Di suatu padang yang lapang, terdapat beberapa orang yang sedang duduk menghadap sebuah meja putih yang panjang. Di bawah mentari dan langit biru, para gadis bertiara sedang melakukan pesta teh. Hanya satu orang yang tak memiliki tiara, penjaga salah satu dari 5 puteri itu.
"Selamat siang Puteri Mentari!" sapa para gadis yang sudah duduk rapi.
"Selamat siang," balas seorang gadis yang masih berdiri. Di belakangnya, terdapat seorang pemuda yang matanya tak lepas dari sang puteri.
Anak laki-laki itu membantu Puteri Mentari untuk duduk bersama keturunan bangsawan yang lain. Ia sudah memakai sarung tangan. Namun, seolah tahu apa yang akan dilakukan sang penjaga, Puteri Mentari malah menggeleng.
"Aku bisa duduk sendiri, Luke," ucap Puteri Mentari. Gadis bergaun kuning cerah itu meraba punggung kursi. Dengan perlahan, ia berusaha untuk duduk di kursinya. Memang memakan waktu, namun Mentari berhasil duduk tanpa bantuan Luke.
Luke hanya mengangguk dan diam. Pemuda berhidung lancip itu berdiri di belakang Mentari. Mengawasi para puteri yang sedang bercanda dan tertawa.
Mentari hanya menyunggingkan senyum tipisnya. Ia sangat ingin menyuruh Luke untuk duduk di sebelahnya. Namun, kursi-kursi ini hanya untuk para puteri. Sementara Luke bukanlah seorang puteri. Luke hanyalah anak bungsu ketua keamanan di kastil. Dia adalah sahabat sekaligus pelindung Mentari. Dan lagi, Mentari tak tahu apakah kursi di sebelahnya itu sudah terisi atau belum.
Tangan Mentari meraba-raba di atas meja. Ia ingin meminum tehnya. Luke yang menyadari itu, lantas mendekatkan cangkir teh Mentari. Mentari mendengkus pelan, ia tersenyum sendu. Ini adalah bantuan Luke yang kesekian kalinya. Padahal, Mentari ingin bisa melakukan semuanya sendiri. Tanpa bantuan siapapun, termasuk Luke.
"Hey! dengar-dengar, Puteri River akan segera bertunangan dengan Pangeran Angkasa. Apa itu benar?" celetuk seorang puteri bergaun merah muda, Rose.
River yang sedang memakan muffin lantas mengangguk, sembari tersenyum kecil. Puteri pemalu itu langsung menunduk dengan wajah yang memerah.
"Waaah, Selamat ya Puteri River!" seru Lucky dengan mata berbinar. Ia adalah Puteri dengan tubuh paling mungil dan penuh semangat.
River mengangguk. "Terima kasih Puteri Lucky," cicitnya.
Sekarang, Mentari tahu siapa yang duduk di sebelahnya. Ia bersebelahan dengan Puteri River dari kerajaan air. Suaranya begitu pelan dan lembut. Mentari hafal dengan suara puteri bertiara biru itu. Namun, hari ini Mentari merasakan sesuatu yang berbeda. Jika biasanya ia akan merasa tenang dengan suara River, kali ini ia malah merasa sesak.
"Selamat ... Tuan Puteri," lirih Mentari. Bibir gadis itu bergetar. Namun sebisa mungkin ia berusaha mempertahankan senyumannya.
River menoleh, mengusap lengan Mentari dengan lembut. "Terima kasih, Puteri Mentari," ucapnya.
"Hey, bagaimana jika kita merayakannya?" usul Rose.
"Woahh itu ide bagus!" pekik Lucky dengan suara khas anak-anaknya.
"Tuan Puteri Lucky, berbicaralah yang sopan!" tegur seorang gadis berkacamata yang tak lain adalah Emilda, kakak Lucky. Kalimatnya penuh dengan penekanan.
Lucky mengerucutkan bibirnya. "Maafkan aku," ujarnya sembari membungkuk.
"Kurasa kita tak perlu se-formal itu. Ini hanya pesta teh kecil-kecilan," ucap Rose yang mendapat anggukan semangat dari Lucky.
Emilda menghela napasnya. Ia memperbaiki letak kacamatanya, dan kembali membaca buku yang selalu ia bawa. "Itu pelanggaran," gerutu Puteri tertua itu.