"Woyy pendek, jangan jalan santai, buruan lari !"
Kepalaku menoleh kekiri dan kekanan mencari sosok yang di maksudnya, namun tak ada orang lain selain diriku disana.
Teriaknya sangat kencang nada suaranya begitu dekat padahal masih berjarak sepuluh meter dari gerbang. Tanpa berfikir panjang aku berlari ke arahnya.
"Kau ini murid baru atau pengantin baru, berlari saja kok sangat lamban" berusaha mengatur nafasku yang masih terengah.
"Eng...ga kak, bukan pengantin..."
"Ahhh sudah, buruan baris dengan yang lain, dasar pendek" decaknya.
Bagaimana bisa cowok tampan di hadapan ku ini begitu arogan.
"Lamban, pendek ?" Ucapku lirih.
"Apa ? Ga terima ? Mau ngadu mama papa ? Atau ngadu ke Baalveer biar di tolongin sama peri-perinya sekalian" Balasnya tegas. Ternyata dia mendengarnya.
"Emang Baalveer nolongin anak SMK ?"
"Kau benar-benar ya, minta di hukum !" Kali ini sedikit membentak. Upss aku kira menyebut kalimat tadi di dalam hati.
Aku diam dan coba memahami, mungkin pembawaan orang kota memang seperti itu.
Salah satu senior cewek menarik tanganku menjauh dari kumpulan murid, sesaat setelah memeriksa atribut dan perlengkapan yang ku bawa. Mengapa hanya aku saja tersisih ? Membenarkan tali papan nama pada leherku dan menunggu penjelasan atas kebingungan ku ini sedari tadi.
"Koin dalam kaleng di pinggulmu, kenapa hanya ada dua ? Bukankah sudah di ingatkan untuk membawa empat, kau ini punya telinga atau tidak ! Masih bocah udah melawan" bentaknya keras membuatku kaget namun tak memalingkan wajah dari tatapannya yang tak benar-benar memancarkan amarah.
Bahkan aku tidak mengeluarkan sepatah katapun dan dia menyebutku melawannya. Koin itu mungkin terjatuh saat berlari tadi, aku menghela nafas ringan.
Belum sempat membela diri sendiri dia kembali membentak lebih keras, kali ini tepat di telinga kananku.
Sabar. Kuatkan hati, ini bukan saatnya merengek ataupun menangis.
Mataku berkaca-kaca entah kenapa tapi memang aku tidak suka di bentak apalagi nada tinggi dari orang asing yang tidak aku kenal.
Aku Grace Natalhi Atmadja, sudah seminggu sejak aku berpindah dan mendaftarkan diri di salah satu sekolah swasta kota Makassar. Hari ini aku mengikuti MPLS sebagai murid baru SMK Trijaya, suasana jauh berbeda, hal-hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya, sungguh sesuatu yang baru.
Di lapangan hanya tersisa aku dan dua senior dengan permen karet kunyahannya.
Apa rasanya masih manis? Apa teksturnya tidak mengeras ? Aku yang memperhatikan mereka dari dua jam lalu.
"Jo, enaknya kita beri hukuman apa anak satu ini ?" Tanya Mila memengangi selembar kertas dan sesekali melirik ke arahku.
"Bersihkan lapangan atau engga dangdutan aja" nyinyirnya, aku terkekeh.
Yang benar saja Bejo ini memberikan saran, jangankan berjoget, nyanyi cicak-cicak di dinding saja aku sangat malu melakukannya di depan mereka pula.
Bejo dan Mila nama pengenal di ujung seragam panitia MPLS, seragam dua senior yang dari tadi membuatku greget, gelisah menunggu hukuman apa yang akan mereka beri.
Tiba-tiba terdengar suara cowok menghentikan Mila saat kembali meraih tanganku, sedikit serak namun nyaman ditelinga, itu sontak membuat kami bertiga berbalik dan menatap pemilik suara.
Meski terbilang remaja pendiam, aku adalah tipe yang sangat mengagumi keindahan pencipta, terlebih lagi keindahan yang nampak pada manusia. Itu mutlak tak dapat ku dustakan.
Jika tadi tampan dengan mata bulatnya kali ini tampan dengan mata sayunya, pandanganku tak terlepas pada sosok yang mengenakan topi merah berlogo tim pesepak bola melangkah mendekatiku.
"Ke ruang utama gih, buruan, pembukaan MPLS akan segera di mulai" pintanya menatapku.
"Tapi dia kan belum di hukum, kau ini gimana sih" cegah Mila masih menggenggam erat tanganku.
"Tau nih, ganggu aja" sambung Bejo.
"Udah, buruan" kali ini tatapannya tajam. Mila melepas genggamannya tanpa perlawanan lagi.
Kini hatiku berdesir mataku berusaha mencari-cari pada seragam miliknya namun tak menemukan nama pengenal di sana.
Dengan sigap aku melangkahkan kaki meninggalkan lapangan, syukurlah kali ini aku bisa lolos.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR
Teen FictionKetika hati dan fikiran tak sependapat, harap dan kenyataan tak sesuai ekspektasi. Apalagi kalau bukan TAKDIR ? Itulah yang di alami Grace Natalhi Atmadja. Atas segala hal yang terjadi, beberapa peristiwa memaksanya berfikir bahwa takdir sedang memp...