PROLOG 🌷

1.4K 63 0
                                    

DOR!

SELAMAT DATANG DI DUNIA FIKSI LAGI!

SELAMAT MEMBACA!
-coretanpacarjeno, spesialis rasa sakit yang begitu dalam-

**

Zia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, matanya menelusuri setiap detail gaun mewah yang membalut tubuhnya. Kilauan perhiasan yang ia kenakan memantulkan cahaya dari lampu kristal di langit-langit, membuat ruangan itu terasa semakin megah. Namun, semua kemewahan itu tidak mampu mengusir keraguan yang menggantung di hatinya. Di balik wajah yang cantik dan penampilan sempurna, Zia merasakan beban yang tak kasat mata, sesuatu yang tidak bisa ia singkirkan meski sudah mencoba berkali-kali.

“Apakah ini cukup?” gumamnya pada bayangan di cermin. Suaranya hampir tenggelam di dalam keheningan kamar, tetapi gema pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya.

Ia memikirkan kedua orang tuanya, sosok yang begitu dihormati dan dikagumi oleh banyak orang. Sebagai anak tunggal dari pengusaha nomor satu di Indonesia, Zia selalu merasa tertekan oleh ekspektasi tinggi yang mereka letakkan di pundaknya. Ia tahu, semua yang ia miliki sekarang—pendidikan terbaik, koneksi sosial yang luas, dan kehidupan yang tampaknya sempurna—adalah hasil dari kerja keras orang tuanya. Tapi di balik semua itu, ada kekhawatiran yang terus tumbuh.

Pintu kamarnya terbuka perlahan, memunculkan sosok ibunya yang anggun dan penuh wibawa. Wanita itu melangkah masuk, menatap putrinya dengan senyum hangat yang menenangkan.

“Kau cantik sekali malam ini, sayang,” ucap ibunya dengan nada lembut, sambil mengamati Zia dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Zia berbalik, mencoba menanggapi dengan senyuman yang sama hangatnya, tapi ada ketidakpastian yang tak bisa ia sembunyikan. “Terima kasih, Bu,” jawabnya lirih, meski dalam hatinya ia tahu ada sesuatu yang hilang.

Ibunya mendekat, meletakkan tangan di bahu Zia dan berkata dengan lembut, “Ayah dan Ibu sangat bangga padamu. Kau tahu itu, kan?”

Zia hanya mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. "Aku tahu, Bu," ujarnya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih daripada ibunya. Tapi di dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah kebanggaan itu memang murni untuk dirinya, atau hanya karena nama besar keluarga mereka?

Sementara itu, di sisi lain kota yang berkilauan di malam hari, Naren duduk di kursi ruang riasnya, dikelilingi oleh cermin yang memperlihatkan pantulan dirinya dari berbagai sudut. Wajahnya yang tampan dan maskulin, dengan rahang tegas dan mata yang tajam, adalah wajah yang dikenali oleh jutaan orang. Ia adalah aktor yang sedang naik daun, bintang baru di dunia perfilman yang dipuja oleh banyak penggemar. Tapi malam ini, di balik senyumnya yang memikat, ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.

Salah satu kru produksi mengetuk pintu dan masuk, membawa daftar adegan yang akan diambil malam itu. “Naren, kau siap untuk adegan berikutnya?” tanyanya, memperhatikan wajah sang aktor yang tampak lebih lelah dari biasanya.

Naren menatap kru tersebut, mencoba mengumpulkan semangat yang perlahan-lahan terkikis. “Ya, aku siap,” jawabnya, meski ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar kosong.

Kru itu mengangguk dan bergegas keluar, meninggalkan Naren sendirian lagi dengan pikirannya. Ia mengambil napas panjang, mencoba mengusir bayangan yang terus menghantuinya—bayangan seorang wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, namun kini hanya tinggal kenangan. Kehilangan kekasihnya adalah harga yang harus ia bayar untuk mencapai puncak karirnya, dan meskipun ia telah meraih kesuksesan yang diimpikan banyak orang, ia tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang.

Naren berdiri dan melangkah menuju set, di mana para kru sudah siap dengan kamera dan pencahayaan. Saat ia mengambil posisinya, sutradara memberikan beberapa instruksi terakhir. “Ingat, Naren, adegan ini tentang emosi yang dalam. Kau harus benar-benar merasakannya.”

Naren mengangguk tanpa berkata-kata, meski dalam hatinya ia tahu, emosi itu tidak perlu dipaksakan—ia sudah merasakannya dalam-dalam, setiap hari sejak ia kehilangan kekasihnya. Saat kamera mulai merekam, Naren membiarkan dirinya tenggelam dalam peran, membiarkan rasa sakit dan kehilangan itu mengalir keluar. Adegan itu berlalu dengan sempurna, dan ketika sutradara berteriak, “Cut!” semua orang di sekelilingnya bertepuk tangan.

Namun, di balik semua pujian itu, Naren merasa hampa. Ponselnya bergetar di saku, dan ketika ia mengeluarkannya, nama Zia muncul di layar. Jarinya ragu-ragu, menelusuri layar itu, seolah-olah ia berharap bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Namun, kenyataan menyadarkannya bahwa waktu tak bisa diulang.

Di tempat lain, Zia duduk di pinggir ranjangnya, memegang ponselnya erat-erat. Nama Naren terpampang di layar, mengingatkan akan kenangan yang mereka bagi bertahun-tahun lalu. Ia pernah membayangkan hidup bersama Naren, melangkah menuju masa depan yang cerah bersama-sama. Namun, takdir berkata lain, dan mereka harus mengambil jalan yang berbeda.

Zia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hatinya. "Apakah kau juga memikirkanku, Nar?" bisiknya lirih, meski ia tahu jawaban itu tak akan pernah datang.

Di luar, malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai muncul di langit yang gelap. Naren menatap langit malam melalui jendela ruangannya, mencoba mencari jawaban yang tak pernah ia temukan. "Maafkan aku, Zia," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun mereka telah berpisah, kenangan itu akan selalu menghantui mereka.

Dan di saat seperti itu, ketika kota sudah mulai sunyi dan hanya tersisa kerlip bintang di langit, Zia dan Naren menyadari bahwa meskipun mereka hidup di dua dunia yang berbeda sekarang, masa lalu mereka tetap menjadi bayangan yang terus mengikuti, mengingatkan bahwa terkadang, pemenangnya bukanlah masa kini, melainkan masa lalu yang penuh dengan kenangan tak tergantikan.

**

NANTIKAN KEMBALI KISAH MEREKA SELANJUTNYA. JANGAN LUPA KOMEN, VOTE & FOLLOW TERIMAKASIH 😻

DON'T FORGET TO FOLLOW INSTAGRAM!!!
@r.dita_15
@tulisansastraa_

My Soulmate Turns Out to be an Actor (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang