Butuh Obat

8 1 0
                                    

Part 1. Butuh Obat

Aku bergegas menuju ruangan dokter ketika suster memanggil nomor antrian. Napasku tidak beraturan karena tadi baru saja dari kamar mandi. Aku harus siap karena sudah giliran diperiksa.

Sejak pukul 07.00 WIB, aku berada di rumah sakit ini. Aku menderita sakit kepala yang tidak kunjung sembuh. Pilek yang terus menerus membuat aku tersiksa.

Atas rekomendasi seorang dokter di klinik tempat aku berobat, akhirnya aku memilih rumah sakit ini. Selain dokternya banyak, fasilitas penunjangnya pun terbilang lengkap. Aku tidak masalah antri, asalkan bisa sembuh.

"Silakan Mbak masuk ke ruang 27! Nanti, ketemu Dokter Rusly di dalam." Suster memberikan aku map berwarna pink untuk dibawa masuk ke ruangan dokter.

Sebelum masuk, aku menarik napas dulu. Butuh keberanian ekstra karena aku takut jarum suntik. Ya, meskipun sekarang banyak obat sudah berbentuk pil dan kapsul. Namun, tetap saja rasa waswas ada di hati.

Aku mengetuk pintu, lalu membuka handle dan masuk. Menutup kembali dengan pelan. Namun, aku tidak menemukan sosok dokter yang dimaksud suster tadi.

Map kuletakan di meja. Aku duduk karena tidak nyaman berdiri. Mungkin Dokter Rusly sedang berada di ruangan sebelah, pikirku. Aku tidak mungkin keluar untuk menanyakan pada suster tadi. Alamat, pasien lain akan senewen. Soalnya antrian yang mau berobat banyak.

Menunggu itu ternyata membosankan. Aku pikir sudah lama. Ternyata, waktu baru bergeser dua menit.

Ah, kenapa dokternya menghilang? Seperti orang yang dikhianati saja. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan dokter yang terkenal seantero rumah sakit ini.

Bosan duduk, aku berdiri dan melihat ke jendela. Ternyata, pemandangan dari lantai lima membuat aku gemetaran. Aku memang phobia ketinggian. Kepala langsung berdenyut sakit dan jantung berdebar-debar.

Aku melihat beberapa pedagang baru mengelar dagangannya. Ah, perutku jadi lapar. Meskipun tidak bisa melihat apa yang sedang dijual. Namun, aku tahu itu pasti makanan.

Tadi, aku berangkat dari rumah. Hanya memasukkan beberapa sendok nasi karena terburu-buru. Ibu menyuruhku cepat berangkat. Beliau takut aku tidak dapat nomor antrian.

Tiba-tiba dari arah pintu ruangan sebelah seorang laki-laki bertubuh tinggi mengenakan jas putih keluar dan berdehem. Aku pastikan dia Dokter Rusly. Dia berdiri bak model yang sedang berada di depan kamera. Wajahnya good looking. Namun, tidak ada senyuman di bibirnya, jutek.

"Siang, Dok!" sapaku sambil tersenyum.

Aku pikir, Dokter Rusly itu sudah tua. Ternyata, aku salah tebak. Dia mungkin baru berusia 35 tahunan. Umur yang ideal untuk seorang laki-laki mapan.

"Siang. Ada yang dikeluhkan, Mbak?" Dokter Rusly duduk di kursinya. Aku pun ikutan duduk juga.

"Ini, Dok. Sa-saya enggak enak hati."

Ampun, kenapa aku jadi grogi? Malah salah bilang lagi. Aku mau ngomong enggak enak badan, jadi enggak enak hati. Astaga, pesona Dokter Rusly sudah memporak-porandakan isi hatiku.

"Emang hatinya kenapa?" tanyanya sambil mengernyitkan alis. Tidak ada reaksi kaget atau apa. Ekspresi wajahnya datar, seolah-olah tidak mendengar apa-apa.

"Eh, maksud saya, enggak enak badan, Dok. Aduh, salah ngomong saya. Maaf, Dok." Aku langsung meralat sambil menahan rasa malu.

Dokter Rusly tertawa, lalu dia tersenyum. Ternyata, senyumannya manis juga. Sakit kepala yang semula berdenyut hebat seketika mereda.

Aku pun memberi keterangan kalau selama ini sering merasa pusing dan selalu bolak-balik pilek. Setelah diperiksa, Dokter Rusly mendiagnosa kalau aku sinus.

"Mbak, jangan makan cokelat, kopi, dan susu. Ini ada gangguan pencernaan juga. Jadi saya kasih obat maag."

"Wah, itu semua kesukaan aku, Dok."

"Jangan dikonsumsi! Itu akan memperburuk kondisi sinus, Mbak. Ini kalau terapi obat tidak sembuh, saya anjurkan untuk operasi," kata Dokter Rusly enteng.

Waduh, operasi. Hal yang membuat aku langsung lemas mendengarnya. Terlebih di area hidung, membayangkannya saja bikin merinding. Aku sempat ketakutan karena pernah membaca artikel seputar penyakit ini.

Namun, Dokter Rusly mengatakan bisa sembuh kalau belum parah. Asalkan aku dapat menerapkan pola hidup sehat. Tidak mengkonsumsi yang dilarang dan cukup istirahat.

Aku lega mendengarnya. Saran yang diberikan Dokter Rusly aku ingat betul. Sakit itu tidak enak. Terlebih area hidung. Meskipun hanya pilek, tapi jika terus menerus itu sangat menyiksa.

Kemudian, Dokter Rusly menuliskan resep. Aku memperhatikannya tanpa berkedip. Wajahnya yang tertunduk membuat aku terpesona. Tulisannya terlihat rapi, bagus. Selama ini, aku jarang sekali dapat membaca tulisan dokter.

"Ini obatnya ada tiga macam. Habiskan, jangan sampai malas apalagi enggak diminum!" Dokter Rusly menyodorkan kertas resep padaku.

Aku mengangguk. Aku mengamati tulisan dokter yang mengenakan kaus hitam itu. Suara Dokter Rusly berdehem membuat aku tersadar.

"Obat hatinya, Dok?" Spontan aku bertanya karena gugup. Memandangi tulisannya saja membuat aku senang. Apalagi menatap wajahnya yang mulus.

"Apa?"

"Obat hati saya yang sudah dibuat resah karena dokter," jawabku sambil tersenyum malu. Telanjur 'ngebucin', aku teruskan saja. Aku pantang menyerah. Siapa tahu, dia terpesona. Walaupun jelas itu pasti mimpi.

Dokter Rusly menarik napas. "Silakan ke apotek. Tanya CTLM sama apoteker."

Wah, dokter ini responnya baik. Padahal aku iseng. Kapan lagi 'ngebucin' dokter ganteng. Ibarat kata, gayung bersambut. Hatiku jadi berbunga-bunga dibuatnya.

"CTLM itu apa, Dok?" Aku penasaran. Apa itu semacam obat penghilang rasa sakit, pikirku. Aku perlu bertanya biar tidak ada salah paham.

"CTLM itu, cukup tidur lalu mimpi!"

Asem. Ah, menyesal aku bertanya. Ternyata, aku kena pukul telak. Dokter Rusly lebih jitu untuk urusan menangani kebucinan pasiennya.

Maksudnya aku harus tidur, lalu mimpi biar hati tidak jalan-jalan. Ih, menyebalkan dokter satu ini. Aku sedang sakit dibuat tegang tidak keruan. Otakku jadi tidak terkoneksi dengan baik.

Aku langsung permisi dan berjalan meninggalkan ruangan. Sempat sebal karena 'diisengin' balik. Aku berharap obatnya manjur. Biar hati jadi tidak berdebar-debar lagi.

Sebelum menutup pintu ruangan Dokter Rusly, aku mencuri pandang. Namun, dokter ganteng itu langsung mengusirku dengan menggerakkan tangannya seperti isyarat menyuruh keluar.

Aku kembali ke meja perawat yang tadi mendata. Kuberikan resep yang tadi ditulis oleh Dokter Rusly untuk di stampel. Aku melihat masih banyak pasien yang antri belum masuk.

"Semoga lekas sembuh, ya, Mbak!" Perawat itu mengulas senyum.

"Insyaa Allah sembuh, Sus. Kan, dokternya ganteng. Eh," ucapku sambil tertawa kecil.

Perawat itu ikut tertawa. Aku jadi malu sendiri karena dia mengingatkan untuk jangan kembali lagi ke rumah sakit. Bisa bahaya katanya.

"Emang kenapa, Sus?" Aku penasaran.

"Berarti, Mbaknya sakit." Teman si Perawat itu ikut nimbrung. Ah, malu berkali-kali hari ini. Namun, aku tidak menyesal.

Sebelum benar-benar meninggalkan ruang poliklinik THT, aku sekali lagi melihat pintu ruangan Dokter Rusly. Andai saja tidak bertemu dengannya di sini, pasti aku bahagia. Duh, aku, kok, jadi melankolis begini. Salah siapa coba?

Benar kata Dokter Rusly tadi, aku butuh obat, tapi bukan CTLM. Aku perlu 'Perdokly' sehari tiga kali. Ya, Perdokly, perhatian Dokter Rusly.

Bersambung

#NA

CALON SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang