PROLOG

59 10 0
                                    

"Permisi..."

Aku? Aku hanyalah gadis biasa yang mengejar mimpi untuk menjadi orang sukses. Sederhana cita-citaku. Namun itu menjadi tersulit dan paling tidak pasti dalam hidupku. Jika dilihat memang banyak kehidupan yang lebih mudah dariku.

Kakakku, di masa fresh graduate nya dia sudah pergi merantau ke kota lain, mengejar mimpinya sendiri, dan sekarang dia mendapatkan apa yang dia inginkan.

Tidak dengan aku yang baru berharap belum berusaha. Aku berharap hidupku akan semudah kakakku, pergi keluar kota, mendapat pekerjaan mapan, dan akan selalu seperti itu.

Nyatanya tidak. Ini seperti melihat dokumentasi film tentang gadis paling mengenaskan di dunia.

"Ah! Maaf aku buru-buru. Maaf sekali."

Aku Jung Suran, pengejar mimpi serabutan yang akan mudah dicabut akarnya. Umurku 23 tahun, belum terlalu tua bagiku. Sudah 3 bulan aku pindah dari Daegu ke Busan bersama kakakku.

Jung Soona, wanita 26 tahun, pekerjaan mapan, uang melimpah, punya pacar tampan dan satu lagi, dia merangkap sebagai kakakku. Wah kakak yang sempurna! Iya, dia sempurna dan akan sangat sempurna untuk membuatku iri.

Tapi bagaimanapun dia kakakku, walaupun rasa sayangku kepadanya mungkin tertutup oleh rasa iri, namun tidak dengan kasih sayangnya. Dia rela membolos pekerjaannya demi membantuku mencari lowongan.

Yah walaupun membolos baginya tidak akan memengaruhi karirnya sedikit pun. Bos nya mungkin takut memecat aset berharga perusahaan sepertinya.

"Apakah ini stasiun 2? Oh, oke baiklah, terima kasih!"

Yang kulakukan pagi ini adalah bagian orientasi dari cerita paling menyedihkan tahun ini. Masih mencoba bangun pagi - walaupun terus-terusan terlambat - masih mencoba mencari pekerjaan dan berlarian mencari kesempatan di pagi hari.

Hari ini stasiun kereta ramai. Banyak yang membuka laptop mereka untuk menyelesaikan lemburan, ada yang sibuk menelpon rekan kerjanya. Aku juga sibuk, kok! Memutar balik lowongan kerja yang ada di lembaran koran terbitan 2 minggu lalu.

"Pemberhentian berikutnya, stasiun 4!"

Tak semua kisah pekerjaanku mengenaskan, tidak. Dulu aku pernah mencoba menghubungi sebuah lowongan pekerjaan di sebuah koran. Tawaran gajinya besar setiap bulannya. Kucoba menelponnya walaupun desain brosurnya norak.

Benar saja, di brosur bertuliskan 'resepsionis' aku tak menyalahkan itu, tapi resepsionis yang di minta akan bekerja untuk seorang dukun.

Bayangkan seorang dukun saja membutuhkan resepisonis di zaman sekarang. Aku jadi berpikir, apa yang akan dilakukan oleh resepisonis dukun saat dia bekerja? Saksi pesugihan? Ditambah lagi keterangan di brosur adalah lulusan sarjana tata boga, sudah tahu kan maksudnya? Dukun itu butuh desain estetik untuk sesajennya nanti.

"Apa aku terlambat?"

Arghhh! Aku sudah datang ke tempat ini tiga kali. "Kimi ditilik!" itu adalah kalimat yang selalu keluar dari mulut bapak itu. Sudah 3 bulan, kuharap dia resign. Atau kuharap usia menelannya jadi cepat pensiun, just jokes.

Ruangannya pengap, seperti dapur kios mie samyang. Bukan rasa pedas yang menyengat, tapi bau keringat yang ditimbun dalam kaos kaki. Menjijikkan, tapi aku suka logo perusahaannya, seekor burung elang dengan sayap lurus, membelakangi HP mainan berbunyi 'aiyaiya', kau tahu kan?

"Selanjutnya!" kata salah seorang wanita yang duduk diujung ruangan.

Kuyakin dia diiming-imingi pinjaman utang untuk bekerja diruangan seperti ini.

"Kau belum terlambat," kata seorang wanita yang lebih tua dariku. Duduk di sampingku sembari melihat-lihat album foto di galerinya.
"Itu anak ibu? Lucu sekali, hehe." – Suran
"Iya, kuyakin dia terlalu lucu, sehingga harus meninggal mendahului aku. Namaku Hana." – Hana
"Aku Suran," ya Tuhan, anaknya meninggal, jadi gak enak.

Di foto lain aku melihat ada seorang remaja memakai seragam sekolah, mungkin aku akan menyinggung remaja itu saja, aku yakin dia belum meinggal, semoga.

"Dia tampan, pasti pintar di sekolah." – Suran
"Iya, kuharap dia tak kabur dari rumah kemarin," itu... itu benar-benar diluar dugaan.

Aku akan berhenti menyinggung semua yang ada di fotonya.

"Ini ibuku, hanya dia satu-satunya yang kupunya," kata Hana mendekatkan handphone-nya sembari melihatkanku seorang wanita yang sudah cukup tua di foto itu, dia tampak sehat, tersenyum sambil berpose memakan sepotong semangka.

"Hufft- Doakan ibuku, dia sakit stroke di rumah sakit," YA TUHAAAN! Kuharap suaminya masih- diam! Tak usah membayangkan.

Dan tiba-tiba dia menangis kecil, aku mencoba menenangkannya, namun anehnya dia pergi keluar ruangan. Dia tidak jadi ikut wawancara?

"Hei kamu! Masuklah! Apa kau tak lelah berbicara dengan orang gila?" kata wanita di ujung ruangan.
"SERIUS?! DIA GILA?!" – Suran
"Dia depresi, depresi membuatnya gila," lengkaplah sudah! Hana yang malang.

Dan di sinilah aku akan berhadapan dengan orang gila yang sebenarnya. Bapak Seok terhormat selalu ada di meja ini, dari tiga bulan yang lalu. Selalu sedia permen mint di mejanya, dan selalu memakannya saat aku akan diwawancara. Dia hanya menghilangkan bau rokok yang ada di mulutnya saja.

"Jung Su - Suran!" – Pak Seok
"Satu kali aja, Pak." – Suran
"Hmm! Kamu ini kenapa sih?" – Pak Seok
"Sehat, Pak." – Suran
"Bukan! Sudahlah, aku sudah tahu tidak ada yang berubah dari berkasmu ini." – Pak Seok
"Ada pak yang berubah, saya ganti hobi saya. Kan kemarin hobi saya 'makan', kata bapak ga produktif jadi saya ganti jadi 'masak buat dimakan sendiri," wajahnya melongo.

Permen mint putih tinggal setengah ada di ujung mulutnya. Kuyakin setengah bagian yang lain ada di sela-sela gigi ompongnya.

"Jawabannya sama, kamu di –"
"Pak? Bapak apa ga kasihan sama saya, Pak? Terima lah pak!" sengaja kupotong karena pasti jawabannya 'ditolak'.
"Kamu ini ga punya pengalaman kerja." – Pak Seok
"Ya makanya saya mau kerja di sini biar saya dapet pengalaman kerja, Pak!" – Suran
"Gabisa gitu! Kamu cari kerja dulu di tempat lain, kalau udah–" – Pak Seok
"Ya kalau saya balik lagi ke sini berarti saya ga dapet kerjaan di tempat lain, Pak!" sontak ruangan jadi hening.

Mata Pak Seok dikerutkan - membuat matanya yang sipit seakan tenggelam, ditambah lagi kerutan dan kantung matanya - yang berarti dia sudah tidak setuju, tidak suka dan tidak berkenan lagi denganku.

Kuambil berkasku dan pergi bersungut-sungut keluar dari ruangan.

Kupercepat laju jalanku. Sambil memikirkan wawancara terburuk yang pernah ada. Kupikir dia tak akan menerimaku untuk yang kelima–

BRUUK!

Sudah jatuh, kepleset lagi. Sudah badmood, ditabrak lagi. Lelaki yang lumayan tinggi, membawa kamera dikalungkan di lehernya. Membawa setumpuk foto yang jatuh berceceran setelah menabrakku.

"Diambil sendiri ya mas, saya buru-buru." – Suran
"Eh bentar! Namamu siapa?" kata lelaki tadi sambil menatap dalam mataku.
"Mas! Masnya culik ya?!" – Suran
"Bukan lah! Namaku Jaeguk, salam ke –" – Jaeguk
"Mas saya belum sarapan loh mas. Saya kena busung lapar masnya mau ngobatin?" – Suran
"Mau," katanya sambil mengikuti langkahku.
"Eh, sembarangan! Udah ya mas, masnya kalo ngikutin saya terus, saya teriakin culik loh!" – Suran
"Jangan dong." – Jaeguk
"Yaudah makanya." – Suran
"Ini gamau bantuin?" – Jaeguk
"Engga mas, maaf ya. Takutnya masnya baper," kataku sambil berlari menuju kios di ujung jalan lain.


VOWS OF LOVE - jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang