"Bi, maaf ya aku baru ngabarin kamu dan ini mungkin terkesan mendadak. Aku udah beli tiket pulang buat besok. Kamu besok ada waktu nggak? Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."
"Yaudah, besok aku jemput ya, sekalian aku antar ke statiun."
Aku telah mempersiapkan kepulanganku. Tas ransel berisi laptop dan sebuah tas jinjing kutaruh di sudut kamarku. Aku sedang di ambang keragu-raguan atas hubunganku dengan Bian. Tiga tahun duduk di kelas yang sama, berada di dalam satu organisasi yang sama, tak lantas menjadikan kami mampu sepenuhnya mengerti satu sama lain.
Sepertinya aku mulai lelah dengan sikap Bian yang tak pernah bisa membuatku yakin bahwa dia benar-benar serius dengan hubungan kami. Aku seorang perempuan. Aku butuh keyakinan bahwa aku benar-benar diharapkan dan aku ada diantara salah satu mimpi besarnya. Namun, Bian tak pernah menunjukkan hal itu, ia hanya berusaha meyakinkanku bahwa aku berarti bagi hidupnya dan Bian jatuh cinta kepadaku sejak dua tahun silam.
Sekitar jam 9 aku mulai bersiap. Gawaiku tiba-tiba berdering, rupanya telepon dari Bian. Ia memberi tahuku bahwa ia telah sampai di depan indekosu. Aku segera bersiap, menaruh beberapa baraang ke dalam tas kemudian mengunci pintu kamar.
Kulangkahkan kaki perlahan, menuruni satu persatu anak tangga menuju halaman depan. Aku masih bertanya-tanya, apa yang akan Bian katakan hari ini dan apa keputusan yang aku akan aku ambil utuk kita.
Aku melihatnya di depan gerbang, laki-laki yang kukenal tiga tahun silam, laki-laki yang selalu ingin melihatku sempurna melalui kacamata bundar yang terpasang di depan matanya. Ia tersenyum ke arahku, melambaikan tangannya agar aku segera menuju ke arahnya.
"Hai, maaf ya lama nunggunya."
"Iya gak papa, ayo langsung jalan aja ya. udah nggak ada yang ketinggalan kan?"
"Udah semua kok Bi, amaan."
Kami segera melaju, menuju salah satu tempat makan dekat stasiun. Di jalan, kami sedikit membicarakan tentang alasanku pulang. Setelah habis masa kontrak, aku tiba-tiba berkeinginan untuk menetap di rumah, barang seminggu atau sebulan sambil menunggu panggilan pekerjaan dari beberapa tempat yang sudah kirimi lamaran pekerjaan.
Sesampaianya di tempat makan, Bian memesankan beberapa menu yang biasa kami pesan dan kini Ia duduk berhadapan denganku.
"Mmm.. Bi, jadi gimana? Kamu udah mikirin jawaban dari pertanyaan aku waktu itu?"
"Aku mau tahu dari kamu dulu gimana."
"Bi, aku perempuan. Hubungan ini nggak cuma tentang aku sama kamu. kalau emang diantara mimpi-mimpi besar mu ada kita, aku mau setidaknya orang tua aku mengenalmu dan orang tuamu juga mengenalku."
"Dikta, aku udah pernah jelasin kekamu kan, kalau aku masih punya banyak mimpi buat digapai, nggak semudah itu buat aku ngenalin kamu ke orang tua aku."
"Iya, Bi, aku paham. toh maksudku meminta pembuktian, meminta dikenalkan, itu bukan berarti aku minta dinikahi dalam waktu dekat. Aku juga masih punya banyak mimpi, Bi. Tapi diantara mimpi-mimpi aku itu ada kamu, ada kita."
"Dik, masalah perasaan, jujur aku sayang sama kamu. Tapi buat masalah pembuktian seperti yang kamu inginkan, aku rasa ini belum saatnya dan aku nggak bisa buat memenuhi permintaan kamu dalam waktu dekat ini."
Sekuat hati, aku menahan perasaan kecewa atas jawaban Bian. Aku pikir, kita adalah salah satu hal penting dalam hidupnya, seperti aku menaruh kita di dalam mimpiku. Tapi, sepertinya aku berharap sendirian.
"oke, Bi. Mungkin buat sekarang aku mau nenangin diri dulu, aku nggak tau masa depan bakal kaya apa. Terima kasih udah jujur. dan Itu berarti kamu memintaku buat nggak terlalu berharap sama kamu."
Bian kehabisan kata, ia tak menjawab sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Adalah Hujan
RomanceKesabaran nyatanya tak selalu bersambut, waktu yang lama pun bukan jaminan dan yang jelas cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan suatu hubungan. Pada akhirnya, apa yang disiapkan semesta selalu lebih baik dari apa yang sudah manusia rencanakan...