Badai

13 0 0
                                    

Btari mengabaikan rambutnya yang dipermainkan oleh angin. Matanya lekat memandang gerumbulan awan berwarna kehitaman di kejauhan. Udara terasa lembab dan berat. Hujan segera turun. Ia bahkan merasa tak perlu menonton prakiraan cuaca untuk mengetahui hujan yang tengah mendekat.

“Ke museum lagi?” tanya Rika seusai bimbel pada Btari.

Btari hanya mengangguk. Ia tidak menyadari wajah gadis di sebelahnya yang dipenuhi dengan kecemasan. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, tenggelam dalam ingatan masa kecilnya.

“Kamu bisa langsung mengetahuinya apabila hujan akan datang.” Suara itu seakan berada di sampingnya. “Kamu tahu, Btari, hujan biasanya beraroma laut. Baunya seperti bau pasir... karang... ganggang...”

“Kamu yakin, Btari? Cuacanya sedang tidak bagus...” Rika mengingatkan.

Kedua mata Btari terbuka. Diperhatikannya Rika yang berdiri di sebelahnya. Kedua lengannya menyangga sebuah ransel yang terlihat berat. Berbanding terbalik dengan dirinya, gadis itu sibuk merapikan rambutnya yang berantakan karena tertiup angin. Ia tersenyum tipis, lalu menggeleng, menolak tanpa suara.

“Ayolah, Btari...” Kali ini gadis itu memohon. “Aku akan mengantarmu sampai rumah. Setuju?”

“Aku harus tetap pergi ke sana, Rika,” jelas Btari.

“Tapi kenapa?”

Btari terdiam sejenak. “Memelihara kenangan.”

Rika tampak kehabisan kata-kata.

“Aku pergi, ya.” Dengan lambaian singkat, Btari meninggalkan area tempat ia bimbel. Ia tak memperlambat langkah sampai tiba di halte bus terdekat. Tak lama, sebuah bus berhenti. Ia naik, dan langsung mengambil tempat di sebelah jendela. Begitu terus sambil bertopang dagu memandangi titik-titik air yang mulai memenuhi kaca jendela bus.

MelancholiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang