Coffee Shop

7 0 0
                                    

Sejak dulu aku bercita-cita bekerja di sebuah coffee shop menjadi seorang barista. Iya, sesederhana itu. Aku menyukai hal- hal yang sederhana di mata orang. Buatku memakai celemek, berada di belakang coffee bar sambil menyeduh kopi dan menyuguhkannya ke pelanggan adalah pekerjaan seksi. Bekerja dengan dikelilingi aroma wangi khas kopi dan lantunan musik accoustic sebagai pengiring adalah suatu kenikmatan tersendiri.

Aku menyukai kopi tapi bukan penikmat. Aku menyukai kopi tapi tidak bisa meminumnya, ironis memang. Aku hanya menyukai aroma dari kopi yang diseduh oleh sang barista tapi tidak berkeinginan untuk meminumya. Bagiku aroma kopi adalah candu yang mampu membuatku sejenak melupakan segala kekisruhan dalam hidupku. Aku hanya menyukai aroma seduhan kopi dari coffee shop ini, makanya tidak pernah sekalipun dalam sehari aku tidak datang ke tempat ini.

Aroma seduhan kopi di sini beda dari yang lain. Aku pernah mengunjungi coffee shop lain, tapi tidak bisa menemukan aroma yang sama dari tempat ini. Coffe shop ini bukan hanya sekedar tempatku tuk menikmati aroma kopi, tetapi tempat ini adalah sebuah pelarian bagiku, tempat di mana aku bisa menikmati kesendirianku tanpa harus berbasa-basi dengan orang lain.

Sebuah meja bulat kecil yang diapit dua buah kursi yang berhadapan di dekat jendela tepat di sudut menjadi tempat favoritku di coffee shop ini. Setiap harinya aku selalu memilih duduk di tempat tersebut. Ini adalah tempatku, dan baristanya pun seakan mengerti dan membiarkan meja tersebut kosong sampai aku tiba. Bagiku coffee shop ini adalah sebuah tempat bagi orang-orang sepertiku, orang-orang yang penuh kegalauan dan hanya ingin sejenak melupakannya. Setidaknya pandanganku akan tempat ini seperti itu. Mungkin karena pertama kalinya mengenal tempat ini, ku mengalami sakit hati yang mendalam.

"Kita sudah tidak bisa sama-sama lagi, maaf..." Ucapnya lirih dan berlalu tanpa perasaan meninggalkanku sendirian yang masih berusaha mencerna perkataannya.

Aku yang matanya perih  karena menahan tangis, berjalan tanpa arah hingga akhirnya menemukan coffee shop kecil ini yang seakan-akan menarikku masuk kedalamnya, akhirnya aku menemukan tempat pelarianku. Sebuah sanctuary bagi orang yang dirundung masalah.

Namun, pandangan muramku tentang coffee shop ini berubah setelah pertemuanku denganmu.

"Maaf, bisa duduk di sini?" Tanyamu tersenyum.

"Semua tempat sudah penuh. Itupun kalau dibolehkan." Katamu lagi yang masih tersenyum.

Aku mengangguk. "Iya, silahkan."

Aku memiliki kebiasaan memperhatikan gaya berbusana seseorang dan sama denganmu aku pun memperhatikannya. Kamu memakai kemeja hitam dengan lengan yang dilipat hingga setengah lengan, dipadukan dengan celana jeans hitam. Kamera yang kamu pegang diletakkan di meja bersama dengan kopi espresso yang kau pesan. Aroma kopinya sangat menggungah.

Aku tersenyum. "Seorang fotografer." Ucapku dalam hati.

Aku masih ragu apa, keputusanku membirkanmu duduk di mejaku adalah benar, karena saat ini aku sedang tidak ingin berbincang dengan orang asing. Namun, aku juga tidak mungkin membiarkanmu, sementara ada sebuah kursi kosong di depanku. Itu egois. Cukup kali ini saja pikirku.

Aku kembali melihat ke arah jendela memperhatikan orang-orang yang ada di luar kafe.

"Di sini selalu rame ya?" Kamu kembali membuka pembicaraan.

"Oh iya, sampai lupa, Bima." Ucapmu sambil menjulurkan tangan dan kamu pun masih memberikan senyuman hangat.

"Kanaya." ku menjabat tanganmu dan membalas senyummu, berusaha ramah kepada orang yang baru dikenal.

"Biasanya tidak serame sekarang." Kataku lagi

Kualihkan lagi pandanganku di luar jendela sambil menyeruput ice vanillaku yang sudah tidak dingin. Aku memang paling suka melihat ke jendela setiap kali duduk di coffee shop ini.

"Coba lihat ini." Aku yang tengah asyik melamun terkejut dengan suaramu.

"Coba lihat fotonya." Ucapmu lagi sambil menyodorkan dan memperlihatkan foto orang yang ada di meja sebelah yang tanpa kusadari kamu memotretnya.

"Fotonya bagus, semuanya terlihat bahagia." aku  melihat ke arah kamera yang kamu sodorkan.

"Orangnya yang membuat fotonya bagus, mereka menularkan tawa dan bahagia."

"Lihat ke arah sana." Kamu menunjuk ke arah mereka.

Aku menoleh dan melihat mereka yang tengah tertawa lepas menertawakan salah satu anak remaja yang bertingkah konyol. Akupun seketika tertawa dan berpaling melihatmu dan kita berdua pun tertawa kecil.

"Benar, tawa dan bahagia itu ternyata menular," pikirku tersenyum melihatmu.

Jam demi jam kita habiskan untuk mengobrol tentang banyak hal. Minuman pun sudah yang kesekian kalinya dipesan. Siapa yang menyangka aku yang tadinya hanya ingin duduk sendiri, kini sangat menikmati keberadaanmu dan guraun anehmu. 

Pandanganku tentang tempat ini juga berubah. Tempat ini bukan hanya tempat untuk menyendiri tapi juga untuk orang-orang yang tengah berbahagia seperti halnya minuman yang sekarang ada di meja ini. Vanilla Latte, rasanya manis dan pahit bercampur dalam satu minuman yang memberikan rasa unik setiap tegukannya.

Dan siapa juga yang akan menyangka bahwa pertemuan pertama ini adalah awal dari banyaknya pertemuan berikutnya denganmu di tempat ini.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 09, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Coffee ShopWhere stories live. Discover now