Day One

8 1 0
                                    

[Claryn POV]

Jakarta.

Beberapa minggu ini, wajahnya tidak lagi terlihat dibalik meja nomor lima. Aku biasanya dapat memandang punggungnya dari jauh yang selalu sibuk dengan layar laptop yang menyala dan minuman segelas kopi hangat yang uapnya masih mengudara. Ia adalah seorang laki-laki yang aku sendiri tidak tahu apa-apa mengenai identitas dirinya. Yang kutahu adalah Ia seolah menandai meja nomor lima sebagai pemiliknya, karena setiap kali aku berada disana, Ia akan terlihat sedang menghabiskan waktu malam weekend juga—tanpa kekasih. Jadi, kupikir Ia seorang single. 

Aku adalah pecinta kopi berat dan makanan manis lainnya. Asal kalian tau bahwa belum ada tempat yang menyenangkan untuk melepas penat, selain kedai yang sedang kupijaki sekarang, dimana menu kopi yang menjadi andalan disana adalah Almond Creme Bulle dan Lestrett langsung diracik oleh barista yang sudah profesional dibidang kopi. 

 Kedai kopi ini terletak tepat di jantung ibu kota Jakarta, tepat diantara gedung-gedung perkantoran pencakar langit yang terhubung dengan jalanan akses utama sehingga siapapun yang melewatinya dapat melihat papan besar terpajang diatasnya "Talk Night". 

Talk Night memiliki bangunan yang tidak terlalu besar, dengan dua lantai didalamnya dan diluar terdapat taman yang ditata secara rapi. Nuansa yang ditampilkan kedai kopi ini terkesan homey dengan sentuhan konsep skandinivian yang kental didalamnya, berupa pengecetan dinding yang dominan berwarna putih tanpa corak, lalu dinding sengaja dipadukan oleh jendela besar agar kendaraan dan orang-orang yang berjalan diluar sana masih terlihat dari dalam; penggunaan material kayu coklat cerah untuk dasar lantai dan atap. 

Pemilik Talk Night tahu betul meskipun kedai ini minim dekorasi, Ia sengaja menggunakan warna hitam polos pada meja counter, coffee machine, coffee pot hingga kran air, tentunya sangat kontras dengan warna cat dinding. Tak lupa juga menambahkan dekorasi tanaman agar kedai kopi minimalis ini tidak terkesan kaku, misalnya pot yang berisi dedaunan sederhana serba hijau untuk menghidupkan suasana tenang. Juga, meja kayu yang dipadukan dengan sofa plastik klasik adalah sebuah perpaduan yang serasi. Tak kalah menarik, sebuah mural berwarna kuning pastel terlukis dibagian tembok bagian kiri pintu masuk: there should be coffee somewhere between eat, pray & love"  yang sangat bersahabat dengan mata. 

Langit hari ini tidak sedang mendung, hanya disertai hembusan angin malam yang berlalu lalang menembus pakaian sejak tadi. Aku sengaja datang lebih awal supaya bisa berlama-lama menikmati me time di malam weekend yang tanpa terasa datang begitu cepat. Sementara itu, aku mengambil alih meja kosong nomor delapan di sudut pojokan lantai atas nan jauh dari keramaian orang-orang yang sedang besenda gurau satu sama lain. Dari lantai dua inilah aku bisa memanjakan mata sejenak dengan view kota Jakarta yang gemerlap akan cahaya lampu yang dipancarkan dari gedung-gedung besar, sekaligus ditemani live music yang suaranya terdengar dari lantai bawah. 

Sesaat sedang mengikuti iringan lagu yang dimainkan, seseorang berdeham dengan halus dari arah belakang. 

"Ehem....."

Sontak aku terkaget. Aku tidak tahu kapan persisnya Ia sudah berada dibelakangku.

"Sorry, lo ngapain disini?"

Aku mengernyitkan dahi, “Disini?”

Ia menarik bangku di sisi sampingku. "Iya, ini meja gue."

Meja dia? Apakah aku nggak salah dengar? Bukankah siapa saja boleh menempati meja ini? 

“Ada apa?”, Tanyaku dengan tatapan sebal.

 “Lo pindah ke meja lain aja ya. Soalnya gue mau duduk disini. ”, Perintahnya berlagak bos yang tau-tau menguasai wilayah. 

Karena tidak ingin menjadi pusat perhatian pengunjung lain yang ada lantai ini, aku memutuskan untuk berpindah meja yang letaknya berseberangan dengan mejanya. 

Setengah kesal, aku mengalihkan pikiranku ke notifikasi yang menggantung dilayar atas ponsel. Kudapati pesan masuk dari sahabatku, Felix, yang telah memenuhi chat didalamnya. Sepertinya Felix sudah tidak sabar untuk menunggu kelanjutan ceritaku tentang si pemilik punggung meja nomor lima, yang kerap kuceritakan  padanya setiap saat.

Gimana, Rin? Lo udah ketemu pangeran lo lagi disana

Belum. Hari ini dia nggak dateng lagi. Dia kemana ya kira-kira?

Hahaha. Lagian lo masih aja nyariin dia. Bangun dari mimpi ya.

Aku menghela nafas menerima balasan pesan dari Felix yang semakin meledekku. Perasaan kecewa menyelimuti hati saat harus menyadarkan diri pada realita bahwa Minggu ketiga ini pangeran tidak menunjukkan batang hidungnya. 

Sedang asik larut dalam lamunan, laki-laki yang mengusirku barusan mengetuk-ngetuk meja dengan ballpoint dan seketika telah berdiri di hadapan wajahku. “Sorry,  lo punya chargeran iphone, enggak?”

Kali ini, dia memasang wajah senyum, menghilangkan wajah datar sebelumnya. 

"Ada apa lagi?", Tanyaku dengan sedikit frutasi. 

"Gue mau minjem chargeran. Lo punya enggak?", Ia mengulangi pertanyaannya. 

“Pinjam ke mas pelayan aja."

“Gini ya gue jelasin. Kalau misalnya mereka punya chargeran Iphone, nggak mungkin juga kan gue bersusah payah nyamperin lo buat nanya? Gimana sih?!”

Mustahil untuk dipercaya, laki-laki ini memang sulit untuk dipahami. Kami berdua hening dalam hitungan lima detik. Lagi-lagi aku terpaksa mengalah. Situasi tidak berpihak padaku karena semua mata kembali tertuju pada kami. 

Thanks, gue lagi urgent banget nih!", Ia segera pergi setelah mendapatkan charger. Tapi, sebelum dia beranjak, dia menyodorkan sesuatu diatas meja. “Nih, simpan kartu nama gue. Gue cabut dulu."

Aku membelakkan mata nyaris terkejut dengan apa yang ia lakukan kepadaku. Ia melambaikan tangan dari balik kaca jendela tanpa memberikan kesan yang manis. 

Aku mengumpat dalam hati. Seharusnya hari ini jadwalku bisa memandangi pangeran dari kejauhan. Namun, entah mengapa justru aku dipertemukan dengan seorang laki-laki menyebalkan yang meninggalkan kartu nama begitu saja diatas meja. 

Tut--

Suara ponselku berbunyi pertanda kehabisan daya baterai. Ini semua akibat kebodohanku yang membiarkan chargeran milikku dibawa pergi oleh seorang stranger yang tak kukenali. 

Dengan baterai yang masih menjukkan bar di angka lima belas persen, lantas aku menghubungi Felix secepat mungkin agar Ia bisa menolongku untuk mengantarkanku pulang. 

Felix, gue boleh minta tolong nggak? Jemput gue di kedai biasa ya. Hape gue mau mati. Thx.

 

Oke, Tuan putri. 

---


Sparkle Of The Two PrincesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang