Hello, Melbourne.

5 1 0
                                    

Aku tidak akan menyangka dengan keputusan final perusahaan yang telah memilihku untuk mewawancarai keluarga Hadinata, seseorang berkewarganegaraan Indonesia, yang masuk ke dalam kategori pengusaha terkaya urutan ke 10 se-Asia tenggara.

Selain kesempatan besar yang dipercayakan padaku, perusahaan tak tanggung memfasilitaskan tiket pesawat VIP ke Melbourne, tempat dimana keluarga Hadinata lebih banyak menghabiskan musim dingin di rumah keduanya. 

Eits, tapi, keberangkatan menuju Melbourne bukan berarti aku akan bersenang-senang sesuka hati. Pekerjaan ini akan membuat jantung berdebar karena pak Edwin akan senantiasa meneror ponselku dengan menanyakan sudah sejauh mana aku mengerjakan tugas dinas ini. Sebagai imbalannya, aku dapat menikmati pesona kota Melbourne yang selama ini hanya dapat aku saksikan dari internet atau menonton film saja. 

Malamnya, aku sibuk mengemas setelan pakaian secukupnya ke dalam koper berukuran sedang berwarna pink pastel, mempersiapkan sejumlah obat-obatan penting berisikan obat telan penghilang mabuk selama perjalanan dan minyak kayu putih andalanku setiap saat. Boneka Teddy Bear kecilku pun kutumpuk bersamaan dengan ipad dan laptop di dalam tas ransel. Kini, aku siap menjelajahi negara kangguru ditemani teddy bear tanpa perasaan takut.

Udah tidur? Gue barusan kirim paket ke rumah lo. Semoga lo suka ya. Have fun disana, rin. 

Felix yang sedang bekerja lembur menyempatkan waktu untuk mengirimkan paketan berupa sebuah box besar berbahan dasar dove, yang tau-tau tergantung di depan pagar rumah. Sebelumnya, Felix berencana ambil cuti dan ikut bersamaku ke Melbourne. Sayangnya, bulan ini padatnya pekerjaan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Untuk itulah Felix memberikanku coat berwarna coklat muda yang Ia beli seminggu lalu tanpa sepengetahuanku. 

Kemudian, aku beranjak tidur lebih awal karena tidak ingin tertinggal pesawat yang akan terbang pukul empat subuh dari Jakarta.

---

 Kedatanganku untuk pertama kalinya di kota Melbourne disambut dengan suhu dingin yang mencapai angka sepuluh derajat Celcius. Meskipun, salju jarang turun di kota ini, aku dapat merasakan hidungku sedikit berair dan telapak tangan memerah yang disebabkan oleh reaksi alami tubuh yang baru saja beradaptasi dengan lingkungan baru. 

Aku meregangkan otot-otot yang terasa kaku setelah menempuh perjalanan cukup panjang, dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Melbourne selama enam jam dengan pesawat yang kutumpangi. 

Rasanya kurang lengkap mengunjungi Melbourne di musim dingin tanpa mencicipi segelas coklat hangat. Berbekal tekad keberanian dan petunjuk di google maps, aku memesan taksi agar dapat mengantarkanku ke Swanston Street, salah satu jalanan teramai di Melbourne, yang beberapa gerainya menawarkan coklat panas dengan citra rasa yang memanjakkan lidah di saat musim dingin seperti saat ini. 

Rin, lo harus cobain kopi di Hash Specialty Coffee and Roaster. Gila. Gue jamin lo akan suka sama Hot Chocolate-nya. Kata Felix, merekomendasikan kafe yang pernah Ia kunjungi padaku saat mengobrol bersama, dua hari yang lalu. Lalu, kafe yang dibicarakan Felix secara nyata ada didepan mataku. 

Aku membayangkan bagaimana rasanya menikmati cokelat asal Swiss berpadu dengan rasa manis kembang gula. Perpaduan antara pahit dan asam semakin membuatku penasaran dengan cokelat keluaran Mörk ini. 

Namun, keinginanku untuk merasakan segelas coklat panas di Melbourne sirna begitu saja ketika dompet dan ponsel tidak ada didalam tas. Aku melangkah mundur dari antrian yang panjang dan terjadilah... 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sparkle Of The Two PrincesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang