Kunjungan Ke Museum

64 8 10
                                    

"Apa menariknya kunjungan ke museum biologi?" tanya Rafael dengan kesal. "Aku baru membeli beberapa gim baru kemarin yang belum sempat kucoba!"

"Pelankan suaramu!" sahutku. Mendengar keluhan Rafael sementara ibu-ibu petugas museum tersenyum ikhlas saat teman-temanku antusias bertanya benar-benar membuatku merasa tidak nyaman.

"Hufft."

Aku sendiri sebenarnya juga tidak terlalu suka keramaian, tetapi Rafael adalah tipikal orang aneh penyendiri. Tidak heran jika dia seperti itu. Aku dapat memahaminya. Jujur saja, berteman dengan orang seperti ini terkadang memang memalukan. Walaupun ia sebenarnya orang yang peduli pada teman sekelasnya, seringkali ia hanya mau main denganku. Atau lebih tepatnya, hanya akulah yang mau main dengannya. Entahlah.

"Mungkin kita sebaiknya ke bagian itu, relatif sepi," usulku.

"Aku ikut."

Bagian yang kami tuju ternyata adalah spesimen fosil manusia zaman dahulu. Katanya, fosil ini adalah manusia tertua yang memiliki DNA mirip dengan DNA para metamanusia modern. Atau bisa dibilang, metamanusia tertua yang diketahui ilmuwan. Jujur saja, biologi atau sejarah tidak terlalu menarik bagiku. Tapi sepertinya ini pengecualian, lagi-lagi karena mimpiku semasa kecil untuk menjadi metamanusia.

"Rafael, boleh pinjam kameramu sebentar? Aku ingin mengambil beberapa foto. Aku ingin informasi yang tertulis di sini terbaca dengan jelas. Lagipula, kita perlu membuat laporan setelah kunjungan ke museum ini, kan?"

Sesuai dugaan, hasil foto kamera terlihat sangat jernih. Kata per kata, huruf per huruf, terbaca dengan jelas.

"Ayo ke spesimen yang lai-"

Pandanganku tak sengaja bertemu dengan sepasang mata yang berbinar di sampingku. Seorang gadis dengan seragam berbeda sedang mengamati spesimen dengan penuh minat. Rambut hitamnya yang berkilau tergerai lembut, kontras dengan sorot matanya yang tajam. Buku-buku tebal dan pulpen yang ia genggam seakan menjadi perlambang bahwa ia adalah bidadari di luar dan dalam. Tubuh rampingnya bergerak lincah saat ia mencatat sesuatu di buku catatannya. Jantungku berdebar tak terkendali. Ia seperti bunga langka yang baru saja mekar, sempurna dalam segala hal. Aku merasa kecil dan tak berarti di hadapannya. Tapi apakah aku tidak boleh memandanginya lebih lama lagi?

Aku bolak-balik mencuri pandang ke arahnya. Aku harus segera mengakhiri ini; aku tidak ingin dianggap aneh. Cukup Rafael saja yang mendapat predikat itu. Tapi akankah kesempatan melihat bidadari ini terjadi lagi? Aku bahkan tidak tahu seragam sekolah mana yang dia kenakan, apalagi namanya jika aku ingin mencarinya di media sosial. Haruskah aku mulai bicara padanya? Oh Tuhan, jantungku, bisakah kau tenang sebentar saja untuk momen seperti ini?

Bagaikan angin malam dingin yang tiba-tiba datang, pandangan kami bertemu. Ini gawat; aku harus segera berpaling, tapi siapa yang bisa berpaling dari wajah yang sempurna?

Sebelum sempat bereaksi, dunia seketika berubah menjadi kanvas hitam. Gelap gulita seperti dalam langit malam tanpa bintang, sunyi senyap kecuali detak jantungku yang bergemuruh di telinga.

"Mati lampu?" suara Rafael terdengar gemetar.

"Sepertinya begitu," jawabku, mataku berusaha menangkap setiap cahaya sekecil apapun.

Gelap sekali. Kucoba menyalakan layar kamera yang masih kugenggam untuk mendapatkan sedikit cahaya. Namun entah kenapa, di saat seperti ini, kamera ini malah rusak. Tidak ada apa pun yang muncul di layar. Tombol hidup kamera telah kutekan beberapa kali, tetapi tidak ada secercah cahaya pun.

"Rafael, sepertinya baterai kameramu habis. Maaf."

"Itu baru aku isi penuh barusan!" Rafael mengumpat pelan.

Sial, kenapa kamera mahal ini malah rusak saat aku yang memegangnya?

"Tapi ini aneh. Ponselku juga tiba-tiba mati, padahal saat kusentuh masih ada suaranya," sahut Rafael.

Aku ambil ponsel dari saku celanaku, dan ternyata hal yang sama juga terjadi pada ponselku. Ini benar-benar aneh. Gelapnya total, seakan kami dikurung di kotak tanpa jendela.

Seketika terdengar jeritan ketakutan dan panik dari pengunjung lain.

"Ini tidak biasa!" terdengar suara perempuan di dekatku. Apakah ini suara bidadari itu? Sepertinya begitu, mengingat hanya kami bertiga yang berada di dekat spesimen ini. 

Sial, kenapa di saat seperti ini aku masih sempat-sempatnya memikirkan orang yang bahkan tidak aku kenal?

"Ini benar-benar berbahaya!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Metamanusia di Sekolah BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang