16. an Instinct

128 32 38
                                    

"Hotteok deh. Gimana? Boba? Seafood? Baffle dekat stasiun? Sebutin, mau yang mana?" tanya Mark yang tengah menyetir sesekali melihat ke sisi jalan, kalau-kalau ada gerai yang menjual menu-menu tersebut.

"Nggak, Kak. Dari tadi loh udah aku bilangin. Lagian kita baru aja sarapan, masih kenyang," jawab Sena.

"Iya sih, tapi aku kan pengen ngerasain jadi suami yang istrinya ngidam gitu loh. Kayak Renjun waktu itu sampe ke Ilsan."

Beberapa waktu lalu mereka sudah melakukan pemeriksaan lanjutan, janin yang ada di dalam rahim Sena itu laki-laki. Kabar bahagia lebih-lebih untuk Sena, sebab ia bisa bertemu 'lagi' dengan Jinho yang rupanya pun membuat Mark penasaran.

Sena mengidam adalah salah satu hal yang Mark nantikan. Sayangnya sampai sekarang hal itu tak kunjung datang. Wajar, perasaan pertama kali akan menjadi seorang ayah pasti memicunya menjadi demikian. Lagi pula, Bagian mana yang ingin Mark rasakan? Bagian pagi-pagi buta ke luar kota cuma buat beli susu kedelai?

"Kan kemarin Dokter Kim udah bilang, nggak ngidam itu normal. Ngidam itu bisa karena dari ibu hamilnya butuh kandungan tertentu. Misalnya ya, Kak. Aku pengen daging sapi panggang, berarti aku butuh protein lebih makanya minta makanan enak yang ada proteinnya. Tapi ... kalau aku minta daging panggang dari Incheon, berarti aku sekalian mau nguji kamu," jelas Sena.

Mark mengangguk-angguk mafhum, memberhentikan mobil tidak jauh dari Etlaberry. "Jadi, sekarang kamu mau daging panggang?"

"Kak! Bukan gitu! Misalnya ih, misalnya," seru Sena kesal, memukul lengan kanan Mark sepenuh hati.

"Iya, iya, hahaha. Udah, ini udah nyampe. Nggak mau tur─ loh kok Jae udah datang aja pagi-pagi?" tanya Mark.

Dari jendela kaca yang berhiaskan beberapa stiker berbentuk kue-kue, terlihat Jae tengah membantu pegawai Etlaberry. Keluar dari dapur, kemudian memajang beberapa kue dan roti di etalase. Merapikan kursi dan meja yang tidak seberapa banyak, sesekali mengobrol dengan para pegawai.



"Pagi! Eh, Jae kok tumben pagi-pagi udah di sini?" tanya Sena saat memasuki Etlaberry.

Objek yang dipanggil terlihat sangat senang akan kedatangan Sena. Ia bahkan menarik sebuah kursi untuk Sena duduki. "Eh Kak Mark mau ke kantor, kan? Jadi nggak usah duduklah ya," ujar Jae menyeringai jahil, matanya jadi semakin sipit.

"Terserah kamu aja deh, Jae. Kok udah di sini sih? Tapi ngomong-ngomong makasih, ya. Kayaknya jadi lebih cepat nih beres-beres paginya." Mengedarkan pandangan ke penjuru toko, Mark mendapati semua telah rapi sesuai tempatnya. Air muka pegawai yang lain juga tampak lebih cerah. Sepertinya Jae tadi melemparkan beberapa lelucon.

Apron yang melapisi bagian depan tubuhnya ia lepaskan, dilipat dengan rapi, kemudian turut duduk di samping Sena. "Oh iya dong! Kak Sena kan nggak boleh terlalu capek sekarang," jawab Jae.

"Duh, lucu banget. Makasih loh, Jae," ucap Sena.

"Iya. Kak Sena udah makan? Nggak sakit perut yang gimana-gimana banget kan? Vitaminnya dimakan? Itu di belakang Kak Doyun baru selesai manggang roti abon. Mau aku ambilin?" Wah, panjang dan banyak sekali pertanyaannya.

"Udah. Kamu pikir aku nggak mastiin istriku sarapan?" Mark mengacak-acak ringan rambut Jae.

Suara tawa khas Jae terdengar lagi pagi itu. Anaknya memang suka dan mudah sekali tertawa. "Iya, iya. Siap, Kapten! Udah sana pergi, hush! Mau telat ngantor?" tanyanya dan mulai mendorong Mark ke luar, ia bahkan bersedia membukakan pintu mobil.

"Kamu kenapa sih, Jae? Apa aku di masa depan ngeselin, ya? Makanya kamu gemes sama aku sekarang? Eh, kita aja nggak saling kenal ya di masa depan, hahaha." Mark tertawa keras di balik jendela yang ia turunkan setengahnya.

1959 : A Chance to Love You AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang