Bab 17

59 10 0
                                    


23 Desember 2019

        Hari berganti malam. Rumah Budhe Lastri sudah sepi, semua penghuninya sudah terlelap. Terakhir mereka ngobrol di teras selepas makan malam. Tidak ada obrolan khusus, hanya berbagi cerita iseng saja.

       Sudah dua malam mereka ada di sini, di rumah Budhe Lastri. Perempuan tua itu menerima Citra dengan tangan terbuka. Beliau tinggal sendiri, ketiga anaknya tinggal jauh di luar kota. Putra budhe, si bungsu tinggal di Solo juga. Cerita Budhe tadi, membuat Citra berpikir ulang untuk bertahan di sini. Kalau anak Budhe pulang, dan tahu dia di sini bisa bocor persembunyiannya.

        Budhe Lastri adalah sauadara jauh Danang dati pihak ayahnya. Sebenarnya mereka tidak terlalu dekat, tetapi kenal. Ketika masih hidup, Danang beberapa kali membawanya ke rumah ini. Anak tertua Budhe Lastri, teman Danang waktu mereka dari kecil. Bahkan Surya, anak Budhe itu pernah ikut sekolah di Klaten waktu SMA.

       Obrolan sore tadi memantapkan keputusan Citra untuk meninggalkan rumah Budhe Lastri besok. Tadi pagi Citra sempat berkeliling, tidak jauh dari kampung ini ada satu rumah yang dikontrakkan. Citra berniat mengontraknya, memulai usaha menjahit.

       Dari sekolah menengah, Citra sudah bisa menjahit. Selain mengikuti praktek pelajaran tata busana di sekolah, juga berlatih sendiri dengan karyawan rumah batik. Setelah menikah, Citra ikut kursus untuk mengisi waktunya yang banyak kosong. Danang tidak mengijinkan istrinya bekerja, hanya boleh membantu di toko. Menjahit menjadi salah satu kegiatannya agar tidak bosan. Hampir semua baju mereka dijahit sendiri, termasuk baju mertuanya.

       Sejak kembali ke Solo, Citra juga terlibat langsung merancang baju, dress, blouse, apa pun yang dijual di rumah batik Kencana. Biasanya Citra hanya membuat model, karyawannya yang akan menyelesaikan. Itu juga tetap dalam pengawasannya. Untari suka dengan pekerjaannya itu, baju yang dikenakan Untari juga banyak buatan tangan Citra.

       Untari, sosok Ibu yang selama ini membuat Citra nyaman. Bersyukur, perempuan itu mau merawatnya dengan baik. Mencintainya sama seperti mencintai anak-anaknya sendiri. Untari-lah alasan Citra bertahan, dan diam meski Tomy memperlakukannya tidak baik.

       Citra tidak buta dan tuli. Sejak lama Citra tahu, rumah batik itu miliknya. Warisan orangtua kandungnya. Tidak sengaja Citra mendengar perdebatan Untari dengan Tomy.   Ayah tirinya itu marah Citra diterima di UGM. Entah karena alasan apa, Citra tidak sempat mendengarnya. Mungkin Tomy berpikir Untari sengaja mempersiapkan Citra menangani bisnis mereka. Citra juga pernah mendengar cerita dari pengrajin lama yang masih bertahan menjadi rekan kerja rumah batik.

       "Syukurlah, Mbak Citra kembali mengambil alih usaha bapaknya," celetuk Bu Sastro ketika pertama kali Citra kembali. Citra kaget mendengarnya, tidak menyangka kedatangannya disambut dengan pernyataan itu. Karena dia tidak pernah ingin mengambil apa pun dari Untari.

      "Maksudnya apa, Bu?" tanya Citra pura-pura tidak tahu. Pertanyaan Citra membuat Bu Sastro terdiam. Kaget, mungkin juga takut salah bicara. Hanya sebentar, Bu Sastro kembali bicara.

       "Usaha batik ini 'kan punya Pak Arga, bapaknya Mbak Citra. Bukan punya Bu Untari, apalagi pak Tomy almarhum yang sombong itu!" lanjut Bu Sastro dengan nada berapi-api.

Untung mereka hanya berdua di ruang tamu keluarga Bu Sastro. Citra tidak bisa membayangkan, kalau obrolan itu akan didengar banyak orang. Citra hanya tersenyum. Ditatapnya wajah sepuh di depannya dengan lembut. Cerita itu tidak akan memengaruhi hatinya, Citra sudah tahu sejak lama, dan tidak ingin mempermasalahkannya. Apa yang dilakukan Untari kepadanya sudah lebih dari cukup. Citra merasa beruntung, Untari mau menjaganya dengan baik.

       Belum tentu, kalau keluarga Romo dan ibunya akan merawatnya sebaik Untari. Nyatanya anak-anak mereka berantakan, berebut warisan. Seperti adik-adiknya sekarang ini.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang