Mar

57 1 0
                                    


"Even it's mylast, at least I found you. It feels new"

Sore ini terasa indah, padahal aku hanya duduk sendirian di taman yang dikelilingi bangunan berwarna senada,rumput hijau, dan awan yang bisa jelas kulihat berwarna biru. Sore ini juga terasa tenang, mungkin karena aku yang terbiasa dikelilingi orang-orang yang terburu menghabiskan jam kerja sedangkan sekarang hanya ada aku di taman yang tidak terlalu besar ini. Belum pernah aku merasakan sore seperti ini. Atau memang aku tidak pernah merasakan hal-hal sederhana yang membuatku senang selama ini?

Aku menunduk dan memejamkan mata, berusaha bertanya kepada diriku setelah ini akan melakukan apa. Setelah melewati 35 tahun sepertinya bukan waktu yang sebentar, tapi kenapa bagiku tak terasa lama? Entahlah, mungkin karena waktu tak terlalu penting bagiku sekarang, yang pasti aku tahu kalau waktu selalu memiliki akhir. Pilihan memang menjadi semakin sulit ketika waktu semakin sempit.

Aku jadi teringat dengan diriku waktu masih berumur 17. Saat itu aku selalu berkata bahwa aku akan menjadi Most Eligible Bachelor of The Year paling tidak di umur 35 tahun. Bukankah harusnya aku senang karena gelar itu sudah kusandang sejak berumur 27? Yah, harusnya memang begitu. Tapi apakah selama ini yang aku lakukan sudah benar?Apakah semua pencapaianku itu akan membantu memberiku jawaban tersulit? Aku mencoba melonggarkan dasiku yang terasa mencekik.

"Punya rokok?"tanya seorang perempuan berwajah pucat yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahku. Aku seketika membuka mata dan memindainya perlahan.

"Eh, lo Zachary? Zachary si Mentri?"timpalnya lagi dengan ekspresi yang terlihat aneh.

"Ya" jawabku singkat karena bingung harus berkata apa selain menjawab pertanyaan terakhirnya.

"Ada kunjungan ya, tapi kok sepi?Atau lagi jengukin seseorang?"tanya perempuan itu santai.

"Eh gue bolehkan gak usah formal ngomongnya? Lagian kita seumuran dan kayanya tebakan gue bener kalo lo gak lagi tugaskan?" tanya perempuan dengan rambut hitam ikal menjuntai itu lagi. Cantik meskipun wajahnya pucat.

"Kayanya gue udah ganggu..."

"Iya, silahkan saja. Saya disini tidak menjenguk siapa-siapa."ujarku sembari mengangsurkan kotak rokok beserta pemantiknya saat sepertinya dia akan beranjak. Perempuan itu duduk kembali dan mengamati kotak rokok dan pemantik berwarna hitam yang kuberikan.

"Dupont Picasso? Ya, lebih bagus daripada dugaan gue yang mikir lo gak ngerokok. Pejabatkan sukanya hidup sok sehat,oops."

"Gue dulu juga punya. Tapi sekarang udah gue jual buat datang ke tempat sialan ini. Hmm,orang kaya lo pernah gak ya, harus jual barang buat hidup? Haha, enggak mungkin kayanya. Keluarga lo kaya raya, dan sekarang lo sukses. Yap, orang kaya dan kehidupan super privilegenya. Eh gue gak iri ya, cuma sebel aja sama temen-temen lo yang suka sok sukses karena usaha sendiri, padahalkan itu juga karena mereka punya banyak privilege yang ngedukung impian mereka.Tapi tenang, sampai detik ini gue belum sebel sama lo kok, Zachary."ujarnya sambil terus membolak-balikkan kotak rokok milikku.

Aku diam karena lebih memilih mengamati perempuan di sampingku itu. Dia ternyata memiliki mata berwarna hazel ketika pantulan sinar mengarah ke wajahnya, jadi terlihat jelas. Ia menyampirkan seluruh rambutnya ke bagian kanan sehingga aku bebas mengamati leher pucatnya. Kemudian dia mulai menyalakan rokoknya dan kami hanya saling memandang. Lalu dia berpaling dan menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan mata memandang langit yang tadi sempat aku kagumi. Aku pun menikmati memandang perempuan asing yang entah mengapa terasa berbeda dengan kebanyakan orang, sampai kemudian rokoknya habis lalu ia berdiri.

"Thanks."ujarnya singkat sambil mengangsurkan kotak rokok dan pemantik milikku.

"Siapa nama kamu?" tanyaku seketika. Dia terdiam beberapa detik.

MarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang