Forgive Me

10 0 0
                                    

Forgive Me
            Saat hati tak bertuan, tapi kamu ada. Apa itu yang dinamakan cinta?
                Aku menatap sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi aku bisa berkata lelaki ini keras kepala, bahkan dari duduknya yang sekarang ini tak ubahnya sesuai ucapanku. “Aku,,, menyerah, Shady” ucapku lirih menahan emosi yang kian memuncak. Dan dia tak bergeming sama sekali, atau hanya sekedar mengubah tatapannya ataupun berdehem sedikit saja bahkan tidak sama sekali. Ku akui, selama ini aku dan dia tak pernah bertengkar masalah kecemburuan atau yang sejenisnya, hanya saja itu masalah yang terkadang aku juga kurang mengerti, hanya sekedar terlambat dan membuatnya menunggu misalnya. “Kalau moto hidupmu hanya sekedar membuatku menyesal di setiap harinya, kupikir ada baiknya kita berhenti, Shady?” lanjutku sembari mendesah tanda pasrah, percuma setiap pertengkaran biasanya aku yang lebih dulu bersikap mengalah. “Maafkan aku, Jeslyn. Aku tidak,,, tidak untuk berhenti” yang kali ini intonasinya terdengar memelan, dan selalu berakhir seperti ini, tak ada kata lain selain ia meminta maaf. Aku hanya memutar kedua bola mataku searah. “Aku hanya tidak ingin terlambat, dan aku tidak suka lambat” oke aku mengerti untuk ucapan itu. tapi setiap problema itu berbeda dan ia tetap mengucapkan hal yang sama. “Jeslyn....”, “Jeslyn?”
                Aku hanya diam dan perlahan mengelap airmata yang berjatuhan. Meski melihatku yang seperti ini, tapi Shady benar-benar tidak berniat mengubah posisi duduknya mendekatiku. Dia terlalu dingin, kasar dan keras kepala. Aku tidak ingin berbohong dengan semuanya, jujur saja ia tidak baik, lelaki itu memang jahat dan tak memikirkan pengorbanan orang lain. “Aku tidak menyukai wanita yang cengeng dan berhentilah menangis! Atau kau akan kutampar saat ini juga” dan intonasi itu kembali mengeras seperti sebelumnya, dia benar-benar kejam bukan?
                “Bisakah sekali saja  tidak menangis, heh?” tangan kanannya memukul pundakku hingga itu terasa sakit. “Selalu saja menangis hanya karena masalah sekecil ini. Bagaimana jika aku meninggalkanmu, heh? Wanita yang lemah, setidaknya kau masih punya beribu cara lain selain menangis, kan? Dasar wanita! Tidak bisa membawa diri, manja dan merepotkan!” bentaknya padaku, ya bukan menenangkanku seperti halnya pria lain perkataannya malah membuatku semakin sedih. “Pulanglah! Dan mengaduhlah pada ibumu? Jika kau belum mampu dengan sikap kerasnya dunia tetaplah bersama ibumu dan dalam gendongannya, ibumu akan merasa sedih karena kau tidak juga menjadi dewasa” usirnya sembari mendorong tubuhku kasar. Aku beranjak perlahan masih menatapnya lekat, namun ia memalingkan tatapan itu kearah lain. Dingin udara malam hari itu membuatku semakin mengeratkan blezer yang kukenakan, perlahan tapi pasti aku melangkah menjauh taman kota. Kulihat ia tak bergeming sama sekali.
                 Pukul sembilan malam aku sampai di rumah, berbarengan aku membuka pintu kamar, sebuah pesan singkat masuk, 'from Shady usia itu bukan hanya sekedar gandengan angka, dewasalah di setiap langkahmu. Forgive me, Jeslyn. Ini tidak untuk selamanya'. Aku membekap mulutku sendiri. Dia masih sama dengan Shady yang bersamanya  aku melalui waktuku, dia tidak berubah. Setelah bertengkar ia akan mengirimkan kutipan-kutipan pesan yang pada intinya memotivasiku untuk menjadi lebih dewasa.
                Dan ketahuilah, setelah hari itu seakan Shady benar-benar menghilang dari peredaran. Aku mencoba menghubunginya dan kudapati nomor ponselnya tidak lagi aktif, aku mencoba bertanya pada teman-teman dekatnya dan mereka juga seakan kehilangan jejak. Aku mulai sedih, bukankah ia pernah berjanji untuk selalu membuatku menyesal dan selalu menangis untuk mengajariku tumbuh dewasa, tapi kemanakah guruku sekarang? Sudah satu bulan ia tiada kabar, tentunya aku sangat resah. Tapi aku tidak tinggal diam, tetap terus berusaha mencarinya. Meski aku mulai menyadari satu hal bahwa dalam keresahan ini aku berusaha untuk tidak meneteskan air mata bahkan setitik pun, terkadang dalam pencarianku aku memprediksi mungkin ini cara Shady untuk menguji seberapa besar kemampuanku untuk menjadi dewasa, mengingat itu ada sesuatu yang mendesak di dalam hati ini. Suatu rasa bangga dan senang. Tapi seberapa kebanggaan itu dan seberapa kesenangan itu takkan sebanding dengan rasa rinduku terhadapnya kali ini.
               Di sepanjang trotoar jalanan kota aku terus mengenang kalimat  yang ia ucapkan malam hari itu ‘Wanita yang lemah, setidaknya kau masih punya beribu cara lain selain menangis, kan? Dasar wanita! Tidak bisa membawa diri, manja dan merepotkan!’ aku memejamkan mataku sejenak merasa sangat lelah. Aku mencoba menyandarkan tubuh pada bangku halte yang sepi sore hari itu. Tiba-tiba seseorang  menyentuh pundakku dari belakang.
               “Hai...” sapanya ringan, aku menoleh ke arah kiri kudapati seorang lelaki di dekatku tersenyum hingga kelopak matanya tertutup. Dengan sedikit tidak percaya aku membalas sapaan itu, mataku masih membulat menatapnya lekat, kurasa sudah lama sekali wajah itu tak tampak, tapi sore ini ketika asaku mulai jatuh dan takkan pernah berharap lagi, sesuatu yang dapat kukatakan sebagai keajaiban sedang menghampiriku, semilir angin mengayun helaian sutera hitam lurus selehernya yang mirip dengan jarum-jarum panjang  itu hampir semua terjatuh ke depan wajah. Ah aku sudah tidak asing lagi, dia pasti...
               “Kau, Jeslyn Vanessya, kan?” tanyannya, tentu aku ini Jeslyn, atau sebegitu lupanyakah ia padaku? Aku tersenyum miring, dia sungguh tidak bisa dipercaya, dia belum cukup tua untuk menjadi pikun, kan?
               “Iya, aku Jeslyn” ucapku dengan percaya diri kemudian ia bergumam bahwa ia tidak salah orang, aku tertegun. Mungkinkah orang ini benar-benar Shady, dia sangat tidak beda dengan Shady baik itu sambutan pertamanya maupun kebiasaan menyentuh bahuku ketika bertemu.
                “Aku, Vhey. Salam kenal” ucapnya mengulurkan tangan, dengan gemetar aku menjawabnya. Kemudian ia meminta izin untuk duduk di sampingku. Kemudian kami berbincang ringan, seperti alasan mengapa aku kesini, dan mengapa hingga menyendiri. Tak lupa ia menasihatiku untuk tidak terlalu berani di tempat ini sendirian, karena berbahaya bagi seorang wanita sepertiku. Kemudian ia sedikit iseng dan bertanya siapa kekasihku yang sudah lama menghilang. “Shady, Irshady Haryzon” ucapku spontan, Vhey tampak terkejut. Terlihat sekali semburat kesedihan di wajahnya. Aku bingung, ataukah ceritaku mengingatkannya pada masa lalunya? Atau orang yang ia cintai mengalami hal yang sama seperti kekasihku? Aku juga tidak tahu, aku hanya bertanya apa ia baik-baik saja. Dia hanya ber’dehem’ria. Baru saja aku akan berkata bahwa ia sangat mirip dengan kekasihku tapi dengan cekatan mendahuluiku. “Apakah aku bisa membawamu ke suatu tempat?” aku merasa ada aura yang tidak bagus, “Jangan  cemas, aku hanya ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, Jeslyn” aku pasrah saja dan membuntutinya menuju sedan Soluna hitamnya, astaga aku mengingat benda bergerak itu sama persis dengan milik Shady, bahkan nomor plat mobilnya. Aku mempercepat langkahku hingga menyetarai langkahnya.
                 “Shady! Jangan pura-pura menjadi orang lain, ya?! Aku tahu ini kau! Sudahlah mengaku saja, aku sedang tidak ingin bercanda. Hanya saja aku ingin bertanya kemana saja kau selama ini?” desakku, langkahnya berhenti dan menatapku lewat sudut matanya. Aku berhenti dan diam menatapnya. “Namaku Vhey, sesuatu akan membawamu menemukan jawabannya” jawabnya dingin, aku tahu sifat itu. Shady memiliki kepribadian jamak meski dalam waktu singkat, dan apa yang dilakukan oleh lelaki ini benar-benar tak memiliki perbedaan. “Tapi jangan pernah membohongiku-“ucapku sarkas. “Shady tidak pernah membohongimu” sentaknya dengan intonasi yang meninggi, itu kalimat yang ambigu, itu menceritakan orang lain? Atau pernyataannya terhadap diri sendiri? Aku tidak tahu. Aku diam dan terus mengikuti langkahnya. Vhey membukakan pintu untukku, “Masukklah!” aku menatapnya sejenak, ia berdecak geram. ”Cepatlah! Nanti terlambat!” aku segera masuk. Kemudian mobil melaju mulus ke jalan raya.
                Tak ada pembicaraan atau hanya sekedar bertatapan. Semburat sedih itu masih terlihat di wajahnya, aku menatap wajah itu beberapa menit, tak bisa kupungkiri, kupikir Shady serius dalam kebohongannya. Mobil sedan yang kami kendarai tiba-tiba berbelok kearah kanan. Dapat kulihat itu gedung besar dan megah dan memiliki simbol palang merah di tengah-tengah bangunan yang elegan berwarna putih tulang, tapi di dalamnya begitu banyak penderitaan orang-orang yang tidak menyadari Tuhan begitu menyayangi. Perasaanku jadi tidak enak. Apa yang akan ia tunjukkan padaku? Ataukah sesuatu yang— Oh Tuhan.
                 Kemudian ia menuntunku keluar mobil dan memasuki bangunan rumah sakit, “Kau tunggu di sini!” aku diam dan duduk di ruang tunggu. Ku lihat ia mulai berbicara pada dua orang petugas Administrasi rumah sakit. Karena keadaan lumayan ramai dan begitu banyak orang yang lalu lalang, aku tidak bisa menyimak dengan baik, yang dapat ku lihat hanyalah gerakan bibir dan ekspresinya yang harap-harap cemas. Tak lama ia menghampiriku dan mengajakku berjalan menuju ruang ganti, aku ikuti saja tanpa berontak, meski ku tahu ada banyak pertanyaan yang melayang-layang dalam pikiranku.
                Di ruang ganti, ia menyerahkan kain berwarna biru muda yang pada akhirnya aku menyadari itu adalah baju terusan yang lumayan panjang, kemudian ia menyerahkanku sebuah penutup kepala, setelah semuanya siap kami keluar. Langkahku terhenti di depan sebuah ruangan yang aku juga tidak mengerti maksud semua ini, ICU. Aku diam menatap emerald di depanku, tangannya menjulurkan sebuah masker. “Kita harus memakai ini! Di ruangan terdapat banyak virus jinak yang memang digunakan sebagai daya tahan pasien di dalamnya” ia memakaikan masker untukku, dia berubah menjadi perhatian tapi aku yakin dua menit kedepan ia akan kembali dingin.
                 ‘cklek’ pintu kembali tertutup, langkah lelaki itu begitu cepat menuju kearah pembariangan seseorang di sana, itu tubuh yang tak berdaya dengan begitu banyak alat-alat penunjang hidup yang menempel pada tubuh ringkih itu, dan pemandangan yang baru saja ku dapati hampir saja membuatku limbung ke lantai. Entah kalimat apa yang harus aku ucapkan bahkan langkahku yang perlahan ini seakan hidup segan mati tak mau. Akhirnya langkah ini berakhir pada jarak lima senti dari ranjang rawat. Lelaki yang mengaku namanya Vhey itu mengusap halus pipi lelaki yang identik dengannya dengan punggung tangan. Aku menautkan alis kiri dan kanan menahan tangis. Sekarang aku terejek oleh ancamanku yang tadi, lelaki itu, dia Vhey, dan bukan Shady. Sekaranga aku mengerti dan kalimat Vhey tidak lagi ambigu bahwa ‘Shady tidak pernah berbohong’ “kecuali soal penderitaannya” ucap Vhey seakan tahu apa yang sedang aku batinkan. Tangan kanan Vhey beralih pada pelipis lelaki itu yang kini kusadari dia adalah seorang Shady. Tangan Vhey membelai dahi kembarannya dengan kasih sayang yang dalam. Kemudian berhenti dan menatapku dengan intens.
                “Dia kakakku, kami memang identik. Tapi usianya empat tahun lebih tua dariku” tukasnya memulai perbincangan. “Ku pikir Shady lelaki yang kuat, terbukti ketika ia menutupi penderitaannya kepada orang-orang luar. Terutama menghindari kesedihan pada seseorang yang ia cintai” aku memilih diam dengan dengan air mata, membiarkan Vhey yang berbicara kali ini, mungkin jika ada maksud yang kurang dimengerti barulah aku bertanya.
               “Tapi ketika penyakit itu kembali, bahkan untuk menjaga agar ia selalu terjaga dari alam bawah sadarnya saja ia merasa tak mampu, apa lagi membuat seseorang yang ia cintai tidak menangis. Memikirkan itu hingga membuatnya down. Dia koma sejak tiga minggu yang lalu”
               “Penyakit? Penyakit apa yang kembali?” aku bertanya merasa tidak paham.
               “Sejak ia memasuki bangku perkuliahan di usianya delapan belas tahun hingga kini usianya 25 tahun, kakakku mengalami luka pada lambungnya akibat kelaianan pada komposisi asam klorida. Puncaknya satu tahun yang lalu hingga membuatnya mengalami komplikasi melalui peredaran darah, akibat itu semua ia mengalami peradangan pada syaraf-syaraf tubuhnya. Zat kimia yang tidak terproses dengan baik membuatnya harus mengetahui apa itu kemoteraphy, dokter mendapati sel kangker di tubuhnya, tiga bulan yang lalu ia divonis positif kangker darah. Dan aku bisa meringkas penderitaan lahirriyahnya dengan kata itu” mendengar penjelasan Vhey, tak terasa airmataku mulai berjatuhan, maaf Shady yang kali ini aku kembali menjadi wanita yang cengeng, aku memang tidak bisa menjadi apa yang kau inginkan.
               “Keadaan benar-benar tidak selalu bersahabat dengannya, bahkan takdir dirasa selalu mempermainkannya. Hingga ia seakan nelayan dengan perahunya di tengah samudera yang terus terombang-ambing badai angin topan. Ini semua...” Vhey berhenti, kulihat kedua tangannya terkepal erat dan sesekali memukul pinggiran besi ranjang rawat. Ia terlihat sedang membenci sesuatu dalam ingatannya, “Ayah dan ibu” saat mengucapkan itu terdengar olehku gertakan rahangnya. “Mengapa?” tanyaku lirih, tentu saja aku tidak setuju secara orang tua adalah sosok yang welas asih, terutama ibu. Tapi mungkin pandangan lelaki itu berbeda.
               “Mereka adalah manusia yang tak kenal apa itu kasih sayang. Selalu mengkekang dan memaksa tanpa tahu kemampuan yang dikekang itu sebatas mana. Meraka juga selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ayah yang selalu bertumpu dengan kakak, ia memaksa Shady untuk selalu menjadi juara di setiap kesempatan sebagai the winner dalam olimpiade sains, selalu dan selalu tanpa mengenal keluhan Shady yang terkadang butuh kebebasan. Ibu yang seharusnya menghentikan perbuatan ayah bahkan sangat kasar pada kakak, ibu adalah seorang dosen sains di sebuah universitas, setiap waktu ia luangkan untuk mengajari kakaku dan melatihnya dengan keras mengerjakan soal-soal kimia yang saat itu juga dia belum terlalu mengerti, tapi dengan kekerasan ibu mengajar membuatnya mulai terbiasa dengan soal-soal sulit, dia memang anak yang cerdas.  Tapi akibat kekangan itu, Shady yang dahulu kukenal sebagai kakak yang baik dan selalu menyayangi, menjadi dingin dan mudah sekali marah. Suatu waktu ku dapat surat pernyataan dari dokter psikis yang ia simpan di laci kamarnya menyatakan bahwa Ananda Irshady Haryzon mengalami tekanan dan luka mental yang cukup serius.
               Hingga pada akhirnya ia mulai merasa tidak mampu lagi dikekang, berbarengan dengan konflik ayah dan ibu...
              <flashback>
               Shady yang saat itu berusia tujuh belas tahun mulai menyadari bahwa ia tak lagi mampu untuk dikekang, menghadapi ayahnya dengan segenap keberanian. Ketika itu malam telah larut, ayah dan ibunya sedang membahas konflik di antara keduanya, sesekali Shady mendengar kata ‘cerai’ tapi ia tak peduli yang ia butuhkan saat ini adalah hak asasi kebebasan untuk memilih.
              “Anak kecil, kau tak boleh nguping urusan orang tuamu!” tukas ayahnya, Ge dengan kesal.
              “Kurasa ada sesuatu yang ingin ia utarakan, biarkan ia bicara!” Anesa <ibu Shady> bertukas dengan dingin.
              “Aku ingin memilih hidupku sendiri” setelah kalimatnya yang satu itu perdebatan sengit dimulai, tampak beberapa kali Ge menampar dan memukul putera sulung kebanggaannya itu dengan menyumpah-serapahi Shady. Beberapa kali juga kalimat berontak dari Shady terlontar dengan keras dan sangat jelas terdengar oleh adiknya, Vhey yang belum mengerti apapun. Lelaki remaja labil itu terdiam di pojokan, memukul lututnya sendiri dengan kasar dan menangis lirih, merasa sangat bodoh dan tak berguna tanpa melindungi kakaknya yang terlihat dengan kondisi mengerikan akibat siksaan yang Shady dapati dari orang tuanya.
               Shady bangkit dari pesakitan itu, menatap kedua orang tuanya dengan tatapan datar. Kemudian melangkah gontai kearah kamar dan kembali dengan sebuah koper besar. “Kau mau apa? Dasar anak tak tahu diuntung” tanya Ge nista. “Kau itu sangat durhaka, Shady” tukas Anesa dingin.
              “Ya,,, aku durhaka. Ku rasa akan lebih baik jika kalian tak perlu lagi mengurusiku, karena aku durhaka” jawab Shady seraya melangkah hendak keluar rumah, tapi sesuatu menariknya dari belakang. “Aku ikut denganmu!” itu Vhey yang menatap Shady intens. “Apa kau bilang? Kau itu anak yang bodoh! Belajarlah dengan ibu agar kau menjadi pintar. Dan kau juga sudah sepatutnya menjadi penggantiku sebagai boneka ayah!” Shady memaki Vhey, tapi anak itu masih bersi kekeh. “Karena aku bodoh, aku tak ada gunanya di sini maka dari itu aku ingin ikut denganmu, untuk menjagamu dan memastikan kau akan baik-baik saja. Selain itu aku juga pasti cerdas dan melampaui dirimu, aku berjanji”
                Shady menatapnya melalui sudut mata, kemudian mendorong Vhey dengan kasar. “Tak perlu, aku selalu baik. Lagi pula aku tidak mau nanti kau malah jadi bebanku!”, tapi dengan nego pada akhirnya Shady menggenggam tangan Vhey di depan rumah mereka. Kedua orang tua mereka sempat dalam pertengkaran sendiri tanpa mempedulikan kedua puteranya. ‘Aku menyayangimu Vhey. Kukira kau tidak akan melakukan ini, tapi setelah kukerjai habis-habisan, ternyata kau pantang menyerah juga, heh,,, aku geli sendiri melihatmu’
              Satu bulan setelahnya. Shady mendapati kedua orang tuanya bercerai.
             <flashback off>
              Sejak saat itu, aku mulai menjalani hidup berkepribadian ganda seperti kakakku. Namun beda penyebab, jika itu penyakit mentalnya, dan aku, aku ingin mengalami penderitaan yang sama seperti kakakku, agar kita selalu merasa sakit yang sama dan merasakan anugerah Tuhan bersama-sama”
              “Kau egois!” lirihku, Vhey menunduk dan menoleh kearah wajah pucat Shady dengan mask oxygen.
              “Aku tahu, tapi kupikir inilah satu-satunya cara untuk selalu memandangnya dengan wajah bahagia yang semu. Dia begitu menyayangiku, bahkan apapun itu jika aku benar-benar butuh ia selalu menurutinya. Dia tidak pernah mengekangku, meski ia tahu keluarga kami memiliki potensi besar dalam bidang sains, tapi aku lebih menyukai sastra. Dan ia mendukung jalan hidupku”
               “Mengapa tidak kau saja yang meneruskan jejak kakakmu, setidaknya ia memiliki generasi penerus yang melampaui dirinya?” tanyaku. Sejenak ia bergumam bahwa sekarang aku yang egois. Sebelum menjawab, Vhey masih sempat tersenyum pahit.
               “Karena aku a fools boy. Aku anak yang bodoh, aku menyadari bahwa mungkin aku tidak bisa melampaui dirinya dalam bidang yang sama. Tapi ia pernah berkata padaku bahwa kelak aku akan menjadi sangat hebat diatas jauh melampaui dirinya. Kemampuan setiap orang itu berbeda-beda, jadi tidak perlu dalam bidang yang sama karena alam semesta itu sangat luas”
               “Dia sangat inspiratif. Apa yang membuatnya sampai begini?” tanyaku lagi.
               “Malam itu, setelah pertemuannya dengan seseorang di taman kota. Ia mengalami kecelakaan yang fatal mobil yang ia kendarai tiba-tiba hilang kendali dan menabrak pembatas jalan hingga terperosok ke jurang di dekatnya-“ kemudian Vhey berjeda.
               “Tapi mobilnya terlihat mulus tanpa goresan”
               “ia mengendarai mobilku yang bertipe matic, karena mobilnya sedang diperbaiki di bengkel akibat bannya bocor. Ini juga salahku yang tidak berhasil mencagahnya untuk pergi, karena kutahu, Shady kurang bisa dengan mobil matic, apa lagi saat itu kondisinya sedang tidak dalam kategori baik-baik saja. Tapi ia tetap bersi kekeh ingin menemui seseorang itu. aku mencoba mengajukan saran agar aku yang mengantarnya, tapi ia menolak, dengan alasan kasihan denganku jika terlalu lama menunggu” lagi-lagi Vhey menempatkan jeda. Tanpa dijelaskanpun aku juga sudah tahu bahwa seseorang di taman kota itu adalah aku, ya aku. Aku merasa bersalah, andai aku membatalkan pertemuan itu mungkin ini tidak akan terjadi.
               “Keadaan Shady begitu mengenaskan. Tulang kaki kanannya remuk akibat tertimpa sesuatu, bahkan dua tulang rusuk melayang dan lima tulang rusuk sejatinya patah akibat menghantam stir dengan keras, hingga ia mengalami sesak napas akut. Dan dokter berkata—“ Vhey berhenti, aku sudah tahu itu, tak perlu diucapkan lagi. Peganganku pada besi pinggiran ranjang rawat semakin kuat menahan ledakan tangis sekuat tenaga. Tapi percuma saja, isakanku begitu kentara dalam ruangan sunyi ini. Aku menatap wajah pucat itu lekat-lekat, selain isakanku, bunyi monitor ECG juga bergema pada ruangan ini. “Shady tidak memiliki harapan untuk bertahan lebih lama, jantungnya berdetak mulai melambat seiring waktu, hanya keajaiban yang akan menyadarkannya kelak” lanjut Vhey, membuat tangisku semakin menjadi-jadi. Aku menggeleng tak percaya.
               “Tiga hari sebelum ia koma, ia memberikan sesuatu padaku. Ia berpesan agar aku memberikannya kepada seorang wanita yang bernama Jeslyn, dan kudapati itu kau. Ini!” Vhey menyerahkan sebuah kotak dan setangkai mawar kepadaku di atas pembaringan Shady, mungkin jika Shady sadar ia akan sangat berterimakasih pada Vhey karena menjadi seorang adik yang baik. Tangan gemetarku menerima itu dan berterimakasih kemudian menyimpannya di dalam tasku, tanpa mampu berkata apapun lagi selain terus saja menangis.
               “Dengan keadaan kakakmu yang saat ini kau tampak tenang dan pasrah. Setidakny kau berusaha—“
               “Karena, bahkan malaikat juga tahu bahwa Shady adalah lelaki yang kuat. Sama sepertimu, wanita yang kuat” aku tertegun, tapi bahkan perkataannya membuatku jengkel kali ini. Ku lihat ia mendekatkan wajahnya pada samping kanan wajah Shady seraya mengusap lembut kepala kakaknya, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Shady yang berhiaskan selang infuse.
               “Kakak, beban itu sudah aku sampaikan. Dan lihatlah bidadarimu tampak berada di dekatmu saat ini. Ku harap kau senang, berbahagialah! Tuhan selalu menyayangimu sekalipun banyak orang-orang yang kau cintai dan sayangi di sini, mereka akan mengerti. Kau tahu? Bahwa wanitamu saat ini sudah jauh lebih kuat darimu. Dia,,, telah mewujudkan apa yang kau harapkan” aku kembali menangis mendengar Vhey bercerita seakan Shady mendengarnya.
               Tak lama Vhey menjauh dari tubuh lelah Shady, sesuatu terjadi. Monitor ECG mulai menampakkan garis-garis yang tak beraturan, kemudian mulai terlihat garis lurus. Aku sangat hawatir, tapi kulihat Vhey tampak tenang seolah ia baru saja melepas kepergian kakaknya hanya sekedar pergi ke taman kota. Tanpa pikir panjang aku memanggil dokter, beliau datang dengen beberapa perawat dan mengharuskan kami keluar. Aku terisak didepan pintu. Mengocehi Vhey yang tampak seakan tak berdosa.
               “Kau itu benar-benar anak yang bodoh!!! Bahkan untuk menyelamatkan nyawa kakakmu saja kau tak sudi! Kau pikir itu adalah sebuah lelucon untuk mengerjai kakakmu sendiri? Dasar adik durhaka” umpatku tepat di depan wajahnya, ia hanya menunuduk entah apa artinya, menyesalkah?
               Dokter keluar kemudian menggeleng. Tak lama beberapa perawat membawa ranjang Shady keluar dengan wajah lelaki itu ditutup dengan kain. Aku menangis terduduk di depan ICU, memukul keras lututku sendiri. Mungkin Vhey menemukan diriku sebagai replika dirinya versi wanita. Vhey mendekapku sambil berkata. “Dia telah melepas beban dan pesakitan itu, Jeslyn. Apa kau tidak senang? Dia tidak akan merasakan sakit itu lagi. Kau mencintainya kan? dia juga mencintaimu, maka dari itu wujudkanlah harapannya!”
                “bahkan kau sama sekali tidak menangis” sentakku kuat.
                “Aku menyayangi kakakku jauh lebih sayang dibanding menyayangi diriku sendiri. Aku tidak menangis sekarang. Tapi, aku menangis untuk ribuan tahun ke depan” setelahnya kami beranjak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Forgive MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang