Aroma manis bercampur daun mint mengalir masuk ke rongga hidung Luna, tersesapi hingga membuihkan jiwa untuk tersadar bahwa ia telah bangun dalam keadaan berdiri. Air memenjara kaki dalam dingin yang menusuk, menerbangkan pesan pada sang kabut untuk merabunkan pandangan gadis itu kala membuka mata.
Pertama, ia saksikan warna putih menenggelamkan biru langit, memburamkan jarak pandang, serta menyamarkan telapak kaki yang sedang terendam oleh air juga sulur alga hijau. Pandangannya lekas menyerong untuk mendapati bayangan di atas air. Adalah sesosok gadis dalam pelukan gaun putih selutut, matanya memantulkan binar kehijauan kemudian berpendar di sekeliling tubuhnya.
Jantung Luna berdenyut kencang menebar kegelisahan melalui tatapan membulat sempurna, "Itu aku?"
Tak ada jawaban, memang, bayangan tak pernah punya kuasa untuk berbicara. Hanya alam, dan seisinya yang terus bergejolak menambatkan suara pada gendang telinga Luna, memberi pertanda bahwa kakinya harus berpijak pada arah yang tak semestinya. Pada tetes air yang bertemu sesama atau tak lain adalah sumber. Letak di mana suara itu berasal bertepatan pada cahaya yang terang. Kala kakinya memijak, dingin di kaki bertentangan pada rasa hangat yang menyergap kepala, meresap pada rambut yang lebat, dan merayap pada tubuh mungilnya. Ia terus melangkah, paling tidak hingga rasa hangat ini menjalar sampai kaki.
"145 ... 146 ... 147 ... " Luna menghitung langkahnya hingga kakinya terbelit oleh sulur alga hijau.
Seluruh panorama seolah berputar layaknya ia merasakan rotasi bumi, kepalanya pening menghantam bebatuan hitam, napasnya dijejali oleh air tanpa sopan. Ia lekas terbangun dengan seluruh pakaian basah serta pening yang merambat dari mata turun ke hidung.
"Aduh, basah semua, sakit pula, tapi tadi berapa? 147 langkah, sia-sia energiku jika kembali huh."
Lagi-lagi Luna bermonolog, masih dalam keadaan terduduk, ia merasakan dingin memeluk tubuh, dan hanya ada satu cara yang terpikir, yakni bergerak, iya bergerak, jikalau hukum kekekalan energi ini bekerja di sini, ia semakin yakin bahwasanya dia masih di bumi, atau hal paling besar kemungkinan yang terealisasi, suhu tubuh naik.
Dia terus berjalan melawan udara lembab perkara kabut yang semakin tebal. Dengan sengatan panas dingin, ia dapat mengurai satu per satu fakta bahwa air di kakinya bersumber dari berjuta tetes hujan yang memenjara di depan. Di depannya tidak ada lagi bebatuan, melainkan kubangan menyala putih, seolah ada lampu yang menyorotnya dari bawah.
Luna menahan napas barangkali sejenak, sebab untuk pertama kali ia sampai pada titik ini di mimpi. Menjumpai sebuah pembatas dunia dari tabir tirta, kubangan bercahaya, penampakan raganya yang berpendar warna hijau lumut.
"Radit ... " panggilnya lirih, "Andai kamu masih berkelana, ini tempat yang indah."
Dengan kepalang nekat, juga perasaan menggebu untuk mengetahui apa yang ada di balik tetes air itu. Luna menutup mata dan membayangkan batu terjejer hingga membelah kubangan air, lekas dibuka kelopak mata dan mendapati bayangannya terealisasi.
Kaki kanan Luna terangkat untuk menapak permukaan batu bergerigi, persis kala tangan mengelus permukaan amplas.
"Apakah ini batu apung?"
Kaki Luna menekan batu hingga beberapa air lolos dari rongga bebatuan dan melewati cela jemari kaki. Melihat ini, ia lekas mengurungkan niat, diangkat kaki kanannya namun didapati air itu membeku bersama batu yang dipijak. Matanya membelalak, kaki yang sedang diperangkap oleh es berwarna putih susu itu berpendar hijau, memperlihatkan bayangan-bayangan dari sosok manusia pucat bersisik perak dengan mata berpupil garis yang sedang menyeringai.
Luna berkeringat, ini yang diinginkannya sedari tadi, saat badannya menghangat.
"Ah gila!"
Rasanya seluruh beban di tubuh tertumpu pada kaki. Sendi di tubuhnya seolah meregang dan dalam sekejap diketahui bahwa kakinya mulai membiru, merambat, gawat, Luna harus bangun dari tidur ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madrugada
FantasyKebakaran melalap tempat tinggal Luna. Di saat yang bersamaan, Radit, teman masa kecilnya datang setelah lama menghilang. Radit menariknya pergi menjauhi permukaan tanah dan menginjakkan kaki di tempat yang selama ini Luna idamkan. Dipublish: 11 Agu...