Secangkir kopi itu masih menungguku. Uapnya yang tampak mengepul membelai indera penciumanku sedari tadi. Wangi yang unik. Aku tahu dia menungguku, tetapi aku memutuskan mengabaikannya. Lebih banyak yang menarik untuk diperhatikan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai ini dan pandanganku berhenti di jendela kaca besar di sampingku. Sorot mataku mengembara jauh dan melihat seorang ibu dengan dua anaknya, terduduk di pinggir jalanan yang tampak panas menyengat disinari cahaya matahari yang terik. Mereka tampak kepayahan dan tubuhnya banjir keringat.
Tak lama, seorang bapak berbadan besar dan berkumis lebat lewat di depan mereka dan melirik sebentar ke arah ibu itu. Tidak iba? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku miris. Lalu, dia melanjutkan langkahnya. Kuambil ponselku dan kupotret mereka. Satu foto. Lalu, aku mengalihkan perhatianku pada secangkir kopi di depanku dan mulai menyeruputnya perlahan. Pahit, aku mengernyit.
Aku meletakkan cangkir kopiku di atas meja dan kembali mengedarkan pandanganku. Pandanganku berhenti ke arah seorang siswa SMA yang tampak frustasi sambil memegangi kepalanya. Di hadapannya ada layar laptop yang menyala dan setumpuk kertas yang di mataku hanya terlihat seperti setumpuk sampah. Mungkin dia sedang mengerjakan tugas karena di sekitarnya ada beberapa temannya yang tampak sibuk. Sibuk bercanda ria, berfoto, dan merias diri. Siswa SMA itu sibuk memperhatikan teman-temannya tanpa mereka peduli dengan keadaannya yang tampak lelah. Sesekali memang salah satu temannya tampak menengok ke arahnya, mungkin memastikan dia masih mengerjakan tugas mereka. Ah, seharusnya aku tahu, masa SMA adalah masa yang menentukan apakah kamu mau menjadi sebutir pasir atau sebutir mutiara.
Aku mengambil ponselku dan memotret mereka. Dua foto. Aku menyeruput kopiku lagi. Masih pahit, ternyata. Apa pelayan itu tidak menambahkan gula di kopiku?
Pandanganku sekarang berhenti ke arah rombongan yang baru masuk dan sedang memesan pada pelayan. Gaya mereka terlihat angkuh. Bahkan salah satu dari mereka sengaja berbicara dengan pelayan itu tentang betapa mahalnya jam tangan yang dia gunakan. Beberapa dari mereka juga bersikap sok akrab dengannya, tetapi pelayan itu hanya terdiam dan terus tersenyum. Aku memutar bola mataku, ada-ada saja. Aku merasa kasihan dengan pelayan itu, dia hanya tersenyum menanggapi ocehan mereka.Untunglah, akhirnya pesanan mereka selesai dan orang-orang berisik itu segera mencari tempat untuk menikmati hidangan mereka. Salah satu dari mereka sempat melirik ke arahku dengan tatapan agak angkuh dan dia memelototiku! Aku balas menatapnya sengit, seenaknya saja melirik orang dengan sinis. Menyebalkan.
Mereka duduk dan mulai makan dengan berantakan dan berisik. Sampai-sampai meja mereka tidak terlihat seperti meja. Lebih mirip tempat sampah datar. Kuambil ponselku dan diam-diam kupotret mereka. Ya, kali ini diam-diam karena aku tidak mau dituntut mereka atas dasar pelanggaran privasi dengan momotret tanpa ijin. Mereka tampak seperti orang-orang yang sok berkuasa.
Aku menyeruput kopiku lagi dan kali ini merasa kesal. Kopiku pahit sekali dan lama-kelamaan lidahku tidak bisa mentolerir rasa pahitnya lagi. Aku memutar pergelangan tanganku untuk mengecek waktu. Dengan resah aku menengok ke kiri dan kanan, menunggu dia datang. Dia agak terlambat tampaknya hari ini.
"Halo, Sereana. Sudah menunggu lama? Maaf aku terlambat, ada banyak hal tidak terduga yang harus diurus tadi, " Suara renyah seseorang terdengar di belakangku. Aku merasa seseorang menepuk pundakku, membuatku mendongak dan tersenyum. Dia akhirnya datang. Laki-laki dengan tinggi rata-rata, mengenakan kemeja hitam dengan kaus putih itu tersenyum lebar. Dengan antusias aku menepuk bangku di sebelahku, mengkodenya agar duduk di sana.
"Hei, Han, aku menemukan beberapa hal yang mengungkap keburukan orang-orang. Aku akan menyebarkannya agar banyak orang tahu ini dan menyindir mereka agar sadar. Kamu setuju? Ini aku tunjukkan foto-fotonya," Aku membuka galeri ponselku dan menunjukkan foto satu, dua, dan tiga. Dia ikut memerhatikan foto-foto itu. Raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Lihat ini. Dunia memang mengerikan, orang-orang sekarang tidak punya empati dan tata krama. Aku harus mempostingnya di media sosialku agar orang-orang tahu. Dengan begitu aku akan mencegah degradasi moral di negara kita. Bagaimana menurutmu?" Aku mengomporinya, berharap dia mendukungku.
Dia tersenyum dan menatapku, "Hei, apa yang membuatmu berpikir orang-orang ini bermaksud tidak baik? Kamu kan, tidak menyelidikinya lebih lanjut. Hati-hati dalam menyimpulkan sesuatu, Ser. Salah-salah bisa jadi bumerang. Apalagi di media sosial yang notabene penggunanya orang-orang dengan beragam karakter. Kita harus menfilter apa yang kita lihat, yang kita terima,"
"Hah? Coba, menurutmu, apalagi maksud bapak ini hanya melewati ibu dan anak-anak ini? Jelas sekali dia tidak peduli, apalagi yang harus diselidiki? Lalu, foto kedua ini, lihat. Siswa SMA itu dipaksa mengerjakan tugas sendiri sementara teman-temannya hanya menumpang nama. Itu keterlaluan. Lalu, yang terakhir, ini orang-orang di pojok sana, mereka angkuh sekali dan sok akrab pada pelayan itu. Berantakan dan berisik pula," Han lagi-lagi hanya tersenyum. Dia memintaku menunggu sebentar. Ada banyak hal tersembunyi di balik sebuah kejadian, katanya. Aku menurut saja dan melanjutkan melihat foto-foto itu.
Beberapa menit kemudian, Han menyenggol bahuku dan mengkode agar aku melihat keluar kaca jendela. Tampak seorang bapak berbadan besar bersusah payah membawa beberapa bungkusan yang kemudian aku tahu bahwa isinya adalah makanan dan beberapa perlengkapan untuk ibu dan anak di pinggir jalan itu. Aku tercekat dan menelan ludahku yang terasa kasar.
Aku menoleh ke arah siswa SMA dan teman-temannya itu. Mereka tampak bercanda ria bersama sambil melihat-lihat hasil jepretan di sebuah kamera. Samar-samar aku mendengar mereka membicarakan tentang drama, skenario, dan sutradara. Apakah mereka tadi sedang merekam drama dan siswa SMA yang tampak sibuk itu adalah sutradaranya? Aku baru ingat jika siswa SMA itu tadi memang tampak seperti sedang merekam dengan kamera di atas tripod miliknya. Tentu saja seorang sutradara hanya mengawasi jalannya drama, karena itu dia hanya diam melihat teman-temannya memainkan perannya masing-masing.
Selanjutnya, gerombolan yang berisik tadi. Hah? Apa aku tidak salah lihat? Pelayan yang tadi mereka ganggu sudah bergabung ke meja mereka, tetapi dia hanya tersenyum terus-menerus. Dan aku melihatnya menggunakan bahasa isyarat untuk berbicara dengan teman-temannya! Apa sebenarnya mereka memang sudah saling kenal dan sebenarnya pelayan itu bisu? Karena itu dia hanya tersenyum saat 'diganggu' oleh mereka. Tiba-tiba seberkas perasaan malu menghinggapi hatiku, membuatku menunduk sesaat karena tidak percaya. Dan aku lebih malu lagi ketika melihat mereka membereskan meja mereka sendiri yang amat sangat berantakan.
Aku menoleh ke arah Han yang ternyata juga sedang menatap ke arahku. Sepertinya dia tahu apa yang kupikirkan dan tersenyum simpul sementara aku tersenyum kecut.
"Lihat? Apa kubilang, jangan menyimpulkan sesuatu hanya dari sudut pandangmu. Untung kamu belum sempat mempostingnya. Kamu tahu, kan, kekuatan media sosial? Kamu mengirim sesuatu, sedetik kemudian bisa saja sudah sampai ke orang-orang di lain negara bahkan lain benua. Think before acting sepertinya cocok untukmu sekarang,"
"..." Aku menunduk, merasa malu. Perasaan bersalah menghinggapi, syukurlah Han bisa membuatku berpikir dengan kepala dingin lagi.
"Maaf," aku berkata lirih. Entah kenapa aku bisa gegabah. Mataku menunduk menatap isi cangkir kopi yang hampir kosong. Hei, ada butiran-butiran putih di dasarnya. Aku merasa tersengat, baru menyadari jika aku tadi meminta agar aku sendiri yang memberikan gula ke kopiku dan bodohnya aku lupa mengaduknya karena terlalu sibuk memotret. Pantas saja pahit.
"Hei, hei, kenapa kamu jadi mellow begini? Apa kata-kataku menyakiti hatimu? Tenang saja, kecerobohanmu kali ini mungkin karena sedang stres saja, jadi kamu tidak berpikir panjang. Lain kali, jika kamu seperti ini lagi, datang padaku agar aku bisa membantumu," Dia mengelus kepalaku pelan dan tertawa kecil. Aku merasa wajahku panas karena malu yang bertubi-tubi.
"Lebih baik kita pulang dulu. Urusan kita hari ini bisa ditunda besok atau lusa. Tampaknya mood-mu tidak baik. Ayo kita jalan-jalan saja," dia berdiri dan menarik lenganku menuju kasir.
Han mengeluarkan uang, hendak membayar pada kasir itu. Akan tetapi, kasir itu menolak pembayarannya.
"Sudah dibayar oleh rombongan yang tadi ada di sebelah sana,"
Aku dan Han tercengang. Rombongan yang berisik itu! Dunia ini memang tidak sesederhana yang terlihat mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netizen Kopi
Short StoryDunia ini memang aneh, ya Penuh dengan orang-orang sok tahu yang hanya melihat sesuatu dari kacamata mereka sendiri Terlalu serius mencari tahu tanpa sadar kacamata mereka sudah retak separuh (ONESHOT)