Part 26: The Informer

7 2 0
                                    


Faris mendatangi ayah yang sedang duduk dengan kepala tertunduk di ruang tunggu. Matanya menatap lantai seolah mencari jawaban yang tertinggal. Kedua sikunya menumpu pada lutut menahan beban hidup yang di deritanya.

"Yah," sepelan mungkin Faris memanggil ayahnya.

"Gimana, Ris?" tanya Ayah dengan wajah khawatir masih dari tempat duduknya.

"Udah beres pendaftarannya," jawab Faris.

"Bukan, Aida udah jawab teleponnya belum?" Ayah memperjelas maksudnya. Faris menggeleng. "Aduh, kemana anak itu?" Ayah serta merta bangkit dan mengacak rambutnya hingga kusut.

"Temannya laporan Aida ikut sama Gigi dari komunitas mural, terus... " Faris ga sempet menyelesaikan kalimatnya.

"Ah... Mural lagi..." level kesel Ayah bertambah.

"Denger dulu, Yah!" pinta Faris. "Gigi nyelamatin Aida dari bully-an temen sekolahnya."

"Terus kenapa sekarang Aida belum bisa dihubungi?" level ga sabaran Ayah ternyata juga bertambah.

"Itu masalahnya, Faris juga ga ngerti. Faris khawatir, soalnya Aida pergi ga dalam keadaan marah atau kesel. Eva bilangnya gitu," Faris menyembunyikan fakta kalau dia sendiri ga percaya sama Gigi. "Gini deh, Faris mau cari Aida. Gimana?" Faris menawarkan solusi.

"Ayah... Ayah ga bisa ikut, Ris," Level kegalauan Ayah juga naik. Kekecewaan Faris tampak di wajahnya. "Mamamu ga bisa ditinggalin," Ayah mengambil napas panjang. "Ayah harus..."

"Faris ngerti, Yah," Faris memutuskan menyudahi egonya. Sebagai kakak dia kecewa Ayahnya tak bisa menemani mencari Aida. Tapi, sebagai seorang anak, Faris paham adalah tugas seorang Ayah untuk menemani Mama yang meregang nyawa untuk melahirkan bayinya ke dunia. "Biar Faris yang cari Aida. Ayah jagain Mama aja. Nanti Faris kabari update nya, ya?" Level kedewasaan Faris naik tajam. Ayah mengangguk. Dia bersyukur Faris memang anak yang bisa diandalkan. "Faris ambil motor dulu ke rumah, Yah. Sapa tau Aida udah ada di rumah," Faris tahu kemungkinan itu kecil, tapi tetap dia ambil. Lagi pula dia butuh motor mama untuk mencari Aida.

***
Aida belum pulang. Faris segera tau apa yanag harus dia lakukan. Setelah berpesan ke Bi Irah untuk segera menghubunginya jika Aida pulang, Faris segera melaju motornya menuju point mural di mana dia bertemu dengan Gigi.

Taman Jomblo di bawah Jembatan Pasopati terlihat sepi, tak satu pun anggota mural dia temui disana. Hari yang memang sudah gelap dan cahaya lampu tak cukup untuk membuat mural adalah faktor utamanya. Hanya ada beberapa orang sedang berlatih skate board di sana. Suara teriakan mereka bersaing dengan bising lalu lintas di atasnya. Faris merasa jomblo, sendiri dan ga tau mesti nanya Aida ke siapa. Informasi dari Eva sendiri sudah maksimal. Faris membuka gawainya dan mengecek medsos Aida. ada satu tempat yang belum dia kunjungi. Dinding hadiah buat Aida dari komunitas muralnya. Itu terletak tak jauh dari Cafe Coffee pasta.

Faris sampai di dinding mural Cikapundung. Ah, jauh sekali Aida mencari dinding kanvas, pikirnya. Lampu jalan menerangi mural Aida yang bercerita tentang kesepian. Dinding kebesaran khusus buat Aida itu begitu muram dan menambah rasa bersalah. Faris semakin tertuntut untuk segera menemukan Aida dan memeluknya erat.
Aida, kamu ke mana? Hari makin gelap dan Aida belum ketemu juga. Faris menggunakan otak analisisnya. Siapa yang terakhir memberikan informasi soal Aida? Beberapa detik kemudian, Faris mendapatkan jawaban. Aduh... Haruskah aku ketemu orang itu lagi?

***

Parkiran cafe yang tak seberapa luas dipenuhi motor yang diparkir rapi. Pendar lampu taman menambah hangat suasana obrolan tamu yang duduk di beranda cafe. Faris sempat berharap Aida ada diantara pengunjung itu, tapi harapan itu pupus. Faris langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafe. Dia berusaha mencari Wawan, pegawai cafe yang tempo hari memberikan informasi keberadaan Aida. Kali ini Faris sudah siap mental untuk menemuinya.

Faris mengarahkan pandangannya ke setiap arah hingga sudut-sudut cafe. Tak ada satu pun seorang yang mirip Aida. "Faris," sapa Roni dari baik meja bar. "Tumben keluar malem," kata pemuda ganteng yang dikuncir rapi itu lagi. Tanpa buang waktu Faris segera mendekati Roni.

"Gue lagi nyari Aida. Dia mampir ke sini ga?"

"Ga, tuh. Kabur lagi?" tanya Roni memastikan.

"Gue ga yakin. Dia baik-baik aja kok. Temennya bilang dia pergi sama komunitas muralnya. Lo hapal ga?"

Roni menggelengkan kepalanya. Faris patah semangat, dikepalkan tangannya menahan marah. Lalu dia teringat Wawan. "Wawan malam ini masuk ga?" tanya Faris penuh harap.

"Pegawai cafe yang..." Roni ga tega bagaimana mendefinisikan Wawan.

"Ya," Faris menjawab cepat.

"Ada di belakang. Sebentar gue panggilin" Meski heran kenapa Faris bisa kenal Wawan, Roni segera ke belakang mencari pegawai itu.

"Kang Faris, ya? Ada apa Kang?" tanya Wawan begitu dia muncul di balik meja bar.

"Liat Aida ga?" Faris to the point.

"Udah liat di telepon?" Wawan menggunakan istilah "liat di telepon" untuk medsos itu lagi.

"Ya, ga ketemu," kata Faris cepat. "Kenal Gigi, ga?"

"Gigi siapa?" Wawan bingung. Faris mencium kemungkinan jawaban eror disini.

"Gigi ... temennya ... Aida," Faris menerangkan dengan perlahan.

"Oh..." Wawan hendak menjawab tapi dipotong oleh Faris.

"Temennya yang di komunitas mural," Faris memberikan detil.

"Oh, ya itu..." jawaban Wawan terpotong lagi.

"Suka pakai jaket," kata Faris lagi.

"Nah itu..." Wawan gagal menjawab lagi, ditutup mulutnya rapat karena kesal.

"Kulitnya agak gelap, suka pakai motor. Katanya bareng dua temennya, saya ga hapal. Kang? Kang kenal ga? Kok diam aja?" Faris ga sabar.

"Abisnya mau jawab dipotong terus. Gigi itu yang suka ke sini bareng Aida ngobrolin proyek mural cafe ini. Tadi siang bareng dua temennya ngobrolin cat. Si Niko kan bapaknya punya Gudang Cat deket stasiun. Kalo yang satu lagi mah saya ga kenal. Tapi, ga ada Neng Aida. Makanya A Wawan teh nanya kemana Neng Aida. Mereka bilang sekolah. Ya, sukur kalo sekolah mah," Wawan dengan detil menjelaskan.

Faris senang sekali Wawan ga eror kali ini. "Makasih, Kang. Saya mau ke gudang cat deket stasiun," Faris segera membalikkan badan hendak pergi, tapi Wawan memanggilnya.

"Emang tau gudangnya di mana?" Wawan menyadarkan Faris kalau informasinya belum lengkap. Faris berbalik dan menggeleng. "Itu mah daerah Kiara Condong. Daerah saya. Sini saya liatin di telepon," Mendengar penjelasan Wawan, Faris kembali mendekat ke meja bar.

***
>"Yah, aku ke gudang cat di stasiun. Aku shareloc, ya. Ga usah khawatir, minta doanya. Aku kabarin lagi secepatnya." Faris mengirim pesan WA kepada Ayah sesuai janjinya.

Di rumah sakit Ayah segera mencari musola, mengambil wudhu dan berdoa untuk kedua anaknya, dan bayi yang sedang diperjuangkan untuk lagir ke

>"Bu, aku nyari Aida. Dia ga kasih kabar. Aku khawatir. Doakan aku ya, Bu. O, ya. Mama di rumah sakit perdarahan. Ayah nemenin Mama,"Faris mengirim pesan WA ke Ibu seperti biasa meminta do'anya.

Di Temanggung Ibu segera mengambil air wudhu dan menggelar sejadahnya. Doa mengalir deras tak henti dari hatinya meminta keselamatan kedua anaknya.

Resilience: Segalanya untuk AidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang