan ini dimulaiSuami dan Istri sudah pada posisinya).
Istri : Bagaimana makan malamnya ?.
Suami : Masih seperti sebelum sebelumnya. Makan malam yang indah dan romantis karena kita hanya berdua ( sembari tersenyum ).
Istri : Sayang ya Pak. Apa yang kau impikan tak kunjung kita dapatkan. Karena aku belum bisa memeberikannya padamu, seorang yang akan melanjutkan kelangsungan peradaban kita. Penerus kita.
Suami : Sudahlah, Bu!. Mungkin saat ini itulah yang terbaik untuk kita. Barangkali Tuhan memang belum percaya pada kita untuk menjaga titipannya. Bersabarlah, dan jangan berhenti memohon padanya.
Istri : Tapi aku yakin. Dalam hati kecilmu, kamu sangat kecewa. Aku tak bisa menjanjikan apa apa bukan ( intonasi agak  naik). Hanya menambah beban penanggunganmu saja.
Suami  : Sudahlah Bu…. Sudah. Tak usah kau perkeruh. ( dengan sabar).
Istri : Biar. Biarkan lebih keruh Pak. Biar kita tahu yang jernih mana dan kita bisa membuang hal yang seharusnya tidak ada. Bukannya malah diam saja seperti ini ( intonasi lebih naik ).
Suami : Sudahlahhhh…. Aku menerimamu tulus dan ikhlas Bu. Maafkan aku. Aku tak bisa berpekerjaan seperti apa yang kamu harapkan. Hanya menjadi seorang Guru honorer yang bayarnya tak seberapa, harus menambal sana sini demi kebutuhan keluwarga. Malah menjadikanmu untuk membantu memenuhi kebutuhan keluwarga kita.Namun aku bahagia Bu !!!. Percayalah.
Istri : ( menangis ). Kau hanya mencoba menenangkan bukan ?. 
Suami : Bu…. Percayalah. Aku tulus dan ikhlas menerimamu. Dari awal kita mencoba membina bahtera rumahtangga kita ini. Percayalah.
Istri : He… Kau berlagak tenang. Marahlah !!!. Tak usah menjadi kuat seperti itu. Aku tak bisa menjadi istri yang baik bukan ??? ( intonasi lebih  naik )
Suami : Bu… Apa hakku marah. Karena ini memang tanggung jawabku, keharusan yang harus aku lakukan. Yaitu, membina rumahtangga kita dengan sebaik-baiknya. Maafkan aku yang tak bisa menafkahimu lebih baik dari yang kau kira ?. 
Istri : Harusnya kau menjadi politikus saja!. (lantang).
Suami    : Aku kurang senang berpolitik.
Istri    :  Tapi kau akan lebih terkemuka, lebih ternama, dan lebih terkenal bukan ?. (lantang) Suami    :  Politik terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Istri termenung
                 tiba-tiba)
Suami    :  Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi Guru. Kau kepingin aku jadi Tentara,
Polisi, Politikus ???. Haaa… ( intonasi agak naik ). Baik. Aku akan jadi politikus demi keselamatan perkawinan kita. Aku akan segera jadi politikus sekarang juga dan tidak menjadi guru. Partai mana yang harus aku ikuti ? Demokrasi, PPIP, atau Golongan Bangsa. 
Istri    :  Ya, terserahmu  saja…
Suami    :  Tapi…. (Lalu duduk di sofa termenung).

Itu lebih terhormat . Siapa tahu kau akan jadi  kader pilihan, lantas kelak jadi
sekretaris jenderal.  
(Suami geleng kepala)
Istri    :  Kurang besarkah  kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? ( menantang ).
(Suami memandang Istri)
Istri    :  Tapi itu lebih sukar dan sulit, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam                  saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang                  rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi? 
(Suami     geleng kepala) 
Istri    :  Nah, paling terhormat jadilah politikus itu Pak!.
                 (Suami geleng kepala)
Istri    :  Aku sungguh tidak mengerti cita-citamu, Pak. 
Suami    :  Aku ingin jadi Guru bagi siapa saja saja…
Istri    :  Ah, gila. Itu pekerjaan gila. 
Suami    :  Banyak Guru yang mengajar dimanapun, di dunia ini. Tapi mereka belum punya wakil untuk bicara, bicara dengan mereka yang ada di Istana negara tentang nasibnya, bukan? Ini tidak adil.Maka aku menyatakan diri. Maka aku menyediakan diri untuk mewakili mereka ini sebagai guru yang menyuarakan suara hatinuraninya.
Istri    :  Tapi kau akan terhina
Suami    :    Selama kedudukan adalah hanya strata, di manapun ditempatkan sama saja terhinanya sama saja mulianya. 
Istri    :  Aku tidak rela kalau kau menyuarakan  itu. 
Suami    :  Kau belum tahu, justru paling mulia di antara tugas mereka  di manapun juga. 
Kau sudah tidak waras. 
:  Seorang Guru pada hakikatnya adalah seorang yang pandai mengajar . Pandai membelajarkan anak orang, pandai membimbing. Orang-orang di dunia perlu dibujuk agar belajar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri.Tidak sekedar dihalau, diusir, dan diperlakukan semena-mena. Jadi untuk mengatasi tidakan-tindakan seperti ini, perlu ada wakil yang bisa menyuarakan hati nurani mereka.

Istri    :  Ah… bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman bagaiamana jawabku, Pak. Coba bayangkan, bayangkan…
Suami    :  Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak usah khawatir, kalau kau datang ke arisan yang lima ribuan, dan kau ditanya orang-orang apa pekerjaanku jawab saja Guru, titik. Tempatnya dimana tak usah kau sebut, kalau kau datang ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau kau ngomong Guru dimana
saja. 
Istri    : Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di mana tempatnya?
Suami    :  Ah… (memegangi kepala). Begini, Guru bagi siapa saja yang ingin sama sama belajar dan membelajarkan … hebat toh?.
Istri    :  Masak ada guru dimana saja ?.
Suami    :  Kau ini bagaimana, Guru itu serba mungkin asal kau tau apa yang harus diajarkan dan dipelajari, beres. Coba, kau kan tahu ada Guru sertifikasi, honorer, swasta. 
Istri    :  Ah, susah aku tak ingin kau jadi Guru, Pak. 
Suami    :  Tapi, aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan itu.  
(Istri termenung)
Suami    :  (Memandang Istri). Susah…
Siapa?
:  Kita semua
Istri    :  Termasuk mereka ( memandang penonton )?
Suami    :  Ya. 
Istri    :  Kenapa?
Suami    :  Karena kita hidup
Istri    :  Mengapa begitu?
Suami    :  Orang hidup punya beban sendiri. ( Berdiri. mengambil teko, menuang air, lalu meminumnya sambil berdiri).
(Istri memandang tindakan-tindakan sang suami. Suami membuka stoples lalu memakan makanannya) 
Istri    :  Seorang Guru harus tahu aturan. 
Suami    :  Apa maksudmu?
Istri    :  Makan tidak boleh sambil berdiri. Itu bukan tindhak tandhuk Guru. 
Suami    :  Aku sedang tidak dengan muridku. ( tertawa ).
Istri    :  Mau pindah pekerjaan?
Suami    :  Tidak.
Istri    :  Lantas ?.
Suami    :  Tetap menjadi Guru bagi siapapun dan dimanapun. 
Istri    :  Gila. 
Suami    :  Aku mau jadi Guru yang bisa satu saja… Istri    :  Ekonomi?
Suami    :  Bukan!
Istri    :  Politik?
Suami    :  Bukan
Sejarah ?
:  Bukan
Istri    :  Lalu apa?
Suami    :  Guru dibidang idang persampahan
Istri    :  Apa?
Suami    :  Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa
banyaknya…
(Istri termenung)
Suami    :  Kau tidak senang?
Istri    :  Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?
Suami    :  Karena kita tak lagi sanggup melihat kenyataan-kenyataan. 
Istri    :  Mengapa?
Suami    : Kenyataan yang kita lihat, adalah tipuan belaka adanya
Suami    :  Hidup kita diwarnai dengan cara berpikir yang sadis. 
Istri    :  Ah, makin pusing aku  mendengarkan bicaramu
Suami    :  Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya rindu lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan teori yang tidak kita pahami sendiri… keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal bernilai nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga hidup kita didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam kepada ukuran-ukuran mini. Kita rindu HOS Tjokroaminoto… Kita rindu Ahmad Dahlan…. Kita Rindu Ki Hajar Dewantara.  Mereka harus ditakdirkan kembali di sini. Citra

guru yang terpancar dari karya-karya pemikiran mereka harus dipancarkandan kita wujudkan kembali di sini. 

Istri    :  Suamiku… Suamiku… Suamiku… Sudahlah… 
Suami    :  Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya. Manusia harus….
Istri    :  Sudahlah… (Menuntun pergi dengan manja)
Suami    :  Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu…                  doktrin-doktrin itu harus…harus…
Istri    : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu semangat begitu…
Suami    : Kreatifitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan merangsangnya…dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia yang lembek. Yang cuma meniru, meniru, meniru…(Suami
rebah, Istri menjerit).
LAMPU BLACK OUT
ADEGAN 3 : 
Di bagian kanan belakang terdapat kamar tidur , ada ranjang tidur mereka. Disamping ranjang ada meja rias kaca, serta ranjang bayi  lengkap dengan isian boneka dan perlengkapan bayi yang masih kosong dengan background dinding. Didinding terdapat foto pernikahan yang berbeda dengan ruang tengah.

Saat lampu fide in Istri dan suami sudah didalam panggung. Suami tertidur diatas ranjang. Sementara sang Istri ia masih sesenggukan menangis. Sembari menyanyikan lagu tak lela-lela ledhung duduk didekat ranjang bayi sembari menggoyangkannya.
Tak lelo…lelo…lelo ledung…
Cep menenga, aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndak ilang ayune
Tak gadhang bisa urip mulya
Dadiyo wanita utama Ngluhurke asmane wong tuwo
Dadiyo pendekaring bangsa….

Wis cep menenga…anakku…
Kae.. mbulane ndadari
Kaya buta nggegilani
Lagi nggolekki cah nangis..

Tak gadhang bisa urip mulya
Dadiyo wanita utama
Ngluhurke asmane wong tuwo
Dadiyo pendekaring bangsa….

Istri    : (Terseduh dengan sesekali sesenggukan). Nak…. Kau harus siap nantinya menghadapi apapun yang akan terjadi ketika kelak kau terlahir kedunia ini. Banyak yang akan kau temui,banyak yang akan kau alami. Belajarlah, jangan terburu lelah. Jadilah apa yang kamu inginkan. Ketika Bapak dan Ibumu ini mengekang, ingatkanlah Nak. Katakan pada kami yang sering tak melihat dan dungu terhadap apa yang ingin kau impikan.
Belajarlah dari siapa saja tentang kebaikan kebaikan, jangan takut. Percaya pada kata hatimu. Warnailah hidupmu. Ibu dan Bapak sangat bahagia menyambutmu lahir kedunia, tak sabar rasanya. Mendengar tangismu, tertawamu yang nyata. 
Suami    : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Istri dan mendekapnya dari belakang).
Mengapa kau menangisi aku, tangisilah dirimu sendiri.
Istri    : Kau masih hidup…?
Suami    : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….
Istri    : Tetapi kau berbicara, kau bernapas….
Suami    : Bukan itu ukuran adanya kehidupan.
Istri    : Jangan bicara yang sukar-sukar, aku tidak mengerti.
Suami    : Tentu saja, karena kau belum mengerti hidup.
Istri    : Sudah berpuluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti. Suami    : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti doktrindoktrin itu….
Istri    : Bagaimana seharusnya, Sayangku?
Suami    : Renungkan dirimu sendiri dan sudah itu menangis!
Istri    : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak….(Terdengar suara jam dinding dua belas kali).
Istri    : Sudah larut tengah malam.
Suami    : Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang. Dan akan kusambut sikecil yang aku sayang. Tinggal menunggu waktu saja. Dan ketika waktunya tiba, aku masih ….. ( seolah berpikir) memikirkannya.
Istri : Apa yang kau pikirkan ?.
Suami : Menghadapi kenyataan hidup kita. Menjadi Guru dan Ayah baginya, menjadi temannya, dan mungkin menjadi orang yang akan dibencinya.
Istri : Doamu ?.
Suami : Bukan. Bukan maksudku berdoa untuk dibencinya. Tapi itu kemungkinnan ada ketika dia beranjak dewasa nantinya. Asal kita menjaganya, membelajarkannya dengan usaha yang kita bisa, eitsss… jangan lupa pastikan Tuhan selalu kita mohonkan kasih sayangnya yang nyata. Untuk anak kita.
Istri    : Kita akan menjadi segar  dan hidup kembali. Aku menjadi Ibu… dan Kau…. Akan menjadi Ayah dari anak kita.
Suami    : Dan tambah tua….terus bertambah tua. (Istri termenung. Suami termenung)
Istri    : Kapan kita mati?
Suami    : Entah. Tapi kita harus siap-siap.
Istri    : Sungguh ngeri!
Suami    : Memang. Tapi itulah kenyataannya.
Istri    : Aku takut.
Suami    : Aku juga…. (memeluk Istrinya ).
Istri    : Satuhal yang aku minta.
Istri    : Apa ?.
Istri    : Tetaplah bersama untuk saling berbahagia. 
Suami    : Bahagia. Pilihan yang menarik. Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup.
Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….
Istri    : Bagaimana cara kita mengerti…?
Suami    : Itulah soalnya…. Jalani saja

Layar menutup dan lampu black out.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lela LedhungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang