Pagi yang Disukai

15 0 0
                                    

Namaku Aruna. Lebih tepatnya, Aruna Priyanka. Sekarang, aku telah menginjak usia yang ke dua puluh tiga tahun. Kata orang di desaku, usia dua puluh tiga adalah usia yang sudah terlalu tua untuk menikah bagi seorang perempuan. Kata mereka, usia dua puluh tiga sudah sangat dewasa untuk melakukan pernikahan. Kata mereka lagi, usiaku saat ini sudah sangat matang untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Ah, benarkah, kurasa tidak. Usia dua puluh tiga aku masih sibuk menyiapkan diri menuju masa depan serta meningkatkan kualitas diri dengan karya-karya cemerlang. Lagi pula, kedewasaan seseorang tak bisa hanya dilihat dari usianya. Pernikahan adalah seni mengalah. Faktanya, masih banyak pasangan yang tak mau mengalah, alasannya, mereka gengsi mengakui kesalahan, atau sekadar meminta maaf duluan. Itu adalah beberapa kisah orang yang sudah menikah dan sempat berbagi cerita kepadaku.

Hari-hariku banyak ku gunakan untuk menulis di jejaring sosial. Banyak orang yang menyukai tulisanku, terutama perempuan. Beberapa kali, aku menang lomba menulis puisi atau cerpen tingkat nasional maupun daerah. Aku banyak menuliskan tentang hak-hak perempuan yang sering kali hilang. Akhir-akhir ini, aku membaca banyaknya kasus pernikahan di bawah usia yang ditetapkan oleh pemerintah. Kasus terbaru adalah, seseorang menikah karena bosan dengan rutinitas sekolah. Selain menulis, aku membuka jasa fotografi. Baik untuk foto produk, maupun foto di acara-acara pesta.

Sempat beberapa kali aku mendapatkan petuah dari warga desa, jika perempuan tak perlu bersekolah tinggi, sebab setelah menikah hanya akan mengurus dapur, sumur, dan kasur. Kata mereka, tiga hal itu takkan diperoleh di bangku pendidikan formal manapun. Benar memang, perihal rumah tangga hanya akan dibahas di kelas-kelas tertentu saja. Namun, pendidikan formal juga penting sebagai bekal kehidupan

Saat ini, aku telah menamatkan pendidikan strata satu di salah satu universitas kota Yogyakarta. Selama tiga setengah tahun berkuliah, selama itu pula gunjingan-gunjingan mengenai perempuan sarjana yang hanya menjadi ibu rumah tangga selalu kudengar di telinga. Apa salahnya jika calon ibu memilih belajar untuk mengajar anak-anaknya kelak, kurasa tidak ada. Tak sampai di situ, setelah 2 tahun kelulusanku, ungkapan bahwa perempuan tak perlu berpendidikan tinggi pun masih kerap kudengar.

Perempuan itu istimewa. Perempuan diatur sedemikian sempurna dan diistimewakan di dalam Al-Qur'an.  Setiap perempuan memiliki hak untuk terus belajar dan menempuh pendidikan, serta memiliki hak untuk bermimpi dan mewujudkannya. Tak ada masalah bagi perempuan pemilik pendidikan tinggi dan memilih menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Tak ada masalah ketika sudah menikah, tapi tetap berkarya demi mewujudkan mimpinya. Hanya saja, ia tak boleh menyimpang dari kodrat yang telah menjadi ketetapan baginya. Islam tak memberi sekat apalagi melarang perempuan dalam berkarya, justru, Islam memberi pedoman kepada perempuan, agar tetap mengingat fitrahnya sebagai seorang ibu dan seorang istri.

Ketika sedang membuka sosial media, tak sengaja aku menemukan sebuah tulisan yang berisi keluhan seorang perempuan yang merasa kewalahan menyandang statusnya sebagai ibu rumah tangga. Sebelum menikah, ia selalu bisa menikmati liburan minimal di akhir pekan, bersantai di kediamannya, kehidupannya sangat bebas, bahkan ia masih sempat pergi ke salon demi memanjakan dirinya. Setelah menikah, hampir tiap hari waktunya habis hanya dengan rutinitas-rutinitas yang tak memiliki batas selesai. Tubuhnya lelah karena hanya memikirkan cucian, menyiapkan makan, dan merapihkan mainan yang hampir tak pernah tak berserakan. Jangankan bisa liburan tiap akhir pekan, sekadar ke salon pun hampir tak sempat.

Ternyata, perihal pernikahan tak semudah yang diucapkan orang-orang waktu itu. By the way, kisah tadi mungkin tak semua perempuan mengalami hal yang sama. Dalam pernikahan membutuhkan banyak ilmu. Tak hanya tiga ilmu yang disebutkan tadi. Pernikahan membutuhkan ilmu sabar tingkat tinggi, pernikahan membutuhkan ilmu mengalah yang tinggi pula. Di dalam keluarga, hidup harus bisa melengkapi dan saling menyeimbangkan. Ketika laki-laki difokuskan mencari nafkah, maka seorang perempuan harus bisa menjadi bendahara yang cerdas, amanah, dan berkualitas, sebab ialah yang akan mengatur keuangan dalam rumah tangga. Seorang perempuan harus bisa menjadi guru matematika, guru bahasa, guru olahraga, guru menggambar, guru mewarnai, guru menggunting, dan haus bisa menjadi guru segala hal yang mungkin seorang anak akan bertanya dan meminta sang ibu mengajarinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang