broken home

3 1 0
                                    

Ini tentang anak perempuan yang harus dewasa sebelum waktunya. Anak perempuan yang harus kuat hidup didunia yang penuh kekerasan dan jauh dari kasih sayang keluarga. Anak perempuan yang keluarganya lengkap tapi merasa kesepian. Dan anak perempuan yang selalu menangis dipojokkan untuk melampiaskan kemarahannya yang selalu memuncak.
Tumbuh ditengah-tengah percekcokan mereka membuatku berbeda dengan yang lain. Muak, marah, lelah sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan sering kali tatapan iba dari pihak lain menyadarkan Ku bahwa Aku tak seberuntung mereka.
Ingin rasanya Aku berteriak ketika mereka kembali bertengkar. Ingin meluapkan emosi yang dari dulu terpendam. Ingin menanyakan pada mereka berdua untuk apa aku dilahirkan. Ingin menyadarkan mereka bahwa masih ada Aku, remaja perempuan berumur 17 tahun yang besar dengan luka dan dewasa karena keharusan.
Malam itu kembali hati ini terasa sakit. Cita-cita yang ku inginkan sedari kecil serasa sedikitpun tak bisa ku gapai. Ku pejamkan mataku yang mulai berembun. Ku dekati ibu yang sedang bertengkar hebat dengan ayah.
“ Bu, Ibu kenapa?” Tanyaku pelan sambil mengusap tangannya yang mulai mengeriput.
“ Sasa teh kuliah aja, biar Ibu yang nanggung. Nunggu Ayah kamu mau ngekuliahin teh cuman mimpi.” Ucap Ibu membuat hatiku teriris.
“ Sasa enggak kuliah juga enggak masalah. Yang penting Ibu sama Ayah baikan yah.” Ucapku lirih.
“ Ngomong apa kamu. Sekarang teh kuliah itu penting, tapi mau jadi dokter.” Kata Ibu.
Aku menggeleng pelan dan mencoba memberikan senyum terbaikku.
“ Yang penting Ibu bahagia. Kuliah bisa kapan-kapan.” Ucapku.
“ Tapi...”
“ Kamu teh enggak denger. Anaknya enggak mau kok dipaksa.” Kata Ayah yang entah darimana dan memotong ucapan Ibu.
“ Kamu ini apaan sih Kang.” Ucap Ibu mulai meninggi suaranya.
“ Kamu pikir pengeluaran sekarang itu sedikit.” Jawab Ayah tak mau kalah.
Aku hanya bisa diam dan memperhatikan Ayah dan Ibu yang kembali bertengkar. Ku pukul dadaku yang mulai sakit. Ku hembuskan napas panjang dan pergi meninggalkan mereka.
Ku pandangi sinar lampu yang mulai redup. Ku tersenyum sejenak dan mencoba menutup mata.
“ Ada masalah apalagi?” Tanya Cindi sambil menyodorkan sebatang rokok membuatku kembali membuka mata.
“ Biasa, nyokap sama bokap bertengkar lagi. Pusing Gue dengernya.” Jawabku pelan dan mulai menghisap rokok.
“ Gara-gara Lu mau kuliah atau Ayah Lu mau nikah lagi?” Tanya Cindi membuatku terdiam sejenak.
“ Hah, panjang kalau diceritain. Kalo Gue mati gimana ya?” Tanyaku tanpa berpikir panjang.
“ Gila Lu ya. Kalau mau mati jangan dulu, amal Lu masih sedikit sok mau bunuh diri.” Jawab Cindi cepat.
“ Hahaha, becanda. Gue enggak segila itu.” Kataku sambil mencubit pipi Cindi gemas.
“ Malam ini kita party sampai Lu lupa masalah yang Lu buat. Mumpung Bokap sama Nyokap lagi dinas diluar kota.” Saran Cindi membuatku tersenyum lebar dan menganggukkan kepala dengan semangat.
Aku pikir malam itu bahagia akan datang walaupun sejenak. Tapi pikiranku salah ketika tau Nenek dibawa kerumah sakit dan mengidap sakit parah. Ku paksakan raga ini yang mulai lelah untuk berlari melewati lorong rumah sakit. Tersenyum kecil dan kemudian masuk disalah satu kamar yang diberitahu suster. Kulihat disana keluarga Ku satu-satunya yang tulus menyayangi Ku dikerubungi selang-selang medis penunjang hidup. Ku dekati dan mulai menggenggam tangan beliau seakan takut kehilangan. Beliau terbangun sambil tersenyum menenangkan.
“ Sasa bagaimana kabarnya?” Tanya beliau membuat mata ini kembali berat.
“  Sehat dong Nek. Malah Nenek yang sakit.” Jawabku seriang mungkin.
“ Hahaha, Nenek udah tua jadi wajar dong.” Kata Nenek sambil tertawa kecil.
“ Ayah sama Ibu dimana Nek? Kok sepi?” Tanyaku ketika sadar ruangan ini hanya ada Nenek.
“ Nyari makanan. Enak sepi daripada dengerin Mereka berantem mulu. Kamu enggak bosen tiap hari dengerinnya?” Tanya Nenek membuatku tersenyum kecut.
“ Ya gitulah Nek.” Jawabku seadanya.
Semua keputusan ada ditangan kamu sayang. Hanya kamu yang bisa menentukan mereka bertahan atau berpisah.” Kata Nenek dan ku jawab dengan anggukan kepala.
“ Bobok sana. Udah tengah malam.” Ucap Nenek lembut.
“ Iya Nek, selamat malam.” Ucapku lembut dan mencium pipi beliau.

“ Hey bangun sayang, bangun.”
Suara sayup terdengar membuat Ku terbangun dari bunga tidur. Ku coba membuka mata dan melihat Ibu sedang menyuapi sarapan untuk Nenek.
“ Ayah dimana?” Tanyaku kecil.
“ Sedang mengopi dikedai dekat sini. Mungkin sebentar lagi juga balik.” Jawab Ibu.
Aku mengangguk paham sambil mengambil handphone dan memberi kabar Ayah agar membawa makanan kemari.
“ Kamu enggak sekolah sayang?” Tanya Nenek lembut.
“ Enggak Nek, corona jadi masih libur.” Jawabku.
Sunyi kembali melanda dan kemudian terdengar suara pintu terbuka.
“ Morning semua.” Sapa Ayah yang baru datang dan duduk disampingku.
“ Too Yah.” Jawabku.
“ Ini makanan yang kamu pesan dan ada sesuatu yang mau Ayah sama Ibu bicarakan mumpung ada Nenek.” Kata Ayah membuat Ku merasakan sesuatu yang tidak enak.
“ Jadi Sa, Ibu sama Ayah memutuskan bercerai dan sidang perdana nya minggu depan.” Ucap Ibu membuat hatiku serasa dihujati ratusan mata panah yang tajam.
“ Kenapa mendadak?” Tanyaku singkat.
“ Karena memang enggak cocok sayang. Mungkin pisah cara terbaik.” Jawab Ayah.
“ Egois sekali kalian.” Ucapku sinis dan terdiam sejenak.
“ Cuman gara-gara kuliah Kalian cerai. Bahkan ditengah-tengah Nenek sakit.” Sambungku.
“ Bukan begitu. Sasa kan udah tau bagaimana kami. Ini demi kebaikan kamu juga.” Kata Ibu lembut.
Terserah! Kalian kan cuman hidup berdua. Kenapa harus ngelibatin aku? Biasanya juga tanpa Aku kalian ngelakuin sesuka hatikan.” Ucapku diambang kecewa dan mereka terdiam.
“ Hah, kalau itu mau Kalian silahkan. Sasa pergi dulu, banyak tugas yang lebih penting daripada kalian.” Sambungku lagi dan beranjak pergi.
Aku berhenti sejenak di ambang pintu dan tersenyum kecil.
“ Kalau Ayah sama Ibu nikah lagi, jangan egois ya. Ada anak yang perlu diperhatikan dan semoga bahagia.” Ucapku dan pergi meninggalkan mereka yang masih terdiam.

Ku pandangi jalanan yang mulai ramai dilewati kendaraan. Pikiranku kosong. Tak ada lagi kenangan indah yang terdapat dimemori. Semua tampak mengecewakan dari segi manapun itu. Ku langkahkan kakiku dan tanpa sadar sebuah truk tangki dengan kecepatan tinggi berjalan kearah Ku. Dan kemudian ku rasakan tubuhku melayang dan rasa sakit mulai memasuki. Pandangan Ku mengabur dan tanganku seakan mati rasa untuk digerakkan.
“ Aku sayang Ayah dan Ibu.” Ucapku lirih dan kemudian tak sadarkan diri.
Aku merasakan jiwaku naik keatas sedangkan ragaku Ku lihat sedang dikerumuni banyak orang. Aku tersenyum kecil melihat Ayah dan Ibu menangis kencang disamping jenazahku.
“ Hey Ayah, Ibu. Berhentilah bersedih. Sekarang aku sudah bahagia terlepas dari beban dunia. Tetaplah tersenyum karena Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan Kalian.” Teriakku keras dan mulai hilang ditelan segumpal awan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Broken homeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang