***
Seperti biasa, Dimas, putraku satu-satunya kudapati tengah menangis di sudut kamarnya. Aku tidak tahu, apa yang sudah membuatnya sesedih itu.
"Dimas ... Anak mama, kenapa menangis?" tanyaku sambil merangkul dan membelai lembut kepalanya.
Dimas tidak langsung menjawab, melainkan balik memelukku.
"Nggak apa-apa, Ma. Dimas hanya kelilipan, matanya terkena debu," jawab Dimas berusaha membuat pengakuan palsu terhadapku.
Ah, apa yang terjadi padanya?
"Benaran, nih? Dimas nggak bohongin Mama, 'kan? Ingat, bohong itu termasuk dosa, loh." aku sengaja memancing Putraku agar mau bicara jujur. Seringkali kudapati ia menangis tanpa sebab.Tapi itu, ia selalu saja menyangkal dan tidak mau bicara.
"Dimas ... Bicara pada Mama, ada apa?"
Dimas masih enggan bicara, aku yakin ia tengah menyembunyikan sesuatu dariku.
Setelah sekian lama kudesak, akhirnya ia bicara juga.
"Maafin Dimas, Ma. Tadi di sekolah Dimas dimarahi Bu Guru, katanya Dimas nakal."
Tunggu, dimarahi guru? Kira-kira apa sebabnya? Sepertinya aku harus cari tahu. Aku sudah sering melihat Dimas menangis diam-diam, namun kucoba mengabaikannya karena kupikir ia hanya terjatuh atau tidak mainannya hilang.
Namun, kali ini ada yang aneh. Atau Dimas nakal pada temannya, terus Guru menghukumnya? Tapi ... Masa iya, sih? Aku yakin, Dimas bukan anak seperti itu. Karena aku selalu mengingatkannya untuk tidak nakal pada teman.
"Dimas ... Mama boleh tanya, nggak? Memangnya, Dimas ngapain aja? Kok, sampai dibilang nakal sama Bu Guru?"
Dimas menatap ragu padaku, seakan enggan untuk cerita. Aku semakin yakin, ada sesuatu yang menimpa putraku.
"Nggak apa-apa, sayang. Ayo ... Ngomong sama Mama."
Dimas menunduk sambil memainkan jarinya. Aku tahu, ia masih berpikir dan mencoba mengambil keputusan. Meskipun Dimas baru berusia 6 Tahun, ia sudah kuajari tanggung jawab dan bijak dalam pola pikir.
"Mama ... Sebenarnya, selain memarahi Dimas, Bu Guru juga sering menghukum Dimas. Katanya Dimas ini sangat nakal, padahal Dimas nggak ngapa-ngapain, Ma."
Ya Tuhan ... Ada rasa nyeri dalam dada, saat Dimas mengatakan kalau gurunya sering menghukumnya tanpa sebab.
"Dimas ... kalau Dimas nggak ngapa-ngapain, kok sampai dihukum? Dimas nggak bohong, 'kan?"
"Nggak, Ma. Mama lihat ini." tiba-tiba Dimas membuka kemejanya dan langsung memunggungiku. Spontan tangisku pecah tatkala melihat banyak luka memar di punggung putra kesayanganku itu.
Tidak tahan, gegas kupeluk Dimas. Aku menangis tanpa suara, berharap Dimas tak mendengar. Bagaimana bisa aku tidak tahu apa yang dialami putraku? Kenapa aku tidak pernah tahu kalau putraku menderita? Ibu macam apa aku ini?
"Ma ... Jangan menangis. Dimas nggak mau Mama menangis gara-gara Dimas."
"Nggak, sayang. Mama nggak nangis, kok. Sekarang Dimas cerita pada Mama, sejak kapan Ibu Guru sering menghukum Dimas?"
Aku geram, aku marah. Aku saja tidak pernah membentak apalagi sampai memukul Dimas, kenapa malah orang lain yang melakukannya?
Aku harus cari tahu dan menuntaskan semua ini sesegera mungkin! Siapapun yang sudah menyakiti putraku, kupastikan ia bakal merasakan hal yang sama. Tidak, lebih dari yang dirasakan putraku!
"Dimas, ngomong. Bicara yang sejujur-jujurnya!"
"A--anu...."
"Dimas, Jangan takut. Mama akan melindungi Dimas. Mama ada bersama Dimas. Sekarang ceritakan semuanya."