Part 2. Tolong Aku, Dok!Aku kembali untuk kunjungan kedua menemui Dokter Rusly. Wah, aku antusias. Meskipun tempo hari merasa dipermalukan. Namun, demi kesembuhan perasaan, eh penyakit ... aku rela balik ke rumah sakit.
Tidak seperti pertama kali datang, kali ini aku sudah tahu tahapan yang harus dijalani. Pengalaman telah mengajarkan aku menjadi lebih pintar meskipun hanya sedikit. Soalnya kadang aku lemot kalau sudah bete.
Setelah menaruh nomor antrian di meja perawat, aku duduk. Sudah terisi hampir sebagian kursi tunggu pasien. Memang setiap hari rumah sakit ini kebanjiran pengunjung yang sakit.
Tidak seperti pertama kali datang, aku sudah menyiapkan buku dan makanan ringan. Perutku tidak bisa diajak kompromi kalau menunggu berjam-jam. Meskipun ada kantin di lantai bawah. Namun, kalau pergi terlalu lama, takutnya malah dipanggil perawat untuk masuk ke ruang periksa. Bisa ambyar kalau tidak ada di tempat. Alamat dilewatkan dan susah buat negosiasi. Kan, salah diri sendiri.
Setelah menunggu sejam, namaku dipanggil. Aku menghampiri perawat yang bertugas mengecek pasien. Dia yang akan mengukur suhu, tekanan darah, dan berat badan. Dadaku berdebar-debar karena harus bertemu dengan Dokter Rusly untuk kedua kalinya.
"Wah, kok, Mbak, tensinya 130/90! Pusing enggak?"
"Enggak, Sus. Biasa aja."
"Tolong timbang badannya dulu, ya!" perintah perempuan yang memakai jilbab putih itu.
Aku langsung berdiri dan menimbang badan, 45 kg. Perawat itu menuliskan semua dataku di file map pasien. Aku disuruh menunggu lagi.
Sambil menarik napas, aku kembali ke kursi semula. Membuka buku untuk mengusir kebosanan. Namun, telingaku lebih fokus mendengar ibu-ibu berbicara dari A sampai Z di sebelahku.
Hanya setengah jam, aku bisa konsentrasi menatap deretan kata. Selebihnya mataku lelah. Mulutku tidak berhenti menguap. Suasana ruang tunggu rumah sakit tidak kondusif untuk membaca.
"Mbak, mau ke dokter siapa?' tanya perempuan di sebelah kananku. Dia mengenakan blus warna marun dengan jilbab senada motif bunga-bunga.
"Dokter Rusly."
"Wah, dokter favorit itu, ganteng. Aku pengen ke dia. Cuma sayangnya, dia banyak pasien. Terpaksa aku dipindah ke dokter lain," tuturnya dengan mata berbinar.
Ternyata, Dokter Rusly memang juaranya di hati pasien. Ya, terutama perempuan. Entah kalau laki-laki. Semacam sugesti mungkin biar cepat sembuh.
Aku dan perempuan itu saling berbincang. Namun, tidak saling menanyakan nama. Biasa, kalau di rumah sakit itu jadi sok akrab sama orang yang baru dikenal. Pasalnya, bete kalau diam menunggu sampai berjam-jam.
"Aina Pratista!"
"Iya." Aku segera bergegas memasukan buku ke tas dan berjalan menuju meja perawat untuk mengambil map. Setelah mengetuk pintu, lalu aku masuk dengan menutup perlahan. Sosok Dokter Rusly terlihat cool menatap ke arahku.
Aku menyodorkan map ke arahnya dan duduk. Suasana hening karena Dokter Rusly sedang membaca data yang ditulis perawat tadi. Jantungku berdegup kencang ketika melihat dia sedikit tertunduk.
"Kenapa tensinya tinggi?" tanyanya dengan tatapan sadis. Astaga, aku hampir tidak bisa bernapas. Seakan-akan oksigen di ruangan ini, Dokter Rusly yang menguasai.
"Enggak tahu, Dok," jawabku dengan perasaan tidak menentu. Aku berusaha menarik napas berulang kali. Namun, tetap dada terasa sesak.
"Ayo, naik ke ranjang!" perintah Dokter Rusly.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALON SUAMI
RomanceAina dihadapkan pada pilihan dua laki-laki yang menginginkannya menjadi istri. Salah satunya, bos tempatnya bekerja. Bagaimana dia memutuskan untuk memilih, jika keduanya bersahabat?