Kedai Mie Ayam Bunda dan Mas Seno

1.3K 297 132
                                    

Bunda selalu membuka kedainya dari pukul 9 pagi hingga larut malam.

Kadang jika hujan lebat datang, alih-alih menutup kedainya karena kemungkinan pembeli yang datang berkurang, ia justru memperpanjang jam bukanya agar pengguna jalan yang kebetulan terjebak hujan bisa berteduh sembari menunggu hujan reda untuk bisa pulang. Memberi mereka tempat bernaung sementara, kadang juga memperlakukan mereka seperti tamu dengan memberi semangkok hangat mi ayam.

Bunda adalah wanita yang welas asih, perangainya halus dan penyayang. Meski terkadang, pelanggannya yang didominasi mahasiswa aktivis yang suka membuat hidup mereka sendiri tidak tenang itu membuatnya kesal karena khawatir para pemuda itu gagal pulang.

Iya, kadang-kadang di musim yang tidak terduga, seperti saat musim kenaikan harga BBM atau rencana pengesahan undang-undang, tidak jarang para pemuda itu datang ke kedainya dengan muka lebam dan meminta tempat perlindungan.

Mahasiswa sinting, bunda sering mengomeli mereka begitu tapi yang diomeli seringnya hanya mesem-mesem saja.

"Bunda, mas Seno semalam nggak ke kedai?" Ada petir yang menggelegar tatkala seorang mahasiswi berparas ayu mendatanginya pukul 8 pagi. Hujan sejak semalam tak kunjung reda, sementara air sudah mulai menaiki undakan. Bunda menggeleng.

"Enggak ada, Nduk. Kedai buka sampai jam 3 pagi, mas Seno enggak ke sini," jawabnya yakin. Raut wajahnya terlihat khawatir, keriput yang menghiasi wajahnya dilapisi peluh dingin. Ada yang tidak benar.

Musim demo memang belum terdengar di telinganya. Tapi jika mengingat pemuda yang tengah dicari si gadis itu--Seno--maka sesungguhnya kecemasan Bunda sungguh beralasan.

Wanita paruh baya itu masih mengingat percakapan para mahasiswa yang tengah makan di kedainya, berbeda dengan cangkrukan mereka biasanya, wajah-wajah penuh tekad mensejahterakan masyarakat itu terlihat serius dan menggebu. Seolah ada hal yang membuat mereka tidak bisa menikmati mi ayam bunda yang mereka puji-puji kelezatannya--karena ramah dikantong mahasiswa.

"Kalau lewat pers kampus, jangankan sampai dipublikasikan, baru diketik judulnya aja kita bisa dibekukan!" Suara lantang itu terdengar tidak setuju dengan pendapat kawannya. Yang lain terlihat mengangguk setuju, sebagian diam.

"Seno bener, pers kampus kita udah jadi kaki tangan rektorat. Pilihannya ada dua, lewat bawah tanah dengan jadi anonim dan nyebarin berita diam-diam lewat media sosial, atau terang-terangan kita lapor ke KPK." Pemuda berambut gondrong itu mengepalkan tangannya di atas meja, yakin atas ucapannya.

"Tapi kita nggak bisa gegabah. Dengan bermain dibalik anonimitas dan bikin gempar sosial media, rektorat bakal semakin tertutup dan hati-hati, mereka juga nggak akan diam aja. Nggak inget mas Wira yang dirumahkan kemarin karena ketahuan bikin tweet sindiran ke rektorat?" Yang lain menanggapi usulan si gondrong dengan kemungkinan yang disadari semua orang benar adanya.

Bunda tetap diam, seperti yang seharusnya, ia tidak ikut campur dengan urusan mahasiswa-mahasiswa ambisius itu. Ia memilih mengambil mi dan sawi untuk ia rebus ketika seorang pembeli datang memesan seporsi mi ayam bakso dibungkus. Sesekali telinganya masih mendengar percakapan sekumpulan mahasiswa itu hingga sosok yang dipanggil Seno oleh teman-temannya datang menghampiri bunda yang tengah memasukkan kuah mi ayam ke dalam plastik terpisah.

"5 porsi mi ayam biasa sama teh angetnya 5 Bund, jadi 50 ribu ya?" Hapal benar dengan harga makanan di kedai bunda, pemuda yang memiliki kulit kecoklatan dan mata gelap itu tersenyum sembari menyerahkan selembar uang berwarna biru. Lesung pipitnya terlihat manis, bunda menerima uang tersebut kemudian memberi wejangan.

"Pulangnya hati-hati ya, Mas." Yang kemudian dibalas anggukan. "Pamit nggih, Bun?" Maka seperti itulah kalimat terakhir yang di dengar bunda dari pemuda itu. Seperti salam perpisahan.

Kembali pada gadis yang menghela kecewa, memang hilangnya Seno belum 24 jam, masih ada kemungkinan si pemuda yang dicari ternyata ketiduran di pelataran rumah warga atau di gubuk kosong di bawah jembatan, atau bisa juga ia ketiduran di salah satu musala entah di mana selepas salat subuh, tidak ada yang tahu. Sementara itu Bunda merasa bersalah karena untuk pertama kalinya ia harus menjawab tidak tahu

Memaksakan tersenyum ia kemudian berkata, "Mungkin sebentar lagi ke sini buat sarapan, Nduk. "

Seperti pengharapan kepada Yang Maha Kuasa, bunda selipkan amin dalam ucapannya.

Hari itu berjalan sebagaimana mestinya, hujan turun dengan lebat hingga larut malam. Pun sesekali terlihat pengguna jalan yang terpaksa menerjang badai karena urusan masing-masing. Hari itu, tidak ada yang berteduh di kedai Bunda.

Sayangnya berkontradiksi dengan hujan yang tidak kunjung reda, doa bunda tidak dikabulkan, Seno tidak pernah lagi mampir untuk sarapan ataupun makan siang di kedai mi ayamnya hingga beberapa hari berikutnya.

***

"Bun, pentol baksonya tambahin dikit dong?" pinta seorang mahasiswa tingkat 5 berambut gondrong dengan senyum lebar. Seperti anak anjing yang minta dielus kepalanya. Bunda menggeleng, hendak mengetuk kepala si pemuda dengan sumpit yang ia gunakan untuk memasak mi.

"Kalau terus-terusan begini bunda bisa bangkrut mas, nanti kalau kamu sama teman-temanmu kelaparan gimana?"balasnya sambil mengambil dua buah pentol berukuran kecil dengan centong lalu menambahkannya ke atas mi ayam yang dipesan si pemuda.

"Hehe, makasih bunda." Pemuda itu kemudian duduk bersama dengan ketiga temannya dengan riang.

Bunda geleng-geleng kepala, tapi sabar juga. Sebagai wanita yang tinggal jauh dari kampungnya, ia merasa tidak kesepian dengan hadirnya pemuda-pemuda itu. Kadang mereka bisa cangkruk sampai larut malam, membicarakan banyak hal. Seringnya soal negara, rencana aksi atau kadang soal kisah romansa mereka yang kemarau. Bunda jadi teringat masa muda, ketika dirinya masih begitu penarasan dengan dunia dan ingin bebas. Letak kedai mi ayam legendarisnya yang tidak jauh dari kampus tak ayal sering membuatnya iri, bagaimana ya rasanya menjadi mahasiswa? Bagaimana ya rasanya punya nama dan keberanian untuk menuntut keadilan atas nama rakyat? Atau, bagaimana ya rasanya belajar bersama dengan puan-puan lain yang pada masanya hanya ditahan di rumah menunggu dipingit. Tapi kemudian lamunannya pecah.

Seorang gadis yang datang ke kedainya tiga hari lalu terlihat berlari keluar dari kampusnya. Wajahnya terlihat berantakan, peluh dan airmata menyatu dengan gembigil yang terlihat dibibirnya yang pucat. Gadis itu berlari masuk menuju keempat pemuda yang menatapnya panik dan khawatir.

Isakan beruntun yang terdengar membuat Bunda mau tak mau meninggalkan alat masak dan mi siap rebus yang kemudian jatuh ke tanah dan terinjak sendal selop tuanya. Bunda menahan tubuh si gadis yang seperti hendak hilang jiwanya, sementara keempat pemuda lainnya mencoba menanyakan gerangan apa yang menyebabkan si gadis menjadi sekacau ini.

"Kenapa, Ra?!" Si pemuda berambut gondrong itu mendesak bertanya. Sementara yang lain berusaha membantu bunda menenangkan si gadis yang dipanggil "Ra" itu.

"Mas Seno...." Suaranya kembali terputus oleh isakan. Kelima orang yang melihatnya semakin cemas dan khawatir.

"Dia barusan ditemukan .... Mengapung di kolam depan rektorat." Kemudian, keempat pemuda itu bungkam. Sebagian langsung berlari menuju kampus, tidak mempedulikan barangnya yang ditinggal begitu saja. Sebagian lainnya terduduk tanpa bisa berkata-kata, sementara si gadis terus terisak di dalam pelukan bunda.

Tiba-tiba saja hawa dingin turun bersama mendung yang gelap. Hari itu, kedai mi ayam bunda tutup lebih awal.

* End *

Jahterra, 13 Desember 2020.

Kedai Mie Ayam Bunda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang