Prolog(ku)

1 0 0
                                    

2020/11/01

Tangerang kini sedang memasuki musim penghujan. Curah hujan yang tak menentu membuatku khawatir ia akan datang tanpa pemberitahuan dahulu. Bukan apa-apa,aku tidak semenyedihkan itu sampai harus membenci hujan. Tidak sedramatis tokoh cerita romansa yang akan merenung mengingat kembali cerita lama yang tersimpan disetiap tetes air hujan.

Kini aku bekerja di sebuah pabrik kecil yang memproduksi sepatu berbahan kulit dan sintetis untuk diekspor ke luar negeri, korea selatan.

Aku menghawatirkan tempat parkir kendaraan di tempatku bekerja. Karena di sana tidak ada selokan yang seharusnya dibuat dengan tujuan mengalirkan air hujan ke tempat yang lebih tepat, tentu saja tempat parkir itu selalu saja terendam banjir saat hujan mengguyur kota perantauan ini meski tidak sampai setengah jam. Sungguh jauh dari kata layak, bukan?

Sepertinya aku lebih bersemangat memperkenalkan kondisi tempat kerjaku dibanding informasi tentang riwayat hidupku ya? Hahaha, maaf.

Namaku Kirani Miulan. Orang-orang memanggilku dengan nama Rani. Tapi terserah kalian ingin memanggilku apa, Kiran, Miu, Ulan. Asal jangan Kikir ya, hehehe. Agustus tahun depan umurku genap 20 tahun. Aku tinggal bersama dengan kedua orang tua serta kakak laki-lakiku satu-satunya,entah harus kusebut kakak atau musuh tapi nyatanya dia memang saudara kandungku.

Dengan impian yang masih teromabang-ambing akhirnya aku lulus sebagai siswi SMK jurusan akuntansi dengan nilai ijazah yang 'penting terisi'. Kalian pasti paham akan maksudku.

Harapanku masuk di sekolah menengah kejuruan tentu saja agar saat lulus bisa langsung terjun ke lapangan kerja dan menghasilkan banyak uang. Tentu saja itu hanya harapan belaka tanpa adanya skill dan pengetahuan yang memumpuni.

Tentu aku bersyukur harapanku dulu ternyata dapat terkabul karena aku benar-benar terjun ke lapangan kerja begitu aku lulus sekolah.

Tapi aku hanya manusia biasa, manusia yang dipenuhi dengan keserakahan yang tiada habisnya. Sebenarnya, saat memasuki semester akhir, muncul impian baru yang terus membebaniku. Kuliah.

"Ran? Rani!" suara wanita paruh baya menggema di gendang telingaku yang rasanya hampir pecah karena mendengar tetesan air hujan yang menimpa atap pabrik.

Ya,hujan benar-benar turan. Dan sangat deras.

Ah habislah aku. Motorku pasti akan mogok seperti waktu itu.

"Sedang apa kau terdiam di sini? Cepat sana ikut Rizky ke parkiran!" Mbak Irma menepuk pundakku sedikit keras sampai pundakku terasa terbakar untuk sesaat. Ia menyodorkan kantong plastik yang cukup besar serta beberapa karet gelang tepat di depan wajahku.

"Cepat bungkus knalpot motormu dengan ini sebelum air mulai menggenang!"

Aku mengangguk mantap. "Ok!" Kuraih benda itu dari tangannya dan langsung mengejar Rizky yang menungguku di ambang pintu masuk.

"Mbak Sisi tidak mau ikut denganku?" teriakku sambil menoleh ke belakang tanpa menghentikan laju kakiku.

"Tidak! Aku tidak bawa motor hari ini!" jawabnya sambil masih memegang sepasang sepatu di tangan.

"Mana payungmu?" Tanya Rizky sesampainya aku di depan pintu masuk.

"Memangnya aku pernah membawa payung?" ucapku dengan dahi mengernyit menanggapi pertanyaannya.

Rizky berkacak pinggang. "Jadi maksudmu kita harus basah-bahasan?" tanyanya sambil menjunjuk arah luar.

"Kita? Tentu saja hanya kamu, hahaha," jawabku jenaka.

"Bercanda ya?"

Kukibaskan kantong plastik pemberian Mbak Rima tadi dan bersiap lari menerobos hujan.

"Tidak, aku serius mau menerobos hujan tuh." Kataku lantang melawan suara hujan yang semakin menulikan pendengaranku.

Satu.. dua.. tig..

"Sana masuk lagi ke dalam, biar aku saja yang urus motormu." Serobot Rizky yang langsung mengambil alih benda di tanganku.

"Hah? Serius kamu mau melakukannya?"

"Iyaaa, sudah cepat sana masuk!"

Risky Dwi Januar laki-laki yang biasa dipanggil Rizky ini berusia 2 tahun lebih tua dariku. Tepat sebulan sebelum hari pertamaku masuk di pabrik ini, Rizky sudah lebih dulu bergabung sebelum aku. Tidak terlalu tinggi, mungkin 6 cm lebih tinggi dariku yang punya tinggi badan hanya 159 cm. Dengan warna kulit sawo matang dan senyuman manisnya, wajar jika banyak wanita dibuat 'kepincutí' karenanya. Tapi entah apa sebabnya di depan karyawan pabrik ini,dia selalu mengaku belum pernah punya hubungan special dengan wanita manapun. 'aku ma jomblo dari lahir, belum pernah pacaran hehehe' ucapnya disela-sela pekerjaan kami.

"Lho kok kamu sudah masuk lagi Ran? Nggak jadi ngebungkus knalpot?" Mbak Latifah atau lebih sering dipanggil Lala bertanya padaku segera setelah melihatku masuk kembali.

"Iyaa nggak jadi Mbak, Rizky yang ngebungkus." Aku menjawab tepat setelah tubuhku menghadap rak berkas bersekat-sekat. Beberapa map dengan warna berbeda sudah berada di genggamanku dan sudah siap untuk ku letakan di atas meja sebelum Mbak Lala merampasnya dengan gerakan seperti ingin mencari keributan denganku.

Perempuan yang seumuran dengan Rizky ini memasang senyum jahil khas dirinya.

"Ada apa?" katanya berusaha merebut kembali benda pipih yang dengan cepat disembunyikan Mbak Lala ke belakang punggunggnya.

Mbak Lala mulai menaik turunkan alisnya yang lebat.

"Betul kan kataku..."

Dahiku berkerut. "Perkataanmu yang mana?" tanyaku.

"Yang waktu itu lho." ia meletakan map-map tadi ke atas meja.

Aku tidak merespon satu patah katapun dan membuat teman kerjaku kesal karenanya.

"HhhhRizky itu suka sama kamu!".

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MiulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang