Bocah Tanpa Mimpi
( Terinspirasi-berdasarkan sajak penulis yang berjudul: Percakapan Pemulung dengan Ayahnya)
" Cepatlah tidur, besok kita harus bangun pagi " Kata pak Ilham pada anaknya
Tanpa adanya komentar apapun, anak lelakinya segera menggelar sehelai tikar lusuh dan langsung merebahkan tubuhnya dengan berselimutkan kain sarung yang sudah robek-robek.
Sedangkan pak Ilham melanjutkan pekerjaannya membereskan-mengikat kardus-kardus bekas untuk dijual esok pagi, saking banyaknya barang rongsokan yang harus dia rapikan, terkadang dia lupa waktu-hingga larut malam barulah dia bisa istirahat. Dan semua itu dilakukannya atas nama kebutuhan meniti titian kehidupan.
Batuk-batuk kecil yang kontinyu mengiringi pekerjaannya, sesekali dia menghentikan aktifitasnya sekedar untuk menguap dan meneguk segelas kopi. Tanpa terasa jarum jam yang tergeletak dipojok ruangan telah mengarah ke angka setengah dua dini hari, pekerjaannyapun akhirnya terselesaikan dan pak Ilham menggolekkan tubuhnya disebelah anak lelakinya yang telah terlelap-pules.
Malam, letih, tidur, lantas krisis moneter yang pernah melanda Asia juga bangsa ini yang bermula sekitar beberapa tahun silam; pada pertengahan 1997-? untuk nusantaraku, dan situasi sosial-politik menjelang 1998 tengah gamang. Puncak dari kondisi itu kian merusuh dengan meletupnya serangkaian tragedi Mei. Sementara dampak berantai yang ditimbulkannya berindikasi dan memang telah menjadi fakta-sebuah konsekwensi timbulnya krisis multi dimensi hingga sekarang-sampai kapan?, maka aneka kerusuhan dan anjloknya nilai mata uang yang dibarengi dengan naiknya harga-harga sangat rentan pada lahir dan meluasnya kemiskinan, kriminalitas bahkan berujung pembunuhan serta pemerkosaan-keos.
Reformasipun menancapkan gaungnya, namun hingga sekarang wajah perubahan dan warga miskin bangsa ini masih menjadi potret diri yang bisu, sunyi, dan masih berdiri dipesimpangan jalan. Sampainya detik ini ketika krisis keuangan global tengah kembali berdampak hampir kesemua Negara, dan si gemah ripah lohjinawi bangsaku masih menjadi anak sebatang kara dari dulu.-sepertinya?
Dan adalah pak Ilham dan anak lelakinya yang hanya tamatan Sekolah Dasar, menjadi salah satu realitas kaum bawah negeri ini, dan layaknya kelas tidak beruntung maka tidak ada yang special dari kehidupan mereka kecuali kesusahan itu sendiri. Kebutuhan sandang, pangan dan papan jelas jauh dari mencukupi.
Pekerjaan pak Ilham hanya seorang pemulung, ditubuhnya bersarang penyakit paru-paru yang telah diidapnya selama bertahun-tahun. Dari itu tidaklah mengherankan jika badanya kurus kering, batuknyapun sering memuntahkan darah.
Setiap hari dari pagi hingga larut malam diapun hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi dirinya dan anak semata wayangnya-seorang lelaki. Terkadang layaknya sebagai manusia biasa, rasa kesal, skeptis, marah pada keadaan kerap mewarnai keteguhan hati pak Ilham. Keprihatinannya belum berhenti sampai disitu, tangan kanannya buntung-cacat dari lahir, dan istrinya baru seminggu meninggal karena demam berdarah. Maka dari itu pak Ilham telah belajar mengakrabkan diri dengan setiap penderitaan yang mendera hidupnya, diapun telah terbiasa melakukan segala aktifitas cukup dengan tangan kiri.
Namun jangan sekali-kali beranggapan bahwa belajar bijaksana serta mencemerlangkan pikiran hanya milik orang-orang kelas atas, itu salah besar. Sebab proses pembelajaran untuk menjadi bijaksana dan bersahaja tidak hanya harus didapat disekolah formal, tidak harus diperguruan tinggi dan tidak juga diluar negeri. Seperti kebijaksanaan sikap yang tercermin dari ketabahan para nabi dan sahabatnya yang diuji dengan kemiskinan, dan pandangan hidup ikhlas plus kerja keras orang-orang susah. Hal itu telah menegaskan satu fakta dari sisi lain sebuah keterbatasan, yang tak didapat dari menipu rakyat. Inilah wejangan seorang pribadi tua; pak Ilham untuk buah hatinya.
Pak Ilham dengan anak lelakinya, mereka berdua tinggal disebuah gubuk sempit-sederhana diantara rumah-rumah kumuh disekitar tempat pembuangan akhir sampah-TPA yang beralamat di sudut ibu kota-dekat Jakarta.
" Bangun pak, sudah subuh " Kata anak lelakinya membangunkan pak Ilham.
Pak Ilham bergegas membuka mata, bangun dari tidur kemudian berjalan keluar rumah. Dia hendak cuci muka atau mengambil air wudlu diember kecil warna hitam, yang terletak dibelakang gubuknya. Sementara itu anak lelakinya membereskan ruangan sempit yang tanpa sofa, tanpa perabot mewah lainnya.
Pak Ilham kembali masuk rumah, tangannya yang hanya sebelah meraih sehelai sajadah kusam dari sudut ruangan. Digelarnya sajadah itu, dengan khidmat dia melaksanakan ibadah sholat-kewajibannya sebagai seorang muslim.
Selesai menunaikan rukun Islam yang kedua, pak Ilham beserta anak lelakinya siap untuk memulai ikhtiar-mengais rejeki dalam kompleknya kehidupan. Tak lupa kebiasaan mereka membaca sebelum beraktifitas dilakukan bersama-sama dibawah cahaya lampu 5watt, minimal tiga lembar mengaji Al-Qur'an, lantas dilanjutkan dengan membaca Koran-edisi dua hari yang lalu hasil pungutan ditong sampah atau meminta dari tetangga yang terkadang halamannyapun tidak lengkap. Wajar saja, sebab bagi mereka berdua membeli beras lebih penting ketimbang berlangganan surat kabar tiap hari. Bagi merekapun tidak ada kata kadaluarsa dalam berita, selama belum terbaca berarti itu masih 'baru'. Tetap segar sebagai bahan informasi.
Secara tiba-tiba suara minta tolong membahana-riuh rendah dari luar rumah.
" Pak Ilham cepat keluar pak, ada kebakaran " Kata seorang warga sambil mengetuk pintu dengan sekeras-kerasnya.
Pak Ilham dan anak lelakinya seketika kaget, mereka secepat-cepatnya bereaksi. Bergegas membuka pintu dan keluar rumah.
" Dimana? " Tanya pak Ilham " Tempat tinggal siapa yang kebakaran? "
" Dikomplek sebelah " Jawab seorang warga dengan ngos-ngosan " Toko sama rumahnya ko Apin"
" Kamu beritahu warga lain " Suruh pak Ilham pada anak lelakinya " Kita kesana sekarang " Tegas pak Ilham mengajak warga yang memberitahunya.
Anak lelaki pak Ilham langsung berangkat memberitahu warga yang lainnya, sedangkan pak Ilham bersama seorang tetangganya tadi, segera berlari menuju tempat kejadian-kebakaran. Jarak dari rumahnya ke tempat kejadian tidak terlalu jauh, hanya dibatasi tembok dan jalan raya yang memisahkan antara satu pemukiman dengan pemukiman lain. Kobaran api kian besar dan telah merembet kebangunan-bangunan yang berada disebelahnya. Para penghuni yang rumahnya kebakaran seketika berhamburan keluar, termasuk ko Apin beserta istri dan kedua anaknya yang masih kecil.
Pemadam kebakaran sudah dihubungi oleh salah seorang warga, mungkin mereka masih diperjalanan, dan teriakan minta tolong silih berganti bersamaan dengan berdatangannya warga. Sambil menunggu tim pemadam kebakaran datang, upaya pemadamanpun dilakukan masyarakat semampunya dengan menyiramkan air menggunakan ember, tetapi minimnya peralatan tak mampu mengurangi kobaran api.
Disamping itu jeritan panik istri ko Apin membabi-buta, ia menangis sambil memegangi kedua anaknya. Mungkin ia tidak kuasa melihat bencana yang sedang dihadapinya.
" Tolong...tolong! " Teriak ko Apin " Didalam masih ada orang "
Mendengar kalimat itu, semua warga ikut panik, bingung dan kalang-kabut. Bukan tidak mau membantu, akan tetapi menyaksikan lidah-lidah api yang terus membesar, menjadikan mereka mengurungkan niat untuk menolong-masuk kerumah yang tengah terbakar. Nekad-konyol atau cari mati pikir mereka.
" Sabar ci " Kata seorang perempuan berjilbab kepada ci Marta sambil memeluknya
" Ibu...ibu saya masih didalam " Kata ci Marta penuh cemas diiringi isak tangis
" Sebentar lagi pemadam kebakaran datang " Tegas perempuan tadi " Kita berdoa saja semoga ibu ci Marta bisa diselamatkan "
Ko Apin hilir mudik kesana-kemari, dia berusaha mencari bantuan kepada setiap orang untuk menyelamatkan mertuanya yang terjebak kobaran api didalam rumahnya. Dan tanpa pikir panjang, pak Ilham memberanikan diri-berlari memasuki rumah ko Apin yang sedang dilahap jago merah.
" Pak, jangan pa " Teriak anak lelakinya seraya melarang.
Tetapi pak Ilham tak menghiraukan ucapan anaknya, masyarakat lain pun ikut mengkhawatirkannya. Salah satu dari mereka ada yang angkat bicara dengan nada sinis.
" Sok jadi pahlawan, sudah bosan hidup kali "
Mendengar kalimat itu ko Apin dengan ci Marta tak bereaksi apa-apa, masih panik, sedih.
Sudah hampir setengah jam pak Ilham belum jua keluar, anak lelakinya tiada kuasa menahan kecemasannya. Diapun berlari seakan berusaha menyelamatkan bapaknya dari kobaran api, ketika dia mau melangkahkan kakinya, ko Apin menarik tangan dan memeluknya.
" Jangan nak " Kata ko Apin " Jangan "
Anak lelaki pak Ilham tidak mempedulikannya, dia tetap memberontak, mencoba melepaskan cengkraman ko Apin. Namun tenaga seorang anak yang usianya baru tiga belas tahun tetap tak dapat mengalahkan kekuatan orang yang lebih dewasa.
Anak lelaki pak Ilham tak berdaya, dalam dekapan erat ko Apin dia hanya mampu meraung-memanggil-manggil bapaknya sembari menyaksikan kobaran api yang terus, terus dan terus membara, Yang mungkin saja sudah menghanguskan tubuh bapaknya dan mertua dari ko Apin-ibunya ci Marta.
Sedu-sedan tangisan anak lelaki pak Ilham kian dalam, sejalan dengan masyarakat yang masih sibuk memadamkan api dan bersedih ditengah tegangnya keadaan. Dari jauh suara sirine mobil pemadam kebakaran semakin jelas terdengar, tibanya dilokasi. Para petugas pemadam kebakaran dengan sigap mengatur posisi dan segera menyemprotkan air kearah titik-titik api.
Tak lama dari balik reruntuhan terlihat pak Ilham memapah ci Ecin-ibu dari ci Marta dan mertua dari ko Apin.
" Bapak... " Teriak anak lelaki pak Ilham
" Ibu... " Teriak ci Marta
Mereka serentak menghampiri-menyambut pak Ilham dan ci Ecin, dua orang petugas pemadam kebakaran dan beberapa wargapun ikut membantu-mejauhkan mereka dari daerah kobaran api. Setelah mereka berada didaerah aman dari tempat kebakaran, barulah warga lain ikut mendekati mereka, ci Marta segera memeluk ibunya.
" Mih, mamih tidak apa-apa? " Tanya ci Marta disertai isak tangis
" Tidak apa-apa " Jawab ci Ecin " Untung saja ada orang cacat itu yang baik hati "
Dan anak lelaki pak Ilham merangkul bapaknya.
" Puji Tuhan!, puji Tuhan! " Kata ko Apin sambil menciumi kalung Salibnya " Terima kasih Pak Ilham " Tukas ko Apin sambil berjalan mendekatinya.
Pak Ilham menjawabnya hanya cukup dengan anggukan kepala, dan sesimpul senyuman. Tangannya yang memang sebelah, memegangi pundaknya. Raut mukanya terlihat meringis menahan rasa sakit, pakaiannya dipenuhi noda hitam, juga luka bakar dibeberapa bagian tubuhnya yang diperolehnya saat melindungi ci Ecin dari reruntuhan kayu.
Berselang dengan kobaran api yang perlahan-lahan padam, pak Ilham akhirnya pingsan.
" Pak, bapak! " Teriak anak lelakinya, dan tangan dia menggerak-gerakan tubuhnya pak Ilham.
" Bantu dia " Tegas ko Apin " Bawa kerumah sakit "
Warga yang berada didekat mereka, seketika membantu. Ada yang mengangkatnya, sementara yang lain menghentikan angkutan umum yang sedang melintas dijalan raya-tak jauh dari tempat kebakaran. Pak Ilham dinaikan ke dalam mobil. Anak lelakinya, bersama ko Apin, serta satu orang warga ikut menyertai, selama diperjalanan anak lelaki pak Ilham tak henti-henti menangisi bapaknya.
" Sabar ya nak " Ko Apin menenangkan " Kamu tidak perlu khawatir, bapakmu pasti sehat kembali. Jangan takut, semua biaya pengobatan ko Apin yang tanggung, sampai bapakmu sembuh seratus persen "
Anak lelaki pak Ilham mengiyakan, dan sedu-sedanya tetap terdengar.
YOU ARE READING
Bocah Tanpa Mimpi
Short StoryImpian Pak Ilham adalah mencium Ka'bah, sementara Anak Lelakinya tidak mempunyai impian, karena impian dia adalah mewujudkan cita-cita Ayahnya.