●●●
Namaku Pingka. Gadis berusia 15 tahun. Bersekolah seperti siswa pada umumnya. Aku anak sulung dan mempunyai satu adik tiri. Ayahku meninggal saat kecelakaan di pabrik ia berkerja. Mama menikah lagi dengan seorang duda yang memiliki satu anak. Anaknya itu adalah adik tiriku sekarang. Tak banyak yang berubah, hanya saja kadang adik tiriku itu sering merepotkanku.
Seperti sekarang ini, dia memintaku untuk mengantarkannya ke sekolah. Padahal biasanya dia berangkat dengan Papanya, Papa Alan. Sekarang gadis berumur 9 tahun berseragam SD itu merengek-rengek pada Papa Alan dan Mama agar aku mengantarkannya. Karena aku sudah menolaknya berkali-kali.
"Gak apa-apakan Ing kalau kamu mengantarkan adikmu dulu ke sekolahnya? Lagi pula jalan menuju sekolahmu dan Raina sama," Mama berucap. Aku melihat Raina yang tersenyum kemenangan karena dibela oleh Mama.
"Nanti kalau kamu mau mengantarkan Raina hari ini, Papa akan tambah uang sakumu," tawar Papa Alan padaku. Kembali menyuap sarapan nasi goreng yang dibuat Mama beberapa menit lalu.
Aku menelan nasi goreng yang telahku kunyah halus lalu minum dan pura-pura berdengus setelah mendengar tawaran dari Papa Alan.
"Baiklah," ucapku pura-pura malas mendengar uang sakuku yang akan ditambahkan oleh Papa Alan. Sebenarnya aku benar-benar tidak ingin mengantar Raina, karena takut terlambat ke sekolah. Tapi mendengar tawaran Papa Alan aku benar-benar tidak bisa menolak.
Di sana Raina bersorak senang. Entahlah dia selalu saja membuatku repot tanpa alasan yang jelas. Beberapa menit kemudian nasi gorengku habis. Papa Alan menyerahkan uang saku tambahan untukku. Aku menyuruh Raina yang masih meminum susu botolnya itu segera bersiap-siap lalu kami menyalami Papa Alan dan Mama.
Kami sudah berada di bagasi. Aku mengeluarkan sepeda berwarna merah mudaku dari bagasi. Raina bersenandung di depan pagar rumah sambil menungguku mengeluarkan sepeda kesayanganku. Aku menyuruh Raina segera duduk di belakang.
Saat di perjalanan Raina terus saja mengoceh. Bertanya-tanya kenapa aku lebih memilih berangkat menggunakan sepeda dari pada ikut Papanya.
Aku menjawab simpel," Karena aku tidak mau merepotkan Papamu, Rai."
Lalu Rai bertanya lagi,"Memangnya kenapa? Papanya Rai Kan Papanya Kak Ing juga?"
Aku terdiam sebentar. Mungkin Raina tidak mengerti dengan hubungan kami. Aku merasa tidak nyaman jika merepotkan Papa tiriku itu.
"Karena merepotkan orang itu tidak baik, Rai," balasku sedikit menyindir. Tapi mana mungkin Raina mengerti sindiranku, diakan anak kecil.
"Berarti Rai anak baik karena tidak merepotkan Papa hari ini bukan begitu, Kak Ing?"
Aku mengangguk terpaksa.
Tapi kamu merepotkan aku hari ini, Rai! Batinku. Aku mengayuh sepeda cukup kencang karena takut terlambat ke sekolahku.
***
Aku sudah sampai di sekolahku. Memarkirkan sepeda lalu menyapa satpam sekolah sebentar. Lima menit lagi bel berbunyi, dengan segera aku menuju kelas.
"Hai, Pingka," Rani teman sebangkuku menyapaku saat aku baru masuk ke kelas.
"Hai, Ran," balasku.
Aku meletakkan tasku, meletakkan buku PR Bahasa Indonesiaku di atas meja. Jam pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Indonesia.
Bell berbunyi. Setelahnya Pak Horman yang mengajar Bahasa Indonesia di jam pertama datang ke kelas kami.
***
"Kamu mau ikut ekstrakulikuler apa, Ran?" Aku bertanya pada Rani yang berada di sebelahku menyuap sebuah bakso. Begitu juga denganku.
Jam istirahat memang khas dengan hiruknya siswa yang sedang meronta memesan makanan dan minuman.
Rani menjawab, "Belum tau sih, Ing. Gimana sama kamu, mau ikut ekstrakulikuler apa?"
"Kayaknya PMR," sahutku.
"Kayaknya seru ya, Ing?"
Aku mengangguk. Memang benar PMR itu seru. Dulu aku juga mengikuti ekstrakulikuler itu.
"Ya sudah, aku juga mau ikut Ekstrakulikuler itu Ing," putus Rani tiba-tiba hingga membuat aku menoleh ke arahnya.
"Serius?" Aku menatapnya tak percaya.
"Iya." Rani mengangguk cepat.
Aku bersorak senang dalam hati mempunyai teman satu Ekstrakulikuler sekaligus satu kelas denganku. Dulu waktu Sekolah Menengah Pertama aku tidak pernah mempunyai teman Ekstrakulikuler yang satu kelas denganku. Mereka sering punya alasan untuk tidak mau ikut ekstrakulikuler PMR, entah mengapa mereka tidak mau ikut. Aneh sekali. Padahal ekstakulikuler itu juga bisa melatih rasa peduli kita. Tapi terserah mereka sih, aku juga tidak terlalu memaksa waktu itu.
"Boleh kami gabung?" tanya salah satu dari tiga cowok yang tiba-tiba menghampiri kami. Kebetulan kursi panjang yang ada di seberang kami ini kosong.
Sepertinya mereka adalah Kakak kelas kami.
"Boleh Kak!" Rani menanggapi cepat.
Mereka bertiga duduk di seberang. Aku akui mereka bertiga sangat tampan hingga membuat Rani salah tingkah dan jadi tersenyum-senyum tidak jelas di sebelahku.
"Kalian siswa kelas sepuluh, bukan?" Kakak yang berkumis tipis bertanya memastikan. Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Kenapa Kak?" tanyaku penasaran mengapa mereka menghampiri aku dan Rani. Kami sengaja menghentikan suapan kami karena takut itu akan memberikan kesan yang tidak sopan kepada yang lebih tua.
"Tidak ada apa-apa sih, kami hanya ingin bergabung dengan kalian," ucap Kakak berkumis tipis itu lagi sambil tersenyum ke arah kami. Rani di sebelahku menjerit tertahan karena senyum itu.
Kami berkenalan setelahnya. Kakak kelas yang pertama menyapa kami itu namanya Alex. Dia kelas sebelas IPS 2, letak kelasnya persis di belakang kelas kami. Kakak yang berkumis tipis tadi namanya Handri, dia juga satu kelas dengan Kak Alex. Berbeda dengan Kevin, lelaki itu sikapnya terlalu dingin. Dia bahkan hanya memasang muka datar sepanjang perkenalan, kelasnya berada di dekat gudang sekolah, sebelas IPA 1. Mereka bertiga berteman dekat.
Setelahnya bel berbunyi. Kami berlima menuju kelas masing-masing.
***
Aku baru pulang dari sekolah. Meletakkan sepatu yang ku pakai, lalu melangkah masuk ke dalam rumah memakai sendal santai yang memang sudah tersedia di samping pintu.
Seperti biasa aku disuguhi pemandangan Raina yang sedang menonton televisi sambil meminum susu botolnya. Dia pulang sekolah lebih awal. Aku menghampirinya, melemparkan tasku ke sofa sebelah, lantas duduk di sebelahnya. Dia menoleh kepadaku.
"Sudah pulang, Kak?" tanya Raina menatapku.
"Kalau belum pulang Kakak gak akan ada di sini, Rai," pungkasku sedikit bercanda.
"Raina cuma basa-basi tau!"
Aku berdengus. Anak ini menyebalkan sekali, ingin rasanyaku geprek. Tapi mana mungkin, aku juga masih punya rasa kemanusiaan.
"Iya adikku sayang," ucapku jujur sambil mengusap puncak kepalanya.
"Raina juga sayang sama Kak Ing." Raina tiba-tiba memelukku erat.
"Kali ini basa-basi atau serius?" tanyaku.
"Serius Kak Ing." Dia mendongak menatap wajahku. Aku tersenyum tulus, sudah satu tahun kami bersama menjadi keluarga. Kadang dia cukup menyebalkan dan menyenangkan seperti sekarang ini. Aku mulai menyayanginya sebagai adikku sendiri.
Tak lama setelahnya dia berucap, "Kak, temenin aku ke pasar malam ya?"
Aku menghela napas lalu menghembuskannya dengan berat hati.
"Okelah."
Dia memang selalu membuatku repot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alpha Arietis
RandomGiou seorang remaja asing yang tiba-tiba muncul dari gudang sekolah. Dari pakaian yang dia pakai sangat berbeda dari yang lainnya. Pertama kali bertemu dengan Pingka, ia benar-benar gelagapan karena ketahuan mengambil sebuah obat di UKS. Sedangkan...