Prolog

107K 3.8K 123
                                    

1. Z A D E

I'm so tired of being here, suppressed by all my fears.

"Siap?"

Sepasang pasang manik hitam menatapku dengan hati-hati. Dia membasahi bibir atasnya dan menarik sejumput rambut hitamnya yang jatuh ke pipi dengan gugup, saat tidak mendapat jawaban yang dia inginkan.

"Kita akan berangkat beberapa jam lagi, kamu boleh tinggal kalau kamu-"

"Aku ikut."

Tampaknya jawaban yang kuberikan sama sekali tidak mengejutkannya, dia pasti sudah memperikan ini jauh-jauh hari. Memangnya apa lagi yang bisa ku lakukan? Aku tidak punya siapa-siapa lagi di sini, satu-satunya jalan agar tetap hidup adalah tinggal bersamanya. Walaupun itu artinya aku harus merepotkan seseorang--yang sebenarnya tidak kukenal dengan baik--di depanku ini.

"Baiklah, kita harus bergegas." Dia tidak tersenyum, namun aku tau dia merasa lega sekarang. Aku berbicara adalah satu dari banyak hal yang dia inginkan dariku semenjak beberapa bulan yang lalu.

Aku bangkit dari dudukku dan mengikuti langkahnya keluar dari ruangan ini. Dia melangkah dengan pelan, membuatku bisa mendengar dengan jelas derap langkah kakinya berduet dengan detak jantungku, semakin kencang saat kami semakin menjauh dari ruanganku tadi.

Dia menoleh, menatapku sebentar lalu berusaha untuk menghadiahkan seulas senyum, namun gagal, aku malah menangkap senyumannya sebagai ringisan aneh.

Kami memang tidak pernah bertemu sebelumnya. Dia terlalu sibuk bekerja dari satu negara ke negara lain, orangtua angkatku bilang; dia memutuskan untuk sendiri karena pekerjaannya dirasa lebih penting dari pasangannya yang ternyata juga seorang masokis pekerjaan. Mungkin karena itulah suasana terasa canggung saat ini, di tambah lagi, aku merasa tidak nyaman karena sesuatu yang sedari tadi mengekoriku. Mengiba agar aku tidak pergi.

"Aku benar-benar tidak tau kalau mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak, sudah beberapa tahun aku tidak berhubungan dengan mereka, jadi aku tidak tau banyak."

Dia berucap saat kami mendarat di Bandara besar Sokarnoe-Hatta. Barang bawaanku yang tak seberapa, langsung di urus oleh pria berseragam sopir dan menuntun kami untuk masuk ke sebuah mobil BMW hitam yang sudah menunggu.

"Hmm," aku benar-benar tidak tau harus menjawab apa.

Hening sesaat. Kami benar-benar kehilangan topik pembicaraan. Mungkin karena watak kami hampir sama dan juga kecanggungan karena pertama kali bertemu.

Aku masih diam menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit di sekeliling kami dari jendela mobil, saat wanita di sampingku menyentakku, membangun kenangan mengerikan beberapa tahun yang lalu untuk kembali terputar dengan apiknya.

"Aku benar-benar menyesal atas apa yang menimpamu, Zade. Dan aku minta maaf, terlambat menjemputmu."

Aku memejamkan mataku, menolak utuk kembali terlalut dalam ketakutanku. "Tidak apa-apa."

Dia kembali diam, begitu seterusnya sampai kami sampai di tujuan. Sebuah rumah besar dua tingkat, halamannya cukup luas dengan sebuah air mancur besar di tengah-tengah, pohon dan bunga tumbuh dengan subur menghiasi halaman rumah ini.

"Istirahatlah, bi Ais akan mengantarmu ke kamar. Kita akan bicara nanti malam, tentang sekolah dan hal lain yang mungkin kamu butuhkan. "

Aku mengangguk, tersenyum tipis lalu mengikuti langkah wanita paruh baya yang kuketahui bernama bi Ais ini, menuju kamarku.

***

Aku terbangun. Berkeringat dan ketakutan. Langit di luar masih kelam, tanpa ada satupun bintang. Hal ini terjadi lagi. Aku benci hidupku. Dan aku benci kenapa mereka terus datang dan menghantui aku yang tidak tau apa-apa?

IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang