Satu

15 3 0
                                    


Meja makan terasa dingin, hanya ada suara dentingan sendok logam yang berbenturan dengan piring kaca. Agam mencoba mencerna makanannya tanpa berkomentar apapun. Sesungguhnya dirinya sudah sangat muak dengan keadaan yang terasa sangat menyakitkan ini. Tapi bagaimana dengan ibunya, ibunya pasti jauh lebih terluka dengan keadaan keluarga kecilnya saat ini. Sejak kecelakaan merenggut kemampuan kaki ibunya untuk berjalan, kepribadian ayahnya berubah menjadi sangat berbeda. Sangat-sangat berbeda sampai ia tidak mengenalinya lagi. Tidak ada kebahagiaan yang menghampiri dua tahun terakhir, kedua mata sang ibu pun tidak pernah lagi bercahaya seperti yang selama ini ia kagumi.

Ia muak, benar-benar muak.

Mengapa hanya perempuan yang sangat ia sayangi yang begitu terluka? Pernahkah sekali saja ayahnya mempedulikannya?

Agam mencoba menahan diri sebisa mungkin ketika mengingat apa yang ayahnya lakukan di luar sana. Hal yang paling memalukan yang ia lihat seumur hidupnya, melihat sang ayah bercumbu dengan perempuan yang bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan sang ibu. Kejadian demi kejadian terjadi selama dua tahun terakhir membuat agam menjadi sosok brengsek yang paling ia benci.

Agak mencoba tertawa walau getirnya masih begitu terasa. Ia tidak bisa menatap wajah ibunya dan selalu membuat ibunya sendirian dan kesepian di rumah besar ini. Terlalu melelahkan sampai ia tidak sanggup untuk pulang.

"Halo." Suara Winata—ayah Agam memecah keheningan diantara mereka. Winata beranjak dari kursinya seraya mengangkat telpon tanpa memperdulikan makanannya yang baru tersentuh sedikit saja. Sekilas Agam melihat ibunya mendesah pelan, mungkinkah ibunya juga merasa lelah sepertinya?

Perlahan Agam menyeret kursinya untuk bangkit, "Ma-" suaranya menghilang di tenggorokan, begitu perih ketika Agam melanjutkan, "Agam pergi dulu ya." Tanpa berniat untuk menatap kedua mata sang ibu, Agam meraih bahu Salma dan merengkuhnya dengan erat.

"Maaf."

*****

Hingar bingar musik yang berdentum keras menyapa gendang telinga Agam. Disana, di deretan sofa yang selalu ia datangi bersama teman-temannya sudah ada Ghani dan Chandra —sahabat karibnya sejak tahun pertama SMP. Kepulan asap rokok memenuhi paru-parunya, membuat Agam sedikit mengibaskan tangan untuk menghalau gas berbahaya tersebut masuk terlalu banyak.

Chandra yang melihat kedatangannya, berseru keras dan memanggil agar Agam segera bergabung dengan mereka yang di balas gelengan oleh Agam. Agam terkekeh kecil melihat kehadiran Ghani terasa kontras dengan sekelilingnya. Jika Chandra adalah tipe orang yang sangat suka bersenang-senang, maka Ghani adalah tipe yang terlalu pasif dan dingin. Pertemanan diantara mereka terlalu aneh, lebih aneh lagi dengan orang-orang yang begitu tergila-gila dengan mereka.

Agam berjalan mendekati meja bartender dan duduk di sana sebelum memesan minuman.

Seorang gadis berjalan tergesa-gesa menghampiri bartender yang ada di hadapan Agam, merasa tertarik, Agam memperhatikan dengan seksama gadis yang ada di hadapannya. Gadis itu terlihat terlalu muda untuk bisa berkeliaran di klub malam seperti ini, walaupun dari gaya berpakaian dan rambutnya sangat cocok untuk pergi ke tempat-tempat seperti ini. Merasa sedikit familiar dengan seragam sekolah yang berada di lengan gadis itu, Agam terus memperhatikannya sampai tersadar bahwa gadis tersebut sudah menghilang entah kemana.

"Dia masih sekolah?" Agam bertanya kepada bartender yang selesai menyajikan minumannya.

"Masih, dia satu sekolah sama lo. Lo ngga kenal dia?" Bartender tersebut menjawab santai dan kembali meracik minuman seperti sebelumnya.

Dahi Agam berkerut tanda bahwa ia sedang berpikir keras. Nyatanya ia tidak pernah melihat gadis itu selama dua tahun ia bersekolah di SMA Harapan.

Bartender tersebut kembali bersuara,"Gue paham kalau lo ngga kenal dia, karna di engga sepopuler itu. By the way, gue Mahesa, alumni dari sekolah lo. "

Agam menyambut uluran tangan Mahesa dan menyebutkan namanya. Mahesa terkekeh geli dan mengatakan bahwa ia sudah lebih dari kenal dengan Agam.

Musik telah berganti, seorang gadis berdiri dibalik table disc jockey dan begitu serius menekan dan memutar Pioneer dihadapannya. Alunan musik berdentum keras membawa para pengunjung bergerak bebas dan liar, melepaskan beban-beban di pundak mereka masing-masing. Agam tak henti-hentinya menatap gadis di balik meja DJ tersebut. Perhatiannya begitu tersedot sampai tidak menyadari Mahesa sedang menepuk pundaknya.

"Dia jadi DJ disini, sudah dari setahun yang lalu. Gue rasa lo ngga pernah perhatikan sekeliling lo sampai ngga pernah tau siapa dia padahal lo sering ke sini."

"Gue ngga pernah perhatikan siapa pun, apalagi cuma ade kelas." Agam mengangkat kedua bahu dan menatap heran Mahesa yang sedang tertawa.

"Gue sekarang yang bingung, lo yang aneh atau Regita yang suka bertapa di gua hantu sampai lo ngga tau kalau kalian satu angkatan." Mahesa menggeleng sambil tersenyum menepuk-nepuk pundak Agam dan kembali ke balik meja untuk melanjutkan pekerjaannya meninggalkan Agam yang termenung sejenak.

******

Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 02.05, Regita mengibaskan rambut dark brown sepunggungnya dan mengambil ikat rambut berwarna hitam dari sakunya serta mengikat asal tanpa memperdulikan anak-anak rambut yang berterbangan di wajahnya. Setelah berpamitan dengan Mahesa yang mana adalah satu-satunya teman di tempatnya bekerja, Regita memutuskan untuk pulang karena pagi nanti ia akan ada ulangan biologi. Bersiap untuk keluar dari tempat menyesakkan ini, bang Andre—pemilik klub malam menghentikan langkahnya. Sedikit berbasa-basi dan menyerahkan uang hasil jerih payahnya malam ini. Satu tarikan samar tercetak di sudut bibirnya, Regita  bergegas menenteng ransel hitam yang selalu ia gunakan ke sekolah yang mana membuatnya selalu di tertawaan Mahesa karena mirip anak tersesat ketika memasuki klub malam.

Debaran jantung Regita memompa begitu keras. Membuat Regita mengusap dadanya perlahan. Ada seseorang yang sedang bersandar di balik pintu keluar dengan jaket bomber berwarna gelap membuatnya terkejut dan nyaris berteriak.

Ketika sosok tersebut mendekat pada Regita, cahaya dari dalam klub menerangi wajahnya dan membuat kedua alis Regita bertaut, "Lo... Agam?"

"Lo kenal gue?" Agam balik bertanya karena disini sepertinya hanya dirinya yang tidak tau apa-apa.

Regita berdecak lelah, melangkah menghindar menuju arah berlawanan dari Agam, "Lo anak XII IPA 1."

Merasa tidak puas dengan jawaban Regita, Agam berlari menghadang langkah gadis yang membuatnya penasaran tersebut.

"Nama lo?" Tanya Agam sekali lagi

"Regita"

"Kelas?"

"XII IPA 3"

"Ngga sekalian tanya moto hidup sama zodiak?!" Bentak Regita kesal, tak mengerti  kemana arah pembicaraan menjelang subuh begini.

"Okey-okey, maaf, gue cuma penasaran." Agam terkekeh gemas melihat gadis dihadapannya marah. Bukannya takut, Agam malah ingin sekali mencubit kedua pipi tersebut.

"Penasarannya bisa di tunda aja ngga? Gue mau tidur, besok pagi gue ada ulangan!" Regita berlalu menghiraukan alasan keberadaan Agam yang terasa aneh di depan klub malam

"Sampai ketemu besok Gita!" Tersenyum lebar, Agam mengusap tengkuknya dan merasa aneh dengan dirinya malam ini. Sambil menengok ke sekelilingnya Agam bergidik ngeri membayangkan penunggu pohon-pohon besar tersebut menonton aksinya malam ini.

Sampai ketemu lagi, see u next!
Jangan lupa tinggalkan jejak 👣

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IrreversibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang