dua

7 2 0
                                    

12 tahun kemudian

"Joe, kakak pulang." 

"Aku disini Ka," teriak Joe dari perpustakaan rumahnya. 

Max langsung pergi menghampiri adiknya yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya di perpustakaan. 

"Mama kemana Jo?" 

"Ada tetangga baru di sebelah rumah, jadi mama pergi menyapa sambil bawa makanan, kebetulan tetangganya dari negara yang sama dengan mama."

"Indonesia?" 

Joe hanya mengangguk lalu beranjak dari kursi tempatnya mengerjakan tugas sekolahnya dan bergabung duduk di sofa perpustakaan bersama Max. Ia menyandarkan kepalanya di paha kakaknya seraya memeluk perut rata kakaknya itu.

"Ka Max kenapa lama sekali pulangnya? Jo bosen di rumah gaada teman untuk diajak main, mama selalu sibuk di dapur dan menyuruh Jo belajar terus," gerutu Joe sambil membenamkan wajahnya di perut kakaknya. 

Max terkekeh sambil mengelus lembut rambut adiknya yang selalu manja kepadanya.

"Kakak tadi ada kerja kelompok dadakan, maaf ya."

"Dimaafkan asal Ka Max beliin Jo es krim."

"Hm oke, ayo."

Joe langsung berdiri dengan wajah sumringah sambil menggandeng tangan kakaknya dengan antusias. Max hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah Joe yang sangat senang dibelikan es krim.

***
"Jangan banyak-banyak Jo, nanti mama bisa marah sama kakak," tegur Max saat melihat Joe yang sudah memasukkan lebih dari lima macam es krim ke dalam keranjang belanjaannya.

"Oke, tapi Jo mau beli cokelat juga ya," kata Joe sambil menyengir ke arah Max.

"Perjanjiannya hanya es krim Jo, nanti gigi kamu bisa bolong kalau makan terlalu banyak yang manis — tidak boleh."

Joe mengerucutkan bibirnya dan berjalan cepat dengan menghentak-hentakkan kakinya menuju meja kasir, meninggalkan Max yang sekali lagi hanya dapat menggelengkan kepala gemas terhadap tingkah adiknya yang kembali marah kepadanya, tetapi tetap menuruti kata-katanya.

"Ouch!" pekik seorang lelaki saat Joe tidak sengaja menginjak kakinya.

Max langsung menghampiri adiknya yang sudah panik karena menginjak kaki seorang lelaki dan membuat orang tersebut membungkuk memegangi kakinya yang kesakitan.

"Vergib meiner Schwester, dass sie es versehentlich getan hat,"(1) kata Max kepada orang tersebut dan menjewer telinga Joe.

"Joevanca, sudah kakak bilang kalau jalan gunakan mata kamu, lihatkan apa yang ter-" 

"Kalian orang Indonesia?" tanya lelaki tadi memotong omelan Max.

"Eh? Ah iya, ibu kami orang Indonesia dan kami menggunakan bahasa tersebut sehari-hari, sekali lagi maafkan adikku yang ceroboh."

"Kebetulan sekali, aku baru pindah kesini dari Indonesia jadi belum terlalu fasih berbahasa German. Oh dan jangan khawatir, aku tidak terluka, hanya nyeri sesaat," balas lelaki tersebut tersenyum dan meringis saat melihat telinga gadis yang tadi menginjaknya memerah.

"Ah, jadi kamu tetangga baru yang diceritakan adikku tadi," kata Max kepada dirinya sendiri dan kembali menatap Joe, "tetap saja adikku setidaknya harus mengucapkan permintaan maaf dengan mulutnya sendiri, bukan begitu Joevanca?" 

"Hm, maaf aku tidak sengaja," ucap Joe sambil menunduk menatap kakinya, ia takut kepada kakaknya yang sudah memanggil nama panjangnya—pertanda buruk.

"Hei, tidak masalah jangan terlalu diambil hati," jawab lelaki tersebut terkekeh sambil mengusap rambut Joe, "aku belum memperkenalkan diri, perkenalkan aku Sebastian Gevariel Maheswara, just call me Tian," lanjut lelaki tersebut sambil mengulurkan tangan.

"Aku Maximilian Kenneth Weber, Max, dan ini adikku, Joevanca Amarise Weber," jawab Max dan menjabat tangan Tian.

"Dan aku memanggilmu?" tanya Tian kepada gadis kecil yang masih tidak berani mengangkat kepalanya.

"Jo jawab, jangan sampai aku tid-"

"Joe, just call me Joe," potong Joe cepat karena tidak mau mendengar ancaman kakaknya.

"Nice to meet both of you. Can we be friends? I'm new here so don't have any friends yet."

"Yes, of course," balas Max tersenyum dan mereka mulai berbincang mengenai banyak hal di perjalanan dari supermarket menuju rumah mereka yang bersebelahan. Joe masih enggan membuka mulutnya, ia hanya sesekali menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Tian kepadanya.

"Jadi kamu seumuran denganku? Apa kamu sudah mendaftar sekolah?" tanya Max saat mereka saling menanyakan umur.

"Ya, Heidelberg Private School Center."

"Sepertinya nanti kita bisa berangkat bersama karena aku juga bersekolah disana," balas Max sambil merangkul pundak Tian.

Mereka tertawa dan menemukan kedua ibu mereka yang sedang tertawa di depan rumah Tian.

"Mama!" teriak Joe seraya berlari ke arah ibunya, moodnya sedikit membaik saat bertemu dengan mamanya dan hal tersebut tidak lepas dari perhatian Tian. Ia sedikit heran dengan tingkah Joe yang dapat berubah dengan cepat—unexpected.

"Jangan khawatir, Jo memang begitu, sebenarnya dia orang yang cerewet," jelas Max saat melihat raut bingung di wajah Tian.

"Jo, Max? Kalian darimana?" tanya Tari melihat kedua anaknya yang datang bukan dari arah rumah.

"Supermarket," jawab Max menghampiri mamanya dan mencium pipinya.

"Anak kamu Kay?" tanya Tari saat melihat lelaki yang tadi berjalan bersama kedua anaknya mencium tangan Kayshilla, salam anak kepada orang tua khas Indonesia yang masih Tari ingat.

"Iya. Tian ayo salam dulu sama Tante Tari."

"Sebastian Gevariel Maheswara, panggil saja Tian, tante," ucap Tian sambil mencium tangan Tari.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Tari kepada kedua anaknya dan diangguki oleh keduanya.

"Tadi gak sengaja papasan di supermarket," jawab Max dan sekarang Max yang memperkenalkan dirinya dan Joe kepada Kayshilla.

"Tian nanti sering-sering main ke rumah tante ya, main sama Max dan Jo," pinta Tari seraya menepuk pundak Tian.

"Iya tante."

"Yasudah kalau begitu tante pulang dulu ya, jangan lupa sering main loh ya, tante tunggu. Aku duluan ya Kay, kalau ada apa-apa jangan sungkan ke rumahku saja, toh kita tetanggaan," pamit Tari sambil menggandeng tangan Joe dan berjalan pergi.

"Dadah Ka Tian!" teriak Joe membalikan badannya dan melambaikan tangan sambil terus berjalan ke depan. 

Tian yang heran melihat tingkah Joe yang sejak tadi hanya berbicara sedikit ikut melambaikan tangan sambil tersenyum.

***

(1) Vergib meiner Schwester, dass sie es versehentlich getan hat = Maafkan adikku karena tidak sengaja melakukannya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang