Ayumi sedang duduk di bawah pohon jambu belakang sekolah saat istirahat. Dia mencabut-cabut kecil rumput di bawah kakinya. Kemilau baskara yang menelisik dari dedaunan menghiasi jilbab lebar putih Ayumi.
"Oi, Ayumi! Sedang apa kau di sini?"
"Astagfirullah!" Ayumi terkejut, "Sejak kapan kau di sini?" Bahasa melayu dan logatnya kental dalam percakapan mereka.
"Barusan aku tiba, boleh aku duduk?"
Ayumi mengizinkan temanya duduk. Mereka mulai bercakap banyak hal. Dari kucing tetangga yang mati, bang zawin yang kepergok mencuri jemuran tetangga, hingga masalah politik desa pun mereka bahas.
"Yum, kau tahu kemarin aku lihat Pak Kades main ke kolam ikan baru di desa kita nih. Aku khawatir jangan-jangan Pak Kades ada hubungan spesial dengan pemiliknya. Berhubungan dengan pembangunan rumah makan di pinggir desa kita. Soalnya tampak Pak Kades tak bawa alat pancing sama sekali."
"Ada-ada aja kau, Rin. Tak usahlah kau itu sedikit-sedikit menghubungkan yang macam-macam."
"Ini menyangkut politik desa, Yum, bayangkan kalau nanti rumah makan tuh terbangun, warung nasi uduk Makku tak akan laku lagi."
"Aishh, besar kali pembahasanmu tentang politik, paling Pak Kades itu ingin bangun kolam lele di belakang rumahnya, makanya Pak Rt datang kesana."
Percakapan mereka prahara politik begitu hebatnya. Politik desa saja bisa dihubung-hubungkan apalagi politik negara, bisa saja terungkap skandal marsina dengan dua gadis beliah polos ini.
"Hei, Yum, tak usahlah kita bahas politik lagi. Pusing kepalaku dibuatnya. Aku nak tanya dengan kau. Usai dari sekolah nih apa rencana kau?"
"Aku ingin lanjut kuliah di kota, Rin. Aku mau wujudkan mimpiku jadi sarjana ekonomi. Aku ingin jadikan keluargaku sejahtera ekonominya. Dan biayai adikku sekolah."
"Serius kau, Yum! Belum ada sejarah dari desa kita nih yang kuliah, banyakan dari gadis macam kita nih kawin! Kau usahlah banyak mimpi. Kawin saja, Yum, banyak juragan desa yang jatuh hati dengan paras cantikmu itu."
"Tak ada sedikitpun dalam kamus hidupku ini rencana kawin, Rin. Hanya ada tiga kosa kata dalam kamus hidupku. Jadi Sarjana Ekonomi!"
***
Ayumi hidup dengan seorang perempuan paruh baya yang ia sebut sebagai ibu dan satu orang adik lelaki berusia 14 tahun, kelas 2 SMP. Beda tiga tahun usia Ayumi dan Adiknya.
Mendekati ujian tingkat nasional. Ayumi bekerja keras di pasar gadang pusat jual beli yang terletak di antara tiga desa besar, desa beruju, desa bontot, dan desa pecil. Tiga desa ini meski beda nama memiliki satu makna, yakni desa terbelakang. Di desa beruju Ayumi tinggal dan berjuang meraih mimpinya. Setiap sore usai pulang sekolah ia bekerja mengesol sepatu di pasar. Jarak tempuh lima kilometer atau sepuluh kilometer bolak-balik telah menjadi kebiasaan rutin bagi Ayumi.
Ayumi harus bekerja agar bisa bayar SPP dan ikut ujian tingkat nasional, agar dia bisa lulus dan segera kuliah, dalam pikirannya saat mengesol sepatu hanyalah kuliah dan kuliah. Hasil yang ia peroleh biasanya tiga puluh ribu tiap hari, itu pun dibagi dua, separuh untuk menambah biaya makan keluarga dan separuhnya ditabung untuk bayar SPP.
Sore itu selesai bekerja, Ayumi pulang cepat sebelum magrib. Entah mengapa ada firasat tidak enak dalam hatinya. Hujan turun membasahi tanah yang dilalui Ayumi. Hujan semakin deras, tanah semakin becek, Ayumi semakin berlari. Tak ada terbesit dalam benaknya ingin meneduh. Ayumi hanya hendak lekas pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIC STORIES
Short StoryKumpulan cerpen oleh member korex. Genrenya romantis dan pastinya bikin pembaca baper.