»»———-————-««
Orang bilang, dirinya itu terlalu liberal. Pikirannya teracuni Amerika, krisis moneter, kaum penindas, dan banyak hal lainnya yang dirasa sangat inkompeten. Bisa dibilang dia adalah sosiopat. Hidup untuk dirinya sendiri. Kalau aku jadi dia: punya otak yang cerdas, wajah yang rupawan, dan orang tua yang senantiasa memaksanya untuk menjadi nomor satu maka aku tidak akan menolak semua ejekan itu. Let's say, that was compliments. Bukan sebuah hinaan, apalagi dua atau tiga orang mengatakannya dengan mulut mereka yang miring karena keseringan bergunjing, tapi mereka duduk terpekur menanti akan ada apa di hari esok. Pemuda itu, si liberal bodoh itu maka akan memandang mereka kasihan. Ah, andai orang-orang itu punya pikiran lebih luas lagi. Mereka tidak akan menghabiskan waktu mereka untuk membual omong kosong dan menjual mulut mereka yang bau.
Ia terbiasa sendiri. Itulah kenapa sekarang ia sedang duduk, memandang layar laptopnya yang tidak berkedip sedikit pun. Jam delapan malam, waktunya pulang ke apartemen dan tertidur nyenyak. Mengharapkan hari esok untuknya bisa menghela napas lebih lega. Dunia orang dewasa ternyata serumit ini. Di saat dia punya uang seperti yang dicita-citakannya dulu, kompensasinya adalah dia tidak punya waktu. Jadi, uangnya akan lebur kepada kesia-siaan yang hina. Akhirnya, pemuda itu menghela napas lelah lagi. Pekerjaannya sebagai jurnalis benar-benar lebih banyak menyita waktu dengan gajinya yang tetap segitu. Lebih kesal lagi saat mengingat perkataan ibunya tentang mencari jodoh dan menggaet para laki-laki kaya maupun perempuan berpenghasilan yang kesepian di luar sana. Ibunya selalu saja berpikir dirinya hebat sekali sampai ingin menjual anak laki-lakinya yang tidak tahu diri.
Suasana di luar kafe hujan deras. Banyak pengunjung yang sudah pergi, menyewa payung, dan berjalan berdua dengan kekasih. Pemuda itu berdecak, kekasih? Fuck that shit. Dia selalu tidak percaya soal hubungan, omong-omong. Pernikahan? Itu lebih kepada kontrak bisnis yang nantinya akan ditelan ketiranian waktu, apalagi posisinya sebagai laki-laki yang tidaklah kaya.
"Sepertinya kau hendak menulis artikel, tapi buntu?"
Seorang pemuda. Berwajah Asia dengan konturnya yang lebih kepada tampan layaknya dewa-dewa Yunani, tapi tidak, bisa dipastikan dia orang lokal. Wajahnya ramah sehingga dia berani duduk di depan seorang pemuda yang tidak terlihat seperti kucing atau kelinci. Si Dewa Yunani itu tersenyum. Menawarkan secangkir kopi dan pemuda di depannya hanya tersenyum kecil. "Thanks."
"No prob, aku bisa melihat pekerjaan sebagai jurnalis nowadays adalah pekerjaan yang menyebalkan. Bad news is good news, sayangnya bad news membuat para jurnalis yang menulis itu tidak tega menuliskan kenyataan. Then, hoax everywhere. People might not gonna like it."
"I know." Si Jurnalis itu menyeruput kopi, berdesis. "Sounds like bullshit, but it happened to me. Wait, menurutku ini terlalu manis."
"Pardon, boleh kuganti?"
"Tidak usah," si Jurnalis tertawa. "Aku bukan orang serampangan. Hanya saja, aku menyukai kafe ini, by the way. Interiornya tidak terlalu menyilaukan, because I hate fancy things dan baristanya juga laki-laki sopan. Lebih menyenangkannya lagi, 24 jam nonstop. Perfect place to do some shit without being sad."
"Have you?" si Dewa Yunani bertanya dengan lembut sampai si Jurnalis merasa suaranya tercekat. Dia tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Gelenyar aneh hanya karena sebuah suara bariton yang bertanya dengan sangat lembut.
"Yeah, sometimes."
"Today is valentine. You can write love stories or something like that."
"Ugh, I hate love stories. I mean, I can wrote it, but it feels fake karena itu tidak terjadi padaku dan saat aku menulisnya, aku merasa seperti boneka idiot yang tidak tahu apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialektika; taekook
Fanfiction[end] Ketika dia berbincang dengan ia, tiada hal lebih puristis dibanding keduanya. 2020, pao. Cover by https://pin.it/wImmglf on Pinterest.