Happy Reading
Beberapa hari berlalu sejak hubungan Jiji dan Gilbert mulai kembali seperti semula. Teman-teman Ray, yang awalnya ragu akan kehadiran Gilbert, kini mulai menerima kehadirannya dalam lingkaran pertemanan mereka. Mereka akhirnya menyadari bahwa Gilbert tidaklah seburuk yang mereka kira. Sejak saat itu, momen-momen kebersamaan mereka diisi dengan tawa dan canda, dan sekarang, mereka semua sedang bersantai di mansion milik Jiji, menikmati waktu bersama.
Di ruang tengah mansion yang luas, suasana terasa hangat. Mereka semua duduk bersantai sambil menonton film. Namun, ketidakpuasan mulai terlihat di wajah Sidik. "Oi, kita liburan kuy. Sumpek gue di sini mulu," ucapnya sambil menatap mereka semua yang tampak asik menonton.
"Kuy dah," balas Rahmad setuju.
"Kemana?" tanya Jiji, mengangkat alisnya, penasaran.
"Kalau pantai sudah, ke Puncak gimana?" ucap Hafiz.
"Gue sih kuy aja," balas Jiji dan Ara serentak.
"Gue ngikut Jiji," ucap Evan dan Gilbert serentak, membuat Jiji tersenyum mendengar antusiasme mereka.
"Yaudah kalau gitu kita bakal ke Puncak. Trus Puncak mana?" tanya Evan, ingin memastikan rencana mereka.
"Papadayan gimana?" tanya Ara.
"Kuy dah," balas mereka serentak, semangat.
"Yaudah, kalau gitu nanti sore kita berangkat," ucap Jiji, membuat semua orang terkejut.
"Lah, nggak besok aja Ji?" tanya Gilbert lembut, sedikit khawatir.
"Nggak deh. Lebih bagus hari ini. Lagian kalau pagi pergi, kalian pasti pada ngantuk. Lebih baik pergi sore, udara juga segar, nggak panas banget," jawab Jiji pada Gilbert.
"Ohhh oke deh, gue ngikut lo aja," balas Gilbert dengan perhatian. Namun, Ray yang mendengar semua ini merasa cemburu dan tidak bisa mengontrol emosinya lagi. Dia langsung berdiri dari duduknya.
"Mau kemana Ray?" tanya Ari, melihat Ray yang berdiri.
"Mau ke dapur, gue haus," jawabnya, bergegas pergi ke dapur. Padahal, dia tidak haus; dia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Jiji pun tahu alasan Ray, sehingga dia hanya bisa memandang Ray dengan iba.
®®®
Setelah beberapa saat, Jiji mengumpulkan semua orang untuk merencanakan perjalanan mereka. "Kita bawa tiga mobil aja," ucapnya.
"Berarti ada yang 5 orang dong dalamnya?" ucap Fiya, mencoba menghitung.
"Iya," balas Jiji.
"Gilbert bareng gue," lanjutnya. Seketika itu, semua orang menatap Ray dengan penuh simpati. Dulu, posisi Ray dekat dengan Jiji, kini tergantikan oleh Gilbert. Namun, Ray hanya mengacuhkan tatapan mereka, berusaha tampak tidak peduli.
"Sisanya terserah kalian," lanjut Jiji, langsung berjalan menuju mobil yang akan digunakannya.
"Agil, lo yang bawa mobil ya," ucap Jiji pada Gilbert. Pemanggilan nama kecil itu membuat Gilbert merasa senang, karena hanya Jiji yang memanggilnya seperti itu.
Gilbert segera berlari ke arah Jiji dan memeluknya dengan perasaan yang amat senang. "Kenapa lo?" tanya Jiji bingung, tidak menyangka akan dipeluk seperti ini.
"Gue seneng banget lo manggil gue dengan panggilan itu," ucap Gilbert, masih dalam pelukan Jiji.
"Lebay," balas Jiji cuek. Namun, dalam hati, Jiji merasa berdebar-debar. Dia takut perasaannya untuk Gilbert akan kembali lagi.
"Ishhh," ucap Gilbert, berusaha membuat ekspresi imut, namun Jiji tetap cuek.
"Nggak usah sok imut," balas Jiji kesal, berusaha menahan senyum.
"Gue emang imut ya," balasnya dengan penuh percaya diri.
"Serah," jawab Jiji sambil berjalan ke dalam mobil. Dia duduk di samping kemudi, sementara Gilbert mengikuti dan segera duduk di kursi kemudi. Ray yang melihat kedekatan mereka hanya bisa diam, berusaha menahan perasaannya.
®®®
Di dalam mobil, Jiji, Gilbert, Ara, Evan, dan Ray duduk bersama. Suasana di mobil terasa hening, jauh berbeda dengan mobil Icha yang penuh tawa dan canda.
"Nggak tidur?" tanya Gilbert sambil mengusap kepala Jiji lembut dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya tetap fokus pada kemudi.
"Ngantuk sih udah, tapi lo kan tahu, sebelum tidur gue harus mikirin sesuatu dulu baru mata ini bisa terpejam. Kalau langsung dipejamin aja, kagak bisa," jawab Jiji, sedikit canggung.
"Mau gue usap-usap kepalanya? Biasanya kan itu cara lain agar lo bisa tidur lebih cepat," tawar Gilbert.
"Nggak usah deh. Lo kan lagi nyetir, bahaya. Gue nggak mau mati muda. Belum nikah, belum punya anak, belum punya cucu, bahkan belum punya cicit," balas Jiji, sedikit bercanda.
"Yaudah kalau gitu langsung nikah sama gue aja sekarang. Trus bikin anak dari sekarang, biar nanti lo bisa punya cucu cepat," balas Gilbert, menggoda.
"Hidihhhh, itu sih mau nya lo," jawab Jiji kesal, tetapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Tawa Gilbert membuat suasana hati Jiji terasa lebih ringan.
Ray, yang benar-benar tidak tahan lagi, langsung memakai earphone dan memejamkan matanya untuk menghindari mendengar percakapan mereka. Cemburunya mulai memuncak, dan dia merasa terasing di tengah tawa dan kebahagiaan yang dirasakan oleh teman-temannya.
Namun, dalam hati Ray, dia bertekad untuk tidak menyerah. Dia ingin menunjukkan bahwa dia masih bisa menjadi bagian dari Jiji dan hidupnya. Meskipun saat ini dia harus menahan rasa sakit dan cemburu, dia berharap bisa mendapatkan kembali kepercayaan Jiji suatu saat nanti.
Perjalanan menuju Puncak ini bukan hanya tentang menikmati pemandangan dan kebersamaan, tetapi juga perjalanan untuk memperbaiki hubungan, menemukan kembali diri sendiri, dan menjalani cerita baru dalam hidup mereka. Masing-masing dari mereka membawa harapan dan impian, menantikan apa yang akan terjadi di masa depan, serta bagaimana hubungan mereka akan berkembang setelah perjalanan ini.
®®®
Gimana readers sama cerita aku? Suka? Semoga aja suka ya.
Thanks buat yang udah mau baca cerita aku.............
Aku sayang kalian readers!!!!!
Dan kalian harus tahu itu!!!!!!
Dan, kalau kalian udah selesai baca, jangan lupa ya vote and comment cerita aku, biar aku tambah semangat nulisnya.
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇
KAMU SEDANG MEMBACA
QUEEN : ANTARES [END]
Teen Fiction[BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA GUYS] Jikhan, yang akrab dipanggil Jiji, adalah gadis berusia 18 tahun dengan kehidupan yang luar biasa dan penuh rahasia. Di usia yang masih sangat muda, Jiji sudah memimpin perusahaan nomor satu di dunia dan...