Faith

311 30 5
                                    

Song Mingi mungkin bukan manusia suci yang selalu taat pada agama. Namun semua orang menyanjungnya, bagaimana dia begitu mencintai Tuhannya membuat orang mengaguminya. Namun, satu hal yang tidak akan mereka tahu adalah apa yang ada dalam hatinya. Bagaimana dia menyembunyikan perasaannya dengan baik, membuat orang lain bahkan tidak mengerti apa yang dia pikirkan.

Di setiap malam dia berdoa pada Tuhan untuk menjaga seseorang yang begitu dia kagumi dalam diam. Perasaan yang dilarang namun tidak bisa dia lepaskan. Rasa cinta yang dia miliki bukanlah keinginannya, ribuan kali dirinya sudah berusaha membuangnya namun tetap tidak, bisa bahkan menjadi semakin dalam.

"Assalamualaikum Kak, boleh Aisha masuk?" suara adiknya terdengar membuat Mingi yang baru selesai menunaikan ibadah sholat isya segera menoleh.

"Waalaikumsalam, Kemari lah!" kata Mingi meminta Adik perempuannya mendekat dengan isyarat tangan.

Adik perempuannya yang bernama Song Aisha segera masuk ke dalam kamar sang kakak. Aisha duduk dan dengan lembut Mingi mencium dahi sang adik. Begitu sayang dia pada adiknya, bahkan rela melakukan apapun untuknya.

"Ada apa hmmm? Kenapa Aisha terlihat gelisah?" tanya Mingi penasaran.

"Kakak, Aisha ..... menemukan seorang pemuda yang baik. Tapi Aisha takut bila pemuda itu bukan takdir yang sudah tuhan pilihkan," kata Aisha tiba-tiba.

Mendengar bagaimana pengakuan sang adik membuat Mingi sedikit terkejut. Dia pikir adiknya masih lah gadis yang polos tidak mengerti tentang dunia percintaan. Namun dia tidak menyadari bahwa saat ini adiknya sudahlah besar dan matang untuk mengagumi lawan jenisnya.

"Adik ku, Kakak selalu bilang bahwa kamu bisa mencintai siapapun. Tapi ingat bila takdir mu datang, hati mu harus siap melepaskan. Apa Aisha sudah siap bila harus melepaskannya?" tanya Mingi pelan.

Mingi mengerti bagaimana sulitnya mencintai seseorang yang bukan ditakdirkan. Tapi hati mereka tidak bisa dilarang untuk memiliki perasaan itu. Tuhan memberikan hati untuk bisa mengerti bagaimana indahnya sebuah rasa. Namun terkadang rasa tidak bisa dipaksa untuk menyimpan satu nama.

"Aku mengerti. Tidak bisakah aku mengaguminya dalam diam? Hanya sebentar," Mingi tersenyum dan mengelus kepala adiknya pelan.

"Kamu bisa. Tapi tetap ingat apa yang Kakak katakan ya. Ketika kamu tidak bisa memilikinya, bersedih lah sebentar dan ingat bahwa Tuhan punya rencana istimewa untuk mu di kemudian hari," nasehat Mingi.

Mingi tidak bisa munafik dengan melarang sang adik untuk tidak mencintai seseorang. Karena kenyataannya diri sendiri lebih dulu mengagumi seseorang dalam diam. Hanya dalam doa dan tulisan dia berani menyebut namanya. Bagaimana bisa dia melarang sang adik memiliki perasaan yang sama dengannya?

Perasaan yang tersimpan menggerogotinya perlahan. Bukan karena dia tidak ingin mengakui perasaannya pada semua orang. Hanya saja, pada siapa cinta itu tertuju sudah cukup menamparnya untuk sadar.

Bagaimana mungkin dia bisa mencintai sesamanya? Dengan agama berbeda dan latar belakang yang tidak mungkin bisa diterima oleh keluarga. Rasa yang dimiliki sudah dilarang oleh tuhan, namun butiran tasbih yang dia pegang menjadi saksi bagaimana dia selalu menyebutnya dalam doa yang dipanjatkan setiap malam. Sungguh hati tidak pernah bisa mengerti sebuah dosa dan larangan.

"Assalamualaikum ....."suara sang ibu terdengar membuat kedua saudara itu segera menoleh.

"Waalaikumsalam," jawab mereka kompak.

"Ada apa Bu?" tanya Mingi sambil berdiri dari duduknya.

"Mingi, boleh ibu dan ayah berbicara denganmu sebentar?"

Faith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang