Awal

86 13 3
                                    

Aku Addara Syafa Ayunda, panggil saja Dara, umurku 15 tahun. Aku terlahir dari keluarga yang berada dan cukup dikenal oleh kalangan masyarakat karena orangtua dan kakak perempuanku sangat mudah bergaul. Sedangkan aku, aku tidak mudah bergaul karena menurutku, sendiri lebih baik dibandingkan banyak teman tapi tidak ada yang peduli padaku.

Dulu, aku mempunyai banyak teman tapi karena suatu hal aku jadi tak mudah bergaul. Semenjak itu aku lebih banyak diam dan tak mau bergabung dengan siapapun.

Jarang ada yang mau berteman denganku, karena wajahku tak semulus dan secantik mereka. Aku sering dibully oleh mereka yang dulunya teman dekatku, dan mereka akan menemaniku jika mereka butuh saja.

Aku sangat takut pada keramaian, maka dari itu aku tak bisa bergaul. Sudah sering aku dimarahi oleh Kakakku karena tak mau bergabung dengan yang lain. Aku juga ingin bergaul dan bergabung dengan mereka tapi keadaan yang tak mendukung.

Seperti saat ini, banyak saudara dari ayahku yang sedang berkunjung kerumah. Tapi aku memilih untuk berdiam dikamar karena aku tak nyaman dengan kebisingan. Sudah beberapa kali ibu memanggilku tapi tak kuhiraukan, aku hanya berpura-pura tidur saat ini.

Bruukk...

"Lo mau jadi apa nantinya? Kerjaan lo hanya diam dikamar. Sadar gak sih, lo itu udah besar bukan anak kecil lagi. Lo jangan malu-maluin ayah sama ibu, daritadi bibi sama paman nanyain lo. Dan lo.... Lo dengerin gue gak sih Dar?"bentak Kak Dira, kakakku satu-satunya.

"Gue denger kak.. "Lirihku.

" Kenapa lo masih diem? udah cepetan keluar!"

"Gu...gue gamau kak."tak mungkin aku keluar, kalo hatiku tak siap. Karena mereka pasti membandingkan ku dengan Kak Dira, dia cantik dan mempunyai tubuh ramping. Sedangkan aku...

Terdengar helaan nafas panjang Kak Dira.
"Sampai kapan lo mau jadi beban keluarga? Dengan sikap lo yang udik. Dan buat ayah sama ibu malu punya lo. Gue capek dengan sikap lo yang gak mau diatur kaya gini."suaranya meninggi.

"Lo pikir gue gak capek jadi bahan bullying disekolah, bahkan dirumah. Gaada yang peduli sama gue kak, lo cuman malu punya adik kaya gue tapi lo gak pernah peduli."Teriakku dengan nyaring.

Kak Dira keluar setelah mendengar ucapanku, tanpa rasa bersalah.

Tak terdengar kebisingan diluar saat Kak Dira masuk ke kamarku, mungkin mereka sedang berkumpul di halaman belakang. Tapi setelah Kak Dira keluar, ada suara langkah kaki menuju kamarku mungkin itu ibu.

"Dara keluar kamu!" Ternyata itu suara ayah.

"Dara sampai kapan kamu mau disini terus? Diluar lagi ada saudaramu, cepat keluar dan temui mereka." Perintahnya dengan tegas.

Aku pun memutuskan untuk keluar dan menemui mereka.

"Eh Dara, kemana aja kamu ini?"tanya pamanku dengan senyum ramah. Ya, pamanku memang baik padaku dibandingkan dengan istrinya.

"Ada kok paman, maaf ya Dara tadi abis beres-beres dulu."ujarku dengan canggung.

"Gak keluar juga gapapa kok, gue males lihat lo. Dulu si iya seneng soalnya lo lucu terus imut, eh sekarang pas ketemu lagi udah kek ibu-ibu hahaaa.." Ucap Dion sepupuku, dengan nada mengejek.

Jujur saja, rasanya sakit tapi aku harus bisa menyembunyikannya.

Kulihat ayah dan ibuku, mereka tak ada niatan sedikitpun untuk membelaku.

Sudah biasa.pikirku.

Setiap ada saudara dari ayah maupun ibu, mereka selalu memperlakukanku seperti itu seolah aku hanyalah sampah keluarga. Termasuk kakek dan nenekku.

Melihat kedatanganku, bibi memandangku dengan jijik. Aku mendekat bermaksud untuk bersalaman dengannya karena bagaimanapun, aku harus menghargainya. Tapi saat aku mengulurkan tangan dia malah menepis tanganku.

Hmm yasudahlah.

Semuanya beranjak ke ruang makan, untuk makan siang. Aku pun mengikuti mereka. Barusaja aku duduk,

"Emm, Dara bisa kan kalo makannya didapur? Takutnya, saya gak nafsu makan lihat kamu disini."Bibi membuka suara, berbicara dengan lantang tanpa memperdulikan perasaanku.

Saat aku beranjak,

"Iya, lo didapur aja deh! Gue juga enek lihat lo disini. Iya kan kak?"tanya Dion pada Kak Dira.

Kak Dira mengangguk, menyetujui ucapan Dion.
"I.. Iya lo didapur aja sana!" Suruhnya padaku.

Saat paman akan membuka suara. Dengan cepat, Bibi menyela.

"Udah Pak, makan aja gak usah ngebela dia."saat Mbok Surti membawa air putih dari dapur, Bibi kembali berucap."eh Mbok, makan bareng aja disini sama kita."

Mbok Surti dengan cepat menggelengkan kepala,"Gak usah Bu, biar saya didapur saja."

Bibi pun meninggikan suaranya,
"Mbok, saya itu adik kandung dari majikanmu, turuti saya atau Kakak saya pecat Mbok? Iya kan Mas?"tanyanya pada ayahku.

Tentu saja ayah mengangguk, Bibi itu adik satu-satunya ayahku.

Ibu? dia hanya diam tanpa membelaku.

Aku merasakan sakit pada bagian kiri pinggang ku. Aku berlari kekamar untuk mencari obat yang telah lama tak kumakan. Setelah itu, aku merebahkan diri pada ranjang, aku memeluk bantal kesayanganku yang selama ini menjadi saksi saat aku menangis.

Dalam keadaan seperti ini, terkadang aku membutuhkan orang untuk mensupportku. Tapi setidaknya aku masih bisa mensupport diri sendiri.

Ya, ketika tak ada orang yang peduli terhadap kita, cobalah untuk mempedulikan diri sendiri.

Oh ya, sebenarnya aku mempunyai kembaran, namun saat kami berumur 10 tahun. Kakak kembarku Anggara Alfa Reza, meninggal. Disaat itulah mereka membenciku, mereka selalu bilang 'harusnya Dara yang meninggal bukan Gara'.

Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang ditelingaku.

Salahkah Aku yang Tak Mau Bergaul? [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang